Jumat, 21 Desember 2012 0 komentar

Mengingatmu



Mengingatmu,.. 
Seperti mengumpulkan kembali pecahan puzzle yang sempat terserak, seperti menjatuhkan kesunyianku dalam hening...
Mengingatmu,. 
seperti merasakan tusukan kaca yang tajam, seolah langit yang biru tiba-tiba berubah kelabu..
Mengingatmu,..
membuatku ingin menjadi pelupa
Lupa dengan wajahmu, dengan gestur tubuhmu, lupa dengan segala hal tentangmu, tentang kita dan tentang cerita imajinasi berdua
Mengingatmu,.. 



membuatku ingin menjadi wanita yang sudah bersuami
Karena dengan begitu, akan membuatku malu



18/12/2012
14.20



0 komentar

Pemikiran Hamka dan Ibnu Taimiyah Tentang Ulil Amri



a.    Pemikiran Ibnu Taimiyah
Dalam Islam apa yang kita sebut sebagai jabatan dan aktivitas politik termasuk dalam kategori amanat dan tugas publik (waliyat) seperti yang dipahami dalam syariat. Karena itu, seorang penguasa politik wajib menyampaikan amanat kepada pemberi amanat itu dan untuk menghukumi secara adil.Tujuan semua tugas publik (waliyat) adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual manusia. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa posisi kepemimpinan politik (sultan, mulk, amir) dan syariat saling melengkapi satu sama lain untuk membentuk sebuah pemerintahan yang berdasarkan syariat. Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa kekuasaan politik.Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran benar-benar tidak dapat dicapai kecuali kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam). Pendapatnya yang terkenal adalah “Agama tanpa kekuasaan, jihad, dan harta, sama buruknya dengan kekuasaan, harta, dan perang tanpa agama.”
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, tegaknya keadilan tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya kerjasama.Manusia berkumpul dan membentuk sebuah komunitas politik, kemudian menunjuk salah seorang sebagai pemimpin untuk mengorganisir untuk mewujudkan keadilan dan kebermanfaatan bersama.
Seorang pemimpin tidak menetapkan tujuan mereka sendiri, melainkan memiliki otoritas untuk bertindak dan dipatuhi, karena mereka tengah (atau semestinya) berusaha mewujudkan tujuan-tujuan Islam.
Doktrin pemimpin dalam Islam adalah tidak lain merupakan wali, wakil, dan agen otoritas, sama sekali bukan pemilik. Inilah maksud bahwa pemimpin adalah penggembala, yang tidak memiliki hewan gembalaannya; kedudukannya seperti wali bagi anak yatim.Di sini, citra raja absolut Timur Tengah dan Iran kuno benar-benar diIslamkan. Otoritas pemimpin, sesungguhnya berasal dari Tuhan; namun hal ini berarti bahwa kepentingan-kepentingan yang wajib ia upayakan sesungguhnya merupakan kepentingan-kepentingan rakyatnya.
Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menganggap bahwa penguasa-penguasa yang korup adalah yang paling tidak bermoral dan karena itu tidak ada kewajiban untuk patuh pada mereka, dan ia juga menyalahkan para ulama dan cerdikcendikia yang mendukung penguasa-penguasa yang tidak mengindahkan agama dan melakukan penyelewengan dan membuat syari’at tidak mampu menjawab tuntutan kemanusiaan. Mereka telah dianggap mengingkari prinsip-prinsip syari’ah. Tapi di lain sisi Ibnu Taimiyah menemukan dilema ketika dihadapkan tentang ada dan tidak adanya pemimpin dalam sebuah negara. Menurut Ibn Taimiyah, sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, adanya seorang kepala negara merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak terelakkan. Di sini prinsip gagasannya adalah bahwa kaum muslimin dalam hidup sosial perlu ada pemimpin dan diorientasikan pada stabilitas. Dari sumber lain pernyataan “Lebih baik 60 tahun diperintah oleh pemimpin yang dzalim dibandingkan hidup satu hari tanpa pemerintahan.”  adalah berasal dari pendapat Ibnu Taimiyah sendiri dalam buku As-Siyasah Asy-Syariah.
Dalam kitabnya Al furqan baina aulia ar rahman dan Risalah ila sulthan  Ibnu Taimiyah menafsirkan tentang surat annisa ayat 83 dan 59 sebagai berikut:
Allah telah mewajibkan untuk mentaati rasul  dan ulil amri dan juga mewajibkan bagi setiap umat apabila ada perselisihan maka hendaknya dikembalikan semua permasalahan tersebut pada alQur’an dan sunnah rasul . Barangsiapa mentaati rasul  maka ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akherat sedangkan siapa yang membangkang pada rasul  ia akan mendapatkan azab di dunia dan akherat.
Dalam bukunya Majmuatul fatawa, ia juga menjelaskan tentang makna ulil amri adalah orang-orang yang memiliki perintah atau sebagai pemerintah, yaitu orang-orang yang memerintah manusia. Termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan kekuasaan serta ahli ilmu pengetahuan dan kalam/tauhid. Karena itu ulil amri itu ada dua golongan : ulama (ahli ilmu) dan umara (penguasa). Jika mereka baik, maka manusia akan baik pula dan jika mereka rusak maka manusia akan menjadi rusak pula. Wajib bagi ulil amri untuk memerintahkan apa yang diperintahkan Allah dan melarang apa yang dilarangnya. Dan bagi rakyat wajib mentaati ulil amri dalam rangka mentaati Allah dan tidak mentaatinya dalam hal bermaksiat kepada Allah.

b.    Pemikiran Hamka dalam Tafsir al Azhar
Dalam Surat Annisa Ayat 59 Hamka menjelaskan, ada tiga pokok pembangunan kekuasaan dalam Islam, Pertama, Dalam ayat itu menjelaskan perintah taat pada Allah sebagai pemegang kendali dan penguasa tertinggi dan perintah ini ditujukan pada kaum/umat yang beriman, setelah itu kemudian orang beriman diperintahkan pula taat pada rasul . Sebab taat kepada rasul  adalah lanjutan dari taat kepada Allah.Banyak perintah Allah yang wajib ditaati, tetapi tidak dapat dijalankan kalau tidak melihat contoh teladan.Maka contoh teladan itu hanya ada pada rasul  dan dengan taat pada rasul  barulah sempurna beragama.
Kemudian diikuti oleh perintah taat pada Ulil amri-minkum, orang-orang yang menguasai pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa di antara kamu atau daripada kamu.Minkum mempunyai dua arti :
a.       Di antara kamu,
b.      Daripada kamu.
Maksudnya yaitu mereka yang berkuasa itu adalah daripada kamu juga, naik atau terpilih atau kamu akui kekuasaannya sebagai satu kenyataan.
Ulil amri yang waib ditaati adalah pemimpin yang melaksanakan kewajibannya sebagai pemimpin dengan menjalankan semua perintah yang terdapat dalam al Qur’an dan sunnah rasul . Dan pemimpin yang menjalankan amanatnya dengan baik dan benar.Sedangkan pemimpin yang zalim dan tidak melaksanakan amanat sesuai ketentuan al Qur’an dan sunnah maka tidak ada kewajiban untuk mentaatinya.
Sedangkan dalam Surat Annisa ayat 83 Hamka menjelaskan, bahwa makna ulil amri dalam konteks ayat ini adalah sahabat-sahabat Nabi yang utama yang berada di sekeliling beliu. Karena asbabun nuzul ayat ini mengenai orang-orang munafik yang suka menyebarkan isu-isu yang tidak benar di sekeliling mereka dan itu membuat khawatir orang-orang beriman saat itu maka Allah memerintahkan dalam ayat tersebut seandainya ada berita atau khabar yang menimbulkan kecemasan hendaklah segera dikembalikan atau dirujuk kepada rasul  dan para sahabatnya agar tidak terjadi kesalah pahaman diantara kaum muslimin saat itu.

c.    Kesimpulan
Dengan menganalisa pemikiran kedua tokoh dalam hal ini adalah Hamka dan Ibnu Taimiyah kita telah menemukan seperti apa konsep ulil amri dan dapat menggarisbawahi beberapa poin penting tentang konsep ulil amri menurut pemikiran mereka masing-masing.
Penafsiran ulil amri menurut Ibnu Taimiyah dan Hamka berbeda dengan ulil amri pada masa sekarang ini, menurut mereka ulil amri yang wajib ditaati dan dipatuhi serta diteladani adalah pemimpin yang memiliki kapabilitas dan faqih dalam ilmu agama, ia dapat melaksanakan amanah dengan baik sesuai dengan syari’at allah dan rosulnya. Pemimpin seperti itulah yang wajib dipatuhi dan akan berdosa jika melanggar perintah dan tidak menaatatinya.
Sedangkan pemimpin pada masa sekarang, jika dia mampu memilki semua kriteria yang layak bagi seorang pemimpin maka ia pun wajib ditaati aturannya, akan tetapi jika dia adalah seseorang yang lalai dan gemar bermaksiat dan telah mendzolimi rakyatnya maka rakyatnya hanya diberikan kewajiban untuk mentaatinya sebatas hal-hal yang tidak melawan perintah Allah dan Rasul, jika perintah itu berlawanan dengan perintah Allah dan Rasul (Baca: korupsi, suap dan lain-lain) maka rakyat tidak ada kewajiban untuk mematuhi perintahnya dan pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang ia lakukan pada rakyatnya.
Adapun persamaan dan perbedaan kedua tokoh tentang konsep ini :
a.    Persamaan pemikiran
Dengan menganalisa sosio historis kedua tokoh maka akan kita temukan latar belakang yang hampir tidak jauh berbeda, karena kedua tokoh tersebut mengalami pergolakan politik yang memojokkan keduanya pada ranah yang tertindas, sehingga kedua tokoh harus mengalami kehidupan di penjara dengan berbagai siksaan fisik dan mental yang mempengaruhi setiap karya yang mereka konsepsikan, terutama Hamka yang merampungkan Tafsir al Azhar sepanjang di penjara, maka ada banyak persamaan antara kedua tokoh mengenai konsep ulil amri yang dapat kita terapkan pada masa sekarang ini:
1). Bahwa ulil amri dalam konteks surat annisa ayat 83 dan 59 adalah pemimpin yang memiliki kapabilitas yang sama dengan para sahabat, yang mentaati dan melaksanakan amanat kepemimpinannya berdasarkan pada al Quran dan hadis.
2). Pemimpin adalah seorang alim ulama yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan amanat rakyat dengan baik, jika pemimpin tidak sesuai dengan perintah Allah dan Rasul, dan tidak melaksanakan amanahnya dengan baik maka tidak layak untuk ditaati dan dipatuhi.

b.    Perbedaan pemikiran
Berdasarkan sosio historis kedua tokoh, meskipun keadaan geografis dan Negara yang berbeda dari kedua tokoh tersebut, akan tetapi pemahaman keduanya pada al Qur’an dan Hadis tidak begitu berbeda. Untuk itu, keduanya sama-sama mendefinisikan bahwa pemimpin yang layak untuk dipatuhi, ditaati adalah pemimpin yang alim, yang taat beragama, yang melaksanakan amanah dengan baik. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim[1]
روى الشيخان عن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إنه ستكون بعدي أثرة و أمور تنكرونها قالوا يا رسول الله كيف تأمر من أدرك منا ذلك قال تؤدون الحق الذي عليكم و تسألون الله الذي لكم
Bukhari muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata : Rasulullah Saw bersabda : sungguh kelak sepeninggalku akan ada perilaku monopoli (ulil amri) dan bentuk-bentuk pelanggaran yang kalian pasti tidak menyetujuinya, para sahabat bertanya “ Wahai Rasulullah lantas apa yang engkau perintahkan kepada seseorang dari kami yang menemui masa seperti itu?” beliu menjawab : “Hendaklah kalian menunaikan apa yang menjadi kewajiban kalian kepadanya dan kalian memohon kepada allah apa yang menjadi hak kalian.
Bahwa suatu saat akan datang pada kita pemimpin-pemimpin yang rusak, jika pemimpin itu berbuat kejahatan maka patuhi saja perintahnya yang tidak bertentangan dengan syari’at, sedangkan jika itu bertentangan maka tidak perlu ditaati, dan dia bertanggungjawab dengan kejahatan yang ia perbuat sendiri dan kita sebagai rakyat yang dipimpin tidak akan menanggung kesalahannya.[2]
Akan tetapi ada perbedaan yang cukup signifikan dan menonjol dalam diri kedua tokoh yang mempengaruhi pemikirannya, bahwa Ibnu Taimiyah berpendapat seandainya tidak ada lagi pemimpin yang muslim yang taat dalam negara itu maka tidak mengapa jika orang non muslim menjadi pemimpin negara, tapi harus memiliki kemampuan memimpin dengan baik, baginya lebih baik hidup 1000 tahun dipimpin oleh pemimpin yang dzalim daripada tidak ada pemimpin sama sekali. Sedangkan Hamka tetap mendahulukan pemimpin muslim yang harus memimpin negara.

Sumber Rujukan :
Hamka, Tafsir al Azhar, Jakarta: PT Pustaka Panjimas, Juz V,  Pebruari 1987.
Hamka, Hubungan antara agama dan negara menurut islam, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1970.
Jeje, Abdul Rajak, Politik kenegaraan : pemikiran-pemikiran al Ghozali dan Ibnu Taimiyah, Surabaya : PT.Bina Ilmu, 1996.
Nawawi, Imam, Ringkasan Riyadush Shalihin, Bandung : Irsyad Baitu Salam, November 2006.
Taimiyah, Ibnu, Majmuatul Fatawa, Jakarta :PustakaDarulHaq, 2005.
Taimiyah, Ibnu, Siyasah Syar’iyah : “Etika politik islam”, Surabaya: Risalah gusti, 2005.
Taimiyah, Ibnu, Al furqan baina aulia ar rahman, Risalah ila sulthan, juz I hal 264.
Taimiyah, Ibnu, Tugas Negara menurut islam, Yogyakarta, PustakaPelajar, cetakan I Januari 2004.





[1] Nawawi, Imam, Ringkasan Riyadush Shalihin, Hal 302 Bandung : Irsyad Baitu Salam, November 2006.
[2] Nawawi, Imam, Ringkasan Riyadush Shalihin, Hal 304 Bandung : Irsyad Baitu Salam, November 2006.

Kamis, 27 September 2012 0 komentar

Mantra-mantra Sakti



Ini mantraku, dari langit ke bumi mencarimu
Membaca setiap takdir pertemuanku,
Sim salabim abracadabra
Kau, perindu yang tersangkut

Ini jampiku, dari langit ke bumi mencarimu
Menjumpa para dedukun mengguna-gunamu
Menyimpan risalah perindu-perindu malam
Sim salabim abracadabra
Kau, terbalut dalam mimpiku.

Sim salabim abracabadra
Ini mantraku, dari langit ke bumi mencarimu
Membacakan jampi-jampi
Dan Kau, pencarianku terakhirku.



0 komentar

Perjalanan masa depan (Penampilan is My Everything)


Petra, selamat malam, untuk malammu yang sudah habis oleh waktu, untuk malammu yang lupa membaginya denganku, malam yang kau sibukkan dengan egomu sendiri, apa malam ini kau masih sama seperti malam-malam yang lalu, duduk termangu menghadap layar laptopmu menghabiskan semua sisa seolah yang hidup di dunia hanya kau dan benda itu. 
 
Petra, malam ini ada sesuatu yang mengusik pikiranku, sesuatu yang sebetulnya pernah kualami sendiri, dan pada akhirnya aku sadar dan membebaskan diriku, kumulai ceritaku dari siang tadi, teman satu kostku tiba-tiba sakit, badannya demam tinggi, mual-mual dan selalu ingin ke kamar mandi, aku heran karena hari sebelumnya dia baik-baik saja, sampai siang tadi dia terlihat baik, ya memang namanya ujian Allah tidak diduga datangnya kapan, maka hari itu dia tidak berangkat ke kampus, aku sudah menyuruhnya minum obat dan istirahat, tapi dia diam saja, aku bertambah heran karena tidak biasanya dia diam, sekali lagi aku berpositif mungkin karena dia sakit jadi sifat asli cerewetnya mati seketika, tapi aku merasa ada sesutu yang ia sembunyikan dariku, entahlah dan hari itu aku ke kampus sendirian. 
 
Sepulang dari kampus, aku lihat dia mual-mual dan bolak balik kamar mandi, sambil menahan perutnya ia merintih kesakitan, tanpa peduli apapun lagi kuhampiri dan kutanyai sebetulnya dia sakit apa, sangat mencurigakan sekali petra, perasaanku makin tidak tenang.
Sambil menangis dia memelukku, ada satu kalimat yang dia tanyakan yang membuatku tak bisa menjawabnya. 
 
Aira, ada tidak obat pelangsing yang tidak menyiksa?”

Kutahan nafasku sesaat, jantungku berpacu cepat, aku benar-benar tak bisa bicara petra, sepertinya saat itu dunia sedang menghakimiku dan aku tak bisa menjawabnya.
Singkatnya petra, temanku tadi sakit karena minum obat pelangsing, setiap hari rutin dia mengkonsumsi obat, jamu, minuman dan semua hal yang bisa menurunkan berat badan, obsesi besarnya dipicu karena merasa malu dengan berat badan yang tidak normal dan berlebihan, ditambah lagi dia beralasan laki-laki tidak suka perempuan gemuk. 
 
Petra, aku malu. Bagaimana aku bisa menasehati dia panjang lebar dan menenangkannya, diam-diam aku pun mengkonsumsi obat pelangsing seperti dia.
Melihat perempuan diluar sana memiliki tubuh bagus dan langsing, sungguh ada keinginan dalam hati perempuan manapun termasuk aku, hanya saja seberapa besar keinginan itu, untuk yang tidak terlalu peduli maka ia akan berusaha menepisnya, tapi aku yakin setiap wanita menginginkannya.
Petra, apa salah menginginkan fisik yang sempurna? 
 
Fisik, bagi sebagian besar kaum wanita menjadi nomor satu, apapun cara akan dilakukan untuk mendapatkan fisik yang bagus, wajah yang cantik, tubuh yang langsing, dan kulit yang putih, sungguh tidak salah petra, jika saja kau menjadi perempuan maka ku yakin kau akan terserang virus itu meskipun sangat kecil. Tapi apa yang salah, yang salah kalau semua yang dilakukan berlebihan dan diluar koridor agama kita, bukankah Allah berfirman “Janganlah kamu sekalian menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan”, maka ketika untuk memiliki wajah yang cantik dengan operasi pelastik, memakai make up berlebihan dan belum tentu halal, justru saat itulah dia sedang merusak wajahnya, ketika untuk mendapatkan tubuh yang langsing dia harus mati-matian minum segala pil, obat atau apapun yang bisa menurunkan berat badan, maka saat itulah ia sedang menyiksa tubuhnya, buktinya temanku itu pada akhirnya tersiksa dan jatuh sakit.
Petra, terkadang laki-laki juga salah, mereka selalu menuntut lebih dari wanita, ingin pasangan cantik, fisik oke, kulit putih, tubuh seperti gitar spanyol, sehingga wanita yang tidak memiliki kriteria yang diinginkan akan tersingkir dan dianggap rendah di mata lelaki, sehingga mereka berusaha mati-matian untuk sempurna. Padahal tidak selalu laki-laki juga memenuhi kriteria tersebut, dasar laki-laki. 
 
Petra, untukmu sebagai laki-laki jangan melihat perempuan dari fisik, kata Ibnu Qoyyim al Jauziyah, cinta itu adalah sebab dan dia akan hilang bersamaan dengan hilangnya sebab tersebut, maka ketika seseorang mencintai pasangannya karena fisik, saat usianya mulai menua, kecantikannya akan hilang berganti kulit keriput dan rambut yang memutih, maka cintanya akan ikut hilang. 
 
Petra, aku janji tidak akan menyiksa diriku lagi, aku akan membebaskannya, bebas menjadi perempuan yang bisa sempurna lewat hatinya.... 
 
Malam ini, biarkan tidurku lelap tanpa ada kau dalam mimpiku...



Selamat malam petra.


Aira


0 komentar

Corak dan Metode Tafsir

28 September 2012


Assalamualaikum....
Hai teman2 TH dimanapun berada, kuliah online edisi selanjutnya, semoga kita selalu dilindungi Allah dan dimudahkan pemahaman yang benar dalam ilmu.
Jika kemarin kita membahas bagaimana sejarah perkembangan tafsir dari zaman Nabi sampai masa kodifiksai, maka kali ini kita akan membahas macam-macam metode ulama tafsir dalam menafsirkan ayat.
Dalam ilmu tafsir, ada banyak corak dan metode yang digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan teks (ayat), untuk memahami penafsiran suatu ayat maka kita harus tahu metode apa yang digunakan, misalnya saja sebagaimana dalam kuliah beberapa hari lalu sudah dibahas panjang lebar tentang bagaimana Muhammad Abduh dengan Tafsir al Manarnya, dimana beliu dalam menafsirkan ayat menggunakan metode tahlili.
Ini dia beberapa corak dan metode tafsir :
  1. Metode Tahlili
Ini adalah salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan ayat-ayat al Qur’an dari seluruh aspeknya. Seorang penafsir yang menggunakan metode akan menafsirkan ayat dengan runtut dari awal hingga akhirnya dan surat demi surat sesuai urutan mushaf usmani, ia juga menguraikan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki juga unsur i’jaz dan balaghah serta kandungannya dalam berbagai aspek pengetahuan dan hukum.
Metode ini juga tidak melepaskan aspek asbabul nuzul suatu ayat serta munasabah ayat yang satu dengan ayat yang lainnya.
Kalau dilihat dari kecenderungan para penafsir metode tahlili ini dapat berupa :
Tafsir bil Ma’tsur (ayat dengan ayat atau dengan riwayat, contohnya tafsir Ibnu Katsir, tafsir Ath Thabari) ,Tafsir bi Ra’yi (lebih besar porsi ijtihad penafsir, contohnya Mafatih al Ghaib karya al Razi), Tafsir al Shufi (Mentikberatkan pada makna bathin, biasanya kaum sufi contohnya Haqa’iq al Tafsir karya al Salami), Tafsir al Fiqhi (orientasinya pada persoalan hukum islam, contohnya al Jami’li Ahkam al Qur’an karya Qurthubi), Tafsir al Falsafi , Tafsir al Ilmi (berkaitan dengan ayat-ayat kauniyah), dan Tafsir al Adab al Ijtima’i (cenderung kepada persoalan sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Contohnya tafsir al Manar karya M.Abduh dan Rasyid Ridha).
  1. Metode Ijmali
Metode Ijmali adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al Qur’an dengan cara mengemukakan makna global suatu ayat.
Dengan metode ini si penafsir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti diluar teks.
Biasanya penafsir yang menggunakan metode ini dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang sederhana dan ringkas, serta memberika idiom yang mirip bahkan hampir sama dengan al qur’an sehingga pembaca mudah memahami penafsirannya.
Contoh Penafsir yang menggunakan metode ini adalah Jalal al Din al Suyuthi dan Jalal al Din al Mahali dengan kitabnya Tafsir Jalalain dan Muhammad Farid Wajdi dengan kitab Tafsir al Qur’an al Adzim.
  1. Metode Muqaran
Sesuai dengan namanya, metode ini lebih menekankan pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir al Qur’an.
Penafsir biasanya mengumpulkan ayat-ayat kemudian mengkajinya dan meneliti penafsiran sejumlah mufassir mengenai ayat tersebut dalam kitab mereka.
Salah satu contoh tafsir yang lahir di zaman modern ini adalah Qur’an and Interpreters karya Prof Mahmud Ayyub.
  1. Metode Maudhu’i
Metode ini disebut juga metode tematik, karena pembahasannya berdasarkan pada tema-tema tertentu yang ada dalam al Qur’an.
Ada dua cara kerja dalam penggunaan metode ini, Pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat al qur’an yang berbicara tentang satu masalah/tema tertentu serta mengarah pada tujuan yang sama. Kedua, penafsirkan berdasarkan surat al Qur’an.
Al Farmawi mengemukakan ada 7 langkah yang harus ditempuh apabila seseorang ingin menggunakan metode ini, memilih masalah yang akan dikaji secara tematik, kemudian melacak ayat-ayat yang berkaitan, menyusun ayat tersebut secara runtut menurut kronologis turunnya dan asbabul nuzulnya, lalu mengetahui munasabah ayat, menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas dan utuh, dan terakhir melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadis bila dipandang perlu sehingga pembahasan lebih sempurna.

Sumber Bacaan :
Prof. Dr. Abdul Muin Salim, MA, Metodologi Ilmu Tafsir, Cetakan 1 Februari 2005 Yogyakarta : TERAS.
Syaikh Manna’ al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, Jakarta : Pustaka Al Kautsar, Cetakan kedua Juli 2007, Alih bahasa Aunur Rafiq El Mazni. Hal 419-440.
Salam hangat.

Nailul Fauziah
(TH_FAI UAD)

Kamis, 13 September 2012 0 komentar

Penyesalan

Apa kau menyesal?
Aku tak pernah ingin melabelkan keadaan ini sebagai sebuah penyesalan, apapun yang terjadi kuanggap semuanya baik2 saja, penyesalan lebih identik dengan sesuatu yang menyedihkan, dan aku tak ingin larut di dalamnya, kuanggap semuanya baik-baik saja..
Malam yang semakin larut, aku bahkan sudah lupa dengan dingin angin malam, sepinya, dan semua tentang malam aku sudah lupa, karena aku telah menjadi bagiannya.
Dan saat malam sudah semakin larut, smsmu yang tiba-tiba membuat malamku semakin amnesia. 


Sudah tidur? Malam ini aku tak bisa tidur.
Petra, boleh aku bertanya, hmm apa kau benar2 tidak menyesal?”
Aira. 


Smsmu kubiarkan begitu saja, tidak ada yang perlu dijawab, tidak ada, dan yang paling penting tidak ada penyesalan. 

Aira, penyesalan hanya akan menjadi beban berat yang kau larutkan dalam pikiranmu dan pada akhirnya kau hanya akan bersedih dan tidak bisa menerima apapun yang terjadi, itu sungguh tidak baik, kau bisa sakit, kau bisa terkena kanker otak kalau terlalu sering memikirkannya, dan kemungkinan terakhir kau akan stres atau paling tidak depresi tingkat satu.
Aira, hidup kita, diri kita bukan milik kita seutuhnya, dan kita tak bisa mengaturnya sesuka hati, ada saat dimana kita harus patuh pada aturan pemilik, dan menyesal hanya akan membuatmu lelah, aku mengkhawatirkanmu. 

Satu pesan terkirim. 

“Tidurlah sudah malam tidak baik untukmu,
 dan maaf aira, aku tak pernah menyesal”.
Petra. 






Aku akan bahagia dengan apapun cara Dia membuatku bahagia, meski tidak lagi denganmu aira. Dan kuyakin kau pun akan bahagia..:)

Bagaimana komentar anda dengan postingan saya?

 
;