Senin, 16 April 2012 0 komentar

Ragu




Bahkan malaikat pun ragu kepada yang Maha tidak pantas untuk diragukan, dan manusialah yang menjadi keraguannya. 

Ketika nyali teruji, perasaan masih belum kau labelkan dengan keyakinan diri, dan sugesti semakin kuat mengerami , maka saat itulah kau akan mencari sebuah kepatutan. Krisis tidak hanya melanda Negara, saat jiwa lengah maka ion-ion negative mengecam, menyimpan dan suatu saat akan mereproduksi kembali, merecall kembali keyakinan yang sudah lama kau pasung dalam terali hati. Tidaklah berdosa manusia ditimpa keraguan, tapi satu hal yang perlu dipertanyakan sejauhmana kau sudah menahannya, sejauhmana kau sudah memperbaiki kerancuan pikiranmu yang menganggap sesuatu hal menjadi tidak lagi sama, tidak lagi utuh dan akhirnya kau ragu. 

Maka kekuranganlah yang selalu menjadi penyebabnya. 

Dan kesalahan besar jika menganggap kekurangan adalah kesalahan terbesar yang harus dibuang, harus ditutupi dan dibohongi, maka kau tidak akan pernah menemukan kesempurnaan yang sebenarnya.

Mengapa malaikat ragu?;
Karena dia menganggap sesuatu yang sempurna hanya akan ada dan datang dari kebaikan semata. Tidak perlu ada kekurangan, keburukan, dan itulah yang membuatnya ragu bahwa manusia memiliki semuanya.
Dua hal yang bisa menimbulkan kesempurnaan. Kita, memilikinya
Dan malaikatpun cemburu….. 
Kembalikan kepercayaan dengan menjadi manusia sempurna dari potensi baik dan buruk yang bisa kau racik dengan bumbu kebaikan. 

Ragulah, maka keyakinan akan datang.
Kamis, 12 April 2012 0 komentar

Hukum Wanita Haid Berdiam Di Masjid dan Baca Al Qur’an




untuk teman-teman, dan saudara-saudara kaum perempuan... semoga bermanfaat....

Hukum Wanita Haid Berdiam di Masjid

          Jumhur ulama, di antaranya imam madzhab yang empat, sepakat bahwa wanita yang haid tidak boleh berdiam (al-lubts) di dalam masjid, karena ada hadits Nabi SAW yang mengharamkannya.[1] Imam Dawud Azh-Zhahiri membolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di masjid.[2] Namun pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang mengharamkannya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” (HR. Abu Dawud).[3]

          Yang dimaksud berdiam (Arab : al-lubtsu, atau al-muktsu) artinya berdiam atau tinggal di masjid, misalnya duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Tidak ada bedanya apakah duduk atau berdiri. Berjalan mondar-mandir (at-taraddud) di dalam masjid, juga tidak dibolehkan bagi wanita haid.[4]
Berdasarkan surat Annisa ayat 43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (43)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.

          Adapun jika seorang wanita haid sekedar lewat atau melintas (al-murur) di dalam masjid karena suatu keperluan, maka itu tidak apa-apa. Dengan catatan wanita itu tidak merasa khawatir akan mengotori masjid.[5] Dalilnya, Nabi SAW pernah memerintah ‘Aisyah untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Lalu ‘A`isyah berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Rasul bersabda,”Sesungguhnya haidhmu itu bukan berada di tanganmu.” (HR. Muslim).[6] Selain itu, ada riwayat lain bahwa Maimunah RA pernah berkata,”Salah seorang dari kami pernah membawa sajadah ke masjid lalu membentangkannya, padahal dia sedang haidh.” (HR. An-Nasa`i).[7]  
          Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya hukum syara’ dalam masalah ini telah jelas, yaitu wanita haid dilarang berdiam diri di masjid. Adapun jika sekedar lewat atau melintas, hukumnya boleh dengan syarat tidak ada kekhawatiran akan mengotori masjid.
          Sebagian ulama seperti Albani, membolehkan wanita haid berdiam di masjid asalkan ia merasa aman (tidak khawatir) akan dapat mengotori masjid, misalnya dengan memakai pembalut.[8] Dan alasan dia masuk masjid karena untuk menuntut ilmu maka boleh, Dalam Syarah Al-Bajuri Juz I hal. 115 dikatakan, bahwa kalau wanita haid tidak khawatir akan mengotori masjid, atau bahkan merasa aman, maka pada saat itu tidak diharamkan baginya masuk masjid, tetapi hanya makruh saja.[9]
          Menurut sebagian ulama, pendapat itu tidak dapat diterima. Sebab pendapat tersebut tidak mempunyai landasan syar’i yang kuat. Pendapat tersebut menjadikan “kekhawatiran mengotori masjid”, sebagai illat (alasan penetapan hukum) bagi haramnya wanita berdiam di masjid. Jadi, jika kekhawatiran itu sudah lenyap (dengan memakai pembalut), maka hukumnya tidak haram lagi. Padahal, hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat bagi haramnya wanita haid untuk berdiam di masjid. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa keharamannya dikarenakan ada kekhawatiran akan menajiskan masjid. Sehingga jika kekhawatiran itu lenyap (dengan memakai pembalut) maka hukumnya tidak haram. Tidak bisa dikatakan demikian, karena nash yang ada tidak menunjukkan adanya illat itu. Nabi SAW hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.”  Nash ini jelas tidak menunjukkan adanya illat apa pun, baik illat secara sharahah (jelas), dalalah (penunjukan), istinbath, atau qiyas.
Berdasarkan dua pendapat yang berbeda tersebut, untuk lebih berhati-hati dan dikhawatirkan mengotori masjid lebih baik tidak usah berdiam diri di masjid, jika dengan alasan menuntut ilmu misalnya mengikuti pengajian, maka masih ada solusi lain yang bisa digunakan yaitu dengan duduk di beranda luar masjid atau teras masjid atau tempat-tempat sekitar masjid yang tidak dipakai untuk shalat.
         

  Batasan Masjid
          Setelah jelas wanita haid tidak boleh berdiam di masjid, maka pertanyaan berikutnya adalah, apa batasan masjid itu? Masjid adalah tempat yang ditetapkan untuk mendirikan shalat jamaah bagi orang umum.[10] Yang dimaksud shalat jamaah, terutama adalah shalat jamaah lima waktu dan shalat Jumat. Namun termasuk juga shalat jamaah sunnah seperti shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri atau Idul adha. Di Indonesia, jika hanya untuk berjamaah lima waktu tetapi tidak digunakan shalat Jumat, tempat itu biasanya tidak disebut masjid, tapi disebut musholla, atau nama yang semisalnya, yaitu langgar (Jawa), surau (Sumatera Barat), atau meunasah (Aceh). Sedang istilah masjid atau masjid jami`, biasanya digunakan untuk tempat yang dipakai shalat Jumat.  Sebenarnya, semua itu termasuk kategori masjid, menurut definisi di atas. Karena yang penting tempat itu digunakan shalat berjamaah untuk orang umum. Maka, terhadap musholla, atau langgar, surau, atau meunasah, diberlakukan juga hukum-hukum untuk masjid, misalnya wanita haid tidak boleh berdiam di dalamnya. Walaupun tidak dinamakan masjid. Adapun jika sebuah tempat disiapkan untuk shalat jamaah, tapi hanya untuk orang tertentu (misal penghuni suatu rumah), maka tempat itu tidak dinamakan masjid, dan tidak diterapkan hukum-hukum masjid padanya. Demikian pula jika sebuah tempat hanya digunakan untuk shalat secara sendiri, bukan untuk shalat jamaah, maka itu juga bukan dinamakan masjid.
Definisi di atas adalah definisi umum, yaitu untuk membedakan masjid dengan bangunan yang bukan masjid. Ada definisi khusus, yaitu masjid dalam pengertian tempat-tempat yang digunakan untuk shalat (mawadhi’ ash-shalat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawdhi’ as-sujud).[11] Definisi khusus ini untuk membedakan berlakunya hukum mesjid bagi sebuah kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan atau ruang untuk berbagai keperluan. Sebab adakalanya sebuah kompleks masjid itu memiliki banyak ruangan, atau mungkin mempunyai dua lantai, mempunyai kamar khusus untuk penjaga masjid, mempunyai ruang sidang/rapat, toko, teras, tempat parkir, dan sebagainya. Bahkan ada masjid yang lantai dasarnya kadang digunakan untuk acara resepsi pernikahan, pameran, dan sebagainya. Apakah semua ruangan itu disebut masjid dan berlaku hukum-hukum masjid? Menurut pemahaman kami, jawabnya tidak. Dalam keadaan ini, berlakulah definisi khusus masjid, yaitu masjid sebagai mawadhi` ash-sholat (tempat-tempat sholat).[12]
Maka dari itu, teras masjid bukanlah masjid, jika teras itu memang tidak digunakan untuk shalat jamaah. Jika digunakan shalat jamaah, termasuk masjid. Demikian pula bagian masjid yang lain, misalnya ruang sidang, ruang rapat, kamar penjaga masjid, tempat parkir, dan sebagainya. Semuanya bukan masjid jika tidak digunakan untuk shalat jamaah. Ringkasnya, semua tempat atau ruang yang tidak digunakan shalat jamaah, tidak dinamakan masjid, meski pun merupakan bagian dari keseluruhan bangunan masjid.
Bagaimana andaikata suatu tempat di masjid (misalkan teras) kadang digunakan shalat jamaah dan kadang tidak? Jawabannya adalah sebagai berikut. Yang menjadi patokan adalah apakah suatu tempat itu lebih sering dipakai shalat jamaah, atau lebih sering tidak dipakai untuk shalat jamaah. Jika lebih sering dipakai shalat jamaah, maka dihukumi masjid. Jika lebih sering tidak dipakai, maka tidak dianggap masjid.        
Yang demikian itu bertolak dari suatu prinsip bahwa hukum syara’ itu didasarkan pada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann). Dan dugaan kuat itu dapat disimpulkan dari kenyataan yang lebih banyak/dominan (aghlabiyah). Ini sebagaimana metode para fuqaha ketika menetapkan pensyariatan Musaqah (akad menyirami pohon)  --bukan Muzara’ah (akad bagi hasil pertanian)--  di tanah Khaybar. Mengapa? Karena tanah di Khaybar (sebelah utara Madinah) pada masa Nabi SAW sebagian besarnya adalah tanah-tanah yang berpohon kurma. Sedang di sela-sela pohon kurma itu, yang luasnya lebih sedikit, ada tanah-tanah kosong yang bisa ditanami gandum.  Hal ini bisa diketahui dari riwayat Ibn Umar, bahwa hasil pertanian Khaybar yang diberikan Nabi kepada para isteri beliau, jumlahnya 100 wasaq, terdiri 80 wasaq buah kurma dan 20 wasaq gandum (HR. Bukhari).[13] Karena yang lebih banyak adalah hasil kurma, bukan gandum, maka akad yang ada di Khaybar sesungguhnya adalah Musaqah, bukan Muzara`ah.
Penjelasan di atas menunjukkan contoh kasus bahwa hukum syara’ itu dapat didasarkan pada kenyataan yang lebih banyak (aghlabiyah). Maka dari itu, ketika kita menghadapi fakta adanya teras masjid yang kadang dipakai shalat dan kadang tidak dipakai shalat jamaah, kita harus melihat dulu, manakah yang aghlabiyah (yang lebih banyak/sering). Jika lebih sering dipakai shalat jamaah, maka teras itu dihukumi masjid. Dan jika lebih sering tidak dipakai shalat jamaah, maka teras itu dianggap bukan masjid. Wallahu a’lam



Hukum membaca al-Qur’an bagi wanita haid

Bahwa larangan membaca al-Qur’an bagi orang yang berhadas besar hanyalah berdasarkan etis dan kepatutan serta sebagai tanda memuliakan dan menghormati Kalamullah, karena tidak ditemukan hadits yang dapat dijadikan hujjah yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Bahkan ada hadits shahih yang mengisyaratkan bahwa orang yang berhadas besar boleh membaca al-Qur’an.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ. [رواه مسلم وأبو داود والترمذى].
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata: Adalah Nabi saw menyebut nama Allah dalam segala hal.” [HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Turmudzi].
Dari hadits di atas dapat difahami bahwa orang yang berhadas besar boleh berzikir menyebut nama Allah. Membaca al-Qur’an dapat disamakan dengan menyebut nama Allah.
Mengenai ayat laa yamassuhu illal-muthahharuun (al-Waqi‘ah ayat 79)
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.

Menurut riwayat diturunkan di Makkah, sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah. Sedang mushaf al-Qur’an baru ada pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, yang berarti adanya mushaf al-Qur’an setelah lebih kurang 30 tahun setelah ayat tersebut diturunkan. Pada masa Khalifah Utsman baru ada lima mushaf dan itupun belum beredar ke tengah masyarakat. Mushaf al-Qur’an baru dicetak dan mulai beredar ke tengah masyarakat lebih kurang 900 tahun kemudian. Karena itu, ayat di atas tidak ada kaitannya dengan mushaf al-Qur’an.
Dari pendapat para mufassir dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-muthahharuun, ialah orang yang suci yang benar-benar beriman kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa al-muthahharuun itu adalah para malaikat.  Orang-orang inilah yang dapat menyentuh isi dan kandungan al-Qur’an. Sedangkan orang yang tidak suci tidak akan dapat menyentuh kandungan dan isi al-Qur’an. Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa yang paling baik bagi orang yang hendak membaca al-Qur’an adalah ia dalam keadaan suci dari hadas dan najis, serta berwudlu terlebih dahulu. Karena yang akan kita baca bukan sembarang kitab, melainkan wahyu Allah yang menjadi petunjuk hidup bagi manusia. Pendapat ini sesuai pula dengan pendapat Ibnul Qayyim. Akan tetapi, ketika dalam keadaan haid pun boleh-boleh saja membacanya dengan maksud menambah ilmu dan merenungi serta belajar memahami ayat-ayatnya.
Wallahu A’lam Bi Showab



13/4/2012
09.27 AM.
NF


[1] Muhammad bin Abdurrahman, Rohmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal.  17.
[2] Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam, I/92.
[3] Hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah. Lihat Subulus Salam, I/92. Menurut Ibn al-Qaththan, hadits ini hasan, Kifayatul Akhyar, I/80.
[4] Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/80.
[5] Lihat As-Suyuthi, “Al-Qaul fi Ahkam Al-Masajid”, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 241, dan “Bab Al-Haidh”, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 247; As-Sayid A’lawi, Bughyatul Mustarsyidin, hal. 14.
[6] Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 76; M. Shalih Al-Utsaimin, Al-Fatawa An-Nisa`iyah (Fatwa-Fatwa Tentang Wanita), hal. 44.
[7] Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 77.
[8] Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/78.
[9] KH. Moch Anwar, 100 Masail Fiqhiyah : Mengupas Masalah Agama yang Pelik dan Aktual, hal. 51.
[10] Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Sholat, hal. 274-275; Koleksi Hadits-Hadits Hukum, III/368; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 416.
[11] Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152.
[12] Ibid.
[13] Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 319.
Kamis, 05 April 2012 1 komentar

SEPUTAR DANA TALANGAN HAJI


I.       PENDAHULUAN
Dewasa ini, dunia perbankan dan lembaga keuangan syariah mengalami perkembangan yang sangat cepat.Produk-produk yang inovatif juga bermunculan secara beragam sehingga beberapa model akad multi jasa tidak bisa dihindari lagi, bahkan semakin marak. Seperti praktik adanya pembiayaan dana talangan haji bagi para calon yang ingin menunaikan haji yang sekarang ini sedang menjamur di tengah masyarakat. Sebagian orang menganggap dana talangan haji sebagai aplikasi dari akad qardh (pinjaman) dan Ijarah (sewa-menyewa jasa).
Di satu sisi, masyarakat memandang adanya pembiayaan dana talangan haji sebagai alternatif yang cukup menarik untuk mengatasi masalah sulitnya berhaji, baik karena faktor pendanaan yang belum mencukupi maupun karena terbatasnya quota haji yang tersedia untuk calon jamaah haji di Indonesia. Namun di sisi lain, diduga ada unsur riba dalam praktek dana talangan haji. Hal ini karena praktek dana talangan haji mengharuskan calon jamaah haji membayar sejumlah uang lebih daripada yang dipinjamnya.
Lembaga perbankan dan keuangan syariah serta pakar ekonomi Islam harus memahami dengan baik perkembangan terakhir tentang produk-produk yang mereka tawarkan sekarang ini. Setiap produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah kepada masyarakat hendaknya betul-betul diperhatikan apakah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam Islam ataukah tidak.
Kehadiran makalah ini mencoba membahas tentang hukum pembiayaan dana talangan haji ditinjau dari aspek Hukum Islam. Penulisan makalah ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari literatur dan praktik yang terjadi dalam masyarakat kemudian dianalisis dengan perspektif dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkait.
                                               
II.    Kewajiban Haji, al-Qardh dan al-Ijarah
A.    Haji dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima, sehingga wajib bagi setiap muslim yang telah aqil baligh untuk melaksanakan ibadah haji. Allah SWT berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Artinya: “ Ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah ”. (QS. Ali Imran : 97)
Secara eksplisit ayat ini menggunakan  jumlah khabariyyah (kalimat berita) yang bermakna perintah, karena lafadzعَلَى pada ayat tersebut adalah isim fi’il amr yang menyatakan kewajiban haji.
Kata النَّاسِyang didahului dengan huruf alif lam menunjukkan semua manusia secara umum. Adapun kata مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا adalah takhsis ittishal atau pengkhususan yang bersambung dalam satu ayat yang sama, sehingga orang yang wajib haji itu hanyalah orang yang telah masuk dalam kategori istitha’ah (orang yang mampu) saja.
Pengertian istitha’ah dijelaskan oleh sabda Nabi SAW sebagai berikut:
عَنْاَنَسٍأَنَّالنَّبِيَّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفِيقَوْلِهِعَزَّوَجَلَّ: مَنِاسْتَطَاعَإِلَيْهِسَبِيلاًقَالَقِيْلَ: يَارَسُوْلَاللهِمَاالسَّبِيْلُ؟قَالَ: الزَّادُوَالرَاحِلَةُ) رواهالدارقطني(
Artinya: “Dari Anas bahwa Nabi SAW, didalam firman Allah ‘azza wajalla “man istatha’a ilaihi sabiila”, ia berkata bahwa Nabi SAW ditanya: Wahai Rasulullah apa yang dimaksud dengan “as-sabil”? Beliau menjawab: Bekal dan perjalanan.”(HR. Ad Daruquthni).
Menurut mayoritas ulama’ dalam kitab al-Bahr, bekal merupakan syarat wajib haji. Bekal adalah harta yang dapat mencukupi diri sendiri dan mencukupi keluarga yang menjadi tanggungannya selama ia melaksanakan ibadah haji. Selain bekal, ia juga harus mampu dalam hal kendaraan, maksudnya yaitu mempunyai biaya untuk ongkos menuju ke tanah suci
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang belum tergolong dalam kategori “istitha’ah” tidak perlu memaksakan diri untuk menunaikan ibadah haji. Allah SWT berfirman :
لايُكَلِّفُاللَّهُنَفْسًاإِلاوُسْعَهَا
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. al Baqarah : 286)
Huruf  لَا dalam permulaan ayat ini adalah Laa Nafi yang bertemu dengan fi’il mudhari’ berfungsi untuk meniadakan secara menyeluruh. Maksudnya Allah tidak akan membebani setiap orang sedikitpun. Adapun huruf  إِلَّا di sini adalah huruf istisna’ yang fungsinya untuk pengecualian. Secara keseluruhan dapat diartikan “tidaklah Allah itu membebani hamba-Nya sedikitpun, kecuali sesuai batas kemampuan hamba-Nya saja”. Sehingga tidak layak bagi seorang muslim memaksakan diri untuk menunaikan ibadah haji dengan melakukan berbagai cara yang akan memberatkan diri sendiri.

B.     Hakikat al-Qardh(Memberi Pinjaman)
1.      Pengertian dan Dalil Pensyariatanal-Qardh
Al-Qardh ialah harta yang diberikan oleh orang yang menghutangi kepada orang yang berhutang, untuk dikembalikan sebesar apa yang dipinjam ketika si penghutang mampu membayarnya. Al-qardh secara bahasa ialah memotong.Dan harta yang diambil oleh orang yang berhutang disebut al-qardh karena orang yang menghutangi memotongnya dari hartanya.[1]
Dalil pensyariatan al-qardh adalah hadits dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, 'Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيْاَ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَ الآخِرَةِ. وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيْهِ.
Artinya: “Barang siapa yang membantu seorang mukmin terhadap kesusahan dari kesusahan dunia, niscaya Allah SWT membantunya terhadap segala kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa yang memberi kemudahan kepada orang yang kesusahan, niscaya Allah SWT memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yang menutup (aib) seorang muslim niscaya Allah SWT menutupi (kesalahannya) di dunia dan akhirat. Dan Allah SWT selalu menolong hamba selama hamba itu selalu menolong saudaranya.”(HR. Muslim).
Hadits di atas menunjukkan bahwa pinjaman disyariatkan dalam rangka saling membantu diantara umat muslim. Selayaknya umat Islam memperhatikan syariat pinjaman (al-qardh) dengan semangat membantu saudaranya sesama muslim, tanpa mengharap imbalan (tambahan) dari saudaranya yang berhutang kepadanya. Syari’at menjelaskan bahwa al-qardh tidak membolehkan adanya tambahan pengembalian, sebagaimanaQaidah ushuliyah menyebutkan:
كُلُّقرْضٍشرطفيهانيزيدهفهوحرام
Artinya: “Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram”.
2.      FATWA DSN 19/DSN-MUI/IV/2001: TENTANG AL-QARDH
Pertama: Ketentuan Umum al-Qardh
1.      Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
2.      Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.
3.      Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
4.      LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
5.      Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
6.      Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:
1.      memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
2.      menghapus(write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Kedua:  Sanksi
1.      Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
2.      Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat berupa  penjualan barang jaminan.
3.      Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh.
Ketiga: Sumber Dana
Dana al-Qardh dapat bersumber dari:
1.      Bagian modal LKS;
2.      Keuntungan LKS yang disisihkan; dan
3.      Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.
C.    Hakikat al-Ijarah (Upah)
1.      Pengertian dan Dalil Pensyariatan al-Ijarah (Upah)
Ijarahadalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (owner ship/milkiyah) atas barang itu sendiri.[2]
Dalil pensyariatan Ijarah adalah firman Allah:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. ath-Thaalaq: 6).
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, Ya Bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”(QS. Al-Qashash: 26).
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
Artinya:“Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidr menegakkan dinding itu, Musa berkata, Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. Al-Kahfi: 77)
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Baqarah:233)
Selain itu, dalil pensyariatan al-qardh juga terdapat dalam beberapa hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَأَعْطَى الْحَجَّامَ أَجْرَهُ...واه البخري و مسلم )
Artinya: diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW berbekam dan beliau memberi upah kepada tukang bekam itu...” (HR. Bukhari dan Muslim).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَأَعْطُوْا الاَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering!(HR. Ibnu Majah).

2.      FATWA DSN MUI NO. 09/DSN-MUI/IV/2000 TENTANG PEMBIAYAAN IJARAH
Pertama :    Rukun dan Syarat Ijarah
1.      Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2.      Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa.
3.      Obyek akad ijarah adalah:
a.       manfaat barang dan sewa; atau
b.      manfaat jasa dan upah.
Kedua:    Ketentuan Obyek Ijarah
1.      Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2.      Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3.      Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
4.      Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
5.      Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6.      Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7.      Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
8.      Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
9.      Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Ketiga :    Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
1.      Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a.       Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.
b.      Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c.       Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2.      Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
a.       Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
b.      Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c.       Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Keempat : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


III. DANA TALANGAN HAJI
A.    Hakikat Dana Talangan Haji
Dana talangan haji adalah dana yang dipinjamkan oleh pihak bank kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh kursi haji saat pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Berikut ini adalah contoh beberapa bank yang mempraktekkan dana talangan haji.
1.      Bank BPD Syariah DIY
Menurut mereka, dana talangan haji merupakan cara memanfaatkan pembiayaan haji untuk merealisasikan perjalanan ke Baitullah secara lebih pasti dan lebih dekat waktu keberangkatannya. Pembiayaan dana talangan haji ini menggunakan akad ijarah multi jasa, dengan setoran tabungan minimum Rp 2.000.000,00 dan membayarkan biaya administrasi pembiayaan Rp 250.000,00 dan jangka waktu pembiayaan maksimum 48 bulan. Fee Ujrah sebesar 7,3% yang kesemuanya sudah dimasukkan dalam ketentuan angsuran tiap bulan. Dan bagi nasabah yang tidak mengangsur selama 3 bulan maka gugurlah kesempatannya untuk mendapatkan porsi haji. Adapun rincian pembiayaannya adalah sebagai berikut:[3]

No.
Maksimum Pembiayaan(Rp)
PERKIRAAN ANGSURAN MURABAHAH PERBULAN
12
24
36
48
1
5.000.000
446.667
237.708
168.472
134.167
3
7.000.000
625.333
332.792
235.861
187.833
5
9.000.000
804.000
427.875
303.250
241.500
6
10.000.000
893.333
475.417
336.944
268.333
7
11.000.000
982.667
522.958
370.639
295.167
9
13.000.000
1.161.333
618.042
438.028
348.833
11
15.000.000
1.340.000
713.125
505.417
402.500
13
17.000.000
1.518.667
808.208
572.806
456.167
15
19.000.000
1.697.333
903.292
640.194
509.833
16
20.000.000
1.786.667
950.833
673.889
536.667
17
21.000.000
1.876.000
998.375
707.583
563.500
19
23.000.000
2.054.667
1.098.458
774.972
617.167
21
25.000.000
2.233.333
1.188.542
842.361
670.833

2.      Bank BTN Syariah
Menurut mereka, dana talangan haji adalah pinjaman dana kepada nasabah Tabungan BTN Haji iB dan tabungan Haji yangmembutuhkan dana talangan untuk menunaikan  ibadah haji sesuai prinsip Syari’ah. Akad yang digunakan dalam pembiayaan ini adalah qardh (pinjaman yang diberikan kepada nasabah/ muqtaridh yang memerlukan) serta dikenakan biaya-biaya, yaitu biaya administrasi dan asuransi jiwa. Jangka waktu maksimal 5 tahun. Pengembalian besifat fleksibel dengan fee ujrah menyesuaikan jangka waktu pelunasan. Adapun rincian dana yang harus disiapkan diawal adalah:[4]
Paket talangan haji
Strata plafond
Biaya adm/tahun
Asuransi + Materai
Total dana Awal
Paket istiqamah
11-15 juta
1.237.500
200 ribu
1,5 juta
Paket mabrur
16-20 juta
1.650.000
200 ribu
2 juta
Paket akbar
21-25 juta
2.062.500
200 ribu
2,3 juta

3.      Bank Syariah Mandiri
Menurut mereka, Bank Syari’ah Mandiri (BSM) talangan haji membantu nasabah mewujudkan niat ibadah haji dengan persyaratan sangat mudah dan cepat. Akad yang digunakan adalah qardhul ijarah. Landasan dibolehkannya adalah mengacu pada aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, Dewan pengawas Syari’ah dan bank Mandiri. Adapun rincian pembiayaannya adalah sebagai berikut:[5]
Jangka waktu
Dana talangan
Set. Awal tabungan mabrur
Fee ujrah
Biaya materai
Dana nasabah
Total setoran pertama
1 th
Rp 22,5 jt
Rp 500 rb
Rp 2jt
Rp 54 rb
Rp 2,5 jt
Rp 5.054.000
2 th
Rp 22,5 jt
Rp 500 rb
Rp 3,7 jt
Rp 54 rb
Rp 2,5 jt
Rp 6.754.000
3 th
Rp 22,5 jt
Rp 500 rb
Rp 5,4 jt
Rp 54 rb
Rp 2,5 jt
Rp 8.454.000

4.      Bank BRI Syari’ah
Dalam memberikan kemudahan bagi nasabahnya yang ingin melaksanakan haji namun belum mempunyai dana yang cukup maka BRI Syari’ah memberikan solusi dengan menawarkan produknya berupa dana talangan haji. Menurut mereka, dana talangan haji dapat membantu calon jama’ah haji untuk booking seatporsi keberangkatan haji walaupun dana yang dimiliki belum mencapai Rp 25.000.000,00.
Nasabah bank yang ingin mendapatkan porsi dana talangan haji maka terlebih dahulu ia harus membuka rekening tabungan haji. Besarnya pembiayaan talanga haji yang ditawarkan oleh Bank BRI Syari’ah dimulai dari Rp 10.000.000,00 – Rp 23.000.000,00.  Nasabah juga harus memberikan uang dana sendiri (DP) terlebih dahulu, besarnya uang DP dalam hal ini berbeda-beda, misalnya nasabah akan meminjam dana talangan haji sebesar Rp 23.000.000,00 maka DP yang harus disediakan adalah Rp 2.000.000,00, sehingga jumlah keseluruhannya adalah Rp25.000.000,00. Jumlah ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh nasabah sehingga dapat didaftarkan ke Kementrian Agama (Kemenag) sebagai calon jama’ah haji.
Akad yang digunakan dalam dana talangan haji di BRI Syari’ah adalah akad qardhul ijarah. Akad al-qardh digunakan untuk memberikan pinjaman uang kepada nasabah, sedangkan akad al-ijarah digunakan untuk memberlakukan ujrah yang akan dibayarkan oleh nasabah kepada pihak bank. Adapun besar ujrah yang harus dibayarkan oleh nasabah kepada pihak Bank adalah sebesar Rp 2.070.000,00/tahun. Ujrah ini berfungsi sebagai  balas jasa dari nasabah kepada pihak Bank karena bank mendaftarkan calon jama’ah haji ke (Kemenag), baik ke daerah maupun ke pusat di Jakarta. Jangka waktu pelunasan dana talangan haji  di Bank ini selama 5 tahun, sehingga ujrah yang harus dibayar untuk jangka 5 tahun ini adalah sebesar  Rp. 10.350.000,00. Ujrah ini bisa dibayarkan di awal secara keseluruhan namun  juga bisa diangsur pertahun, namun yang diperlu diperhatikan tahun pertama ujrah wajib dibayarkan.
Simulasi dana talangan haji berdasarkan waktu dan besarnya talangan:[6]
Keterangan
Jangka Waktu
1 Tahun
2 Tahun
3 Tahun
4 Tahun
5 Tahun
Rp. 23 juta





Setoran awal tab. Haji
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
Biaya administrasi
200.000
250.000
350.000
400.000
450.000
Ujrah
2.070.000
4.140.000
6.210.000
8.280.000
10.350.000
DP
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
Jumlah
4.320.000
4.370.000
4.470.000
4.520.000
4.570.000
Angsuran/Bln
1.920.000
1.045.000
754.000
609.000
522.000






Rp. 20 juta





Setoran awal tab. Haji
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
Biaya administrasi
200.000
250.000
350.000
400.000
450.000
Ujrah
1.800.000
3.600.000
5.400.000
7.200.000
9.000.000
DP
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
Jumlah
7.050.000
7.100.000
7.200.000
7.250.000
7.300.000
Angsuran/Bln
1.667.000
909.000
656.000
530.000
454.000






Rp. 15 juta





Setoran awal tab. Haji
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
Biaya administrasi
200.000
250.000
350.000
400.000
450.000
Ujrah
1.350.000
2.700.000
4.050.000
5.400.000
750.000
DP
10.000.000
10.000.000
10.000.000
10.000.000
10.000.000
Jumlah
11.600.000
11.650.000
11. 750.000
11.800.000
11.850.000
Angsuran/Bln
1.260.000
682.000
492.000
397.000
340.000

Berdasarkan pada data bank tersebut di atas, disimpulkan bahwa praktek dana talangan haji adalah sebuah transaksi yang menggunakan akad ijarah multi jasa (BPD Syari’ah). Proses pelaksanaannya adalah bank memberikan sejumlah uang kepada nasabah sebagai dana talangan untuk melaksanakan ibadah haji. Kemudian, nasabah mengembalikan dana pinjaman tersebut dengan cara mengangsurkan sejumlah uang yang nominalnya lebih dari dana pinjaman tersebut. Selisih inilah yang oleh pihak bank disebut dengan ujrah sebagai konsekuensi akad yang telah disepakati.Ijarah multijasa ini mencoba menggabungkan antara qardh yang bersifat tabarru’at (sosial) dengan ijarah yang bersifat mu’awwadhat (komersil).
Dalam prinsip syariat, transaksi tabarru’at merupakan transaksi yang bertujuan untuk kepentingan sosial yang tidak mensyaratkan tambahan apapun.Berbeda dengan transaksi mu’awwadhat yang bertujuan untuk komersil atau mencari keuntungan. Setiap transaksi memiliki ruhnya masing-masing, sehingga tak dapat dengan mudah dan menyalahi aturan jika digabung-gabungkan antara satu dengan yang lain. Transaksi tabarru’atakan menjadi tidak sah bila disyaratkan adanya tambahan, sehingga tak dapat digabungkan dengan tujuan komersil yang menuntut adanya keuntungan. Bila dipaksakan, akad qardhakan rusak karena adanya selisih yang tidak dapat menyandang dua status sekaligus. Sekalipun akan berstatus sebagai ujrah dalam akad ijarah, ia akan tetap berstatus riba pada akad qardh, sehingga tidak mungkin disatukan. Terkecuali ada kerelaan untuk merubah akad mu’awwadhat menjadi tabarru’at yang hal ini dibolehkan.
Melalui keterangan di atas dapat diketahui bahwa praktik dana talangan haji di dalamnya terdapat unsur riba. Riba merupakan segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi.Riba diharamkan oleh syari’at berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah (2) ayat 275 sebagai berikut:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Dana talangan haji juga menggunakan akad ijarah.Akad tersebut bersifat mu’awwadhat yang menuntut adanya ujrah.Apabila selisih yang dibayarkan oleh nasabah dikategorikan sebagai ujrah, Hal ini merupakan hal yang tidak sesuai dengan ‘urfatau adat kebiasaan karena biaya administrasi tersebut terlalu besar dan tidak seimbang dengan jasa yang diberikan.
Dengan demikian, akad ijarah multijasa tidak dapat dibenarkan menurut syari’at, karena berasal dari dua jenis akad yang bertentangan.Tidak dapat tergolong ijarah karena adanya ujrah yang tidak wajar, juga tidak dapat digolongkan menjadi qardh karena mengandung unsur riba.Oleh karena itu hukum Dana Talangan Haji adalah Haram.

B.     Tinjauan Mashlahat dan Madharat
Sepintas, memang sepertinya sistem talangan ini memberikan kemudahan bagi umat muslim Indonesia untuk menunaikan ibadah haji, namun apabila kita amati dengan teliti, dalam sistem talangan ini ada pembiasan atau pengkaburan makna istitha’ah (mampu) yang merupakan prinsip dalam menunaikan ibadah haji.
Pembahasan ini mencoba melihat dari sudut pandang Islam yang lebih realistis dengan melihat dampak sosilogis yang ditimbulkan. Orang yang sebetulnya belum istitha’ah(mampu) namun sudah mendapatkan kursi (seat) haji karena dana talangan, hal tersebut tidak menjamin kepastian untuk bisa berangkat, karena pada saat tahun masa pelunasan belum ada kepastian apakah dia bisa melunasi talangan hajinya ataukah tidak. Hal ini menunjukkan bahwa dana talangan haji tidak serta merta menjamin adanya kemampuan untuk menunaikan ibadah haji. Karena dalam praktik dana talangan haji mengandung unsur hutang yang menuntut pelunasan sehingga mengurangi kesempurnaan istitha’ah yang seharusnya tidak ada paksaan sama sekali sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”
Pada kenyataannya, sistem yang bertujuan utama untuk memberikan mashlahat,justru menimbulkan kemadharatan. Dana talangan haji mampu memotivasi untuk segera melaksanakan haji, namun disisi lain juga mendorong nasabah untuk berhutang yang pada akhirnya dapat menyulitkan diri sendiri.Sangat tidak layak bagi seseorang yang belum mampu untuk berhaji memaksakan diri, karena dikhawatirkan akan terlilit hutang dan terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan seperti riba. Selain itu, iadapat menghalangi orang yang telah lebih awal dalam memenuhi syarat istitha’ah. Dalam qaidah ushuliyah disebutkan
دَرْءُاْلمَفَاسِدِمُقَدَّمٌعَلَىجَلْبِاْلمَصَالِحِ
Artinya: “Menghindari kerusakan (kerugian) lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan (keuntungan).

IV.    ANALISIS
BerdasarkanFATWA DSN MUI NO. 09/DSN-MUI/IV/2000 TENTANG PEMBIAYAAN IJARAH dan FATWA DSN 19/DSN-MUI/IV/2001: TENTANG AL-QARDH,penggunaan dana talangan haji oleh pihak-pihak bank sebagaimana yang sudah diterangkan dimuka diperbolehkan jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.Jika ternyata fakta di lapangan berbeda dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh fatwa, maka disinilah terjadi ketimpangan dan perlu pengkajian lebih lanjut.
Berdasarkan sumber data yang diperoleh, setiap bank memiliki prinsip proses pelaksanaan dana talangan haji yang berbeda-beda.Meskipun demikian, esensi pengadaan dana talangan haji oleh setiap bank adalah sama, yaitu memperoleh keuntungan dari para nasabah yang berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji.
Melalui data dari beberapa bank di atas,dapat diketahui bahwa pihak bank memperoleh keuntungan daridanatalangan haji yaitu berupa ujrah yang dibebankan pada nasabah. Diantara permasalahan yang terjadi adalah pihak bank mengatakan bahwa talangan haji menggunakan gabungan dua akad, yaitu akad qardh dan ijarah(seperti dalam BRI Syari’ah dan BSM).Penggabungan dua akad menjadi satu akad sendiri hukumnya tidak boleh.Memang sebagian ulama membolehkan, seperti Imam Ibnu Taimiyah (ulama Hanabilah) dan Imam Asyhab (ulama Malikiyah).Namun yang rajih adalah pendapat yang tidak membolehkan, yakni pendapat jumhur ulama empat mazhab, yakni ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
Menurut ulama yang membolehkan penggabungan dua akad pun, penggabungan qardh dan ijarah termasuk akad yang tak dibolehkan.[7]
Selain itu, jika yang digunakan adalah akad qardh(seperti pada Bank BTN Syari’ah), maka berdasarkan pengertian qardh yang telah dijelaskan diatas, pihak bank tidak boleh mengambil keuntungan sedikitpun dari nasabah. Dalam prakteknya, dana talangan haji menyalahi aturan tersebut sehingga hal ini mengindikasikan bahwa dana talangan haji hukumnya tidak diperbolehkan, sebab setiap qardh (pinjaman) yang mensyaratkan tambahan adalah riba, karena besarnya pengembalian tidak sama dengan jumlah dana yang dipinjamkan.
Jika diteliti lebih lanjut, maka akan didapati bahwa dalam praktek dana talangan haji terjadi beberapa keganjilan, yaitu biaya administrasi yang terlalu besar, perbedaan ujrah yang dibebankan pada nasabah, dan pengembalian dana talangan yang disertai dengan tambahan yang cukup banyak. Misalnya pada bank BRI Syari’ah, ujrah yang harus ditanggung oleh pihak nasabah dan wajib dibayar dalam jangka waktu 5 tahun adalah sebesar Rp. 10.350.000,00, kalau dicermati secara rasional, bukankah angka ujrah yang harus dibayar itu terlalu besar? Inilah yang menjadi keganjilan yang tidak rasional.



V.       REKOMENDASI
Berdasarkan pada pemaparan diatas, maka sudah selayaknya bagi calon jama’ah haji untuk lebih berhati-hati dalam mempercayakan hajinya pada lembaga yang benar-benar berbasis syari’ah.Bagi para calon jama’ah haji yang sudah memiliki istitha’ah (kemampuan) untuk beribadah haji tanpa perlu menggunakan dana pinjaman dari bank atau pihak manapun, sebaiknya segera mendaftarkan diri melalui lembaga yang mengurusi pemberangkatan haji. Sementara bagi orang yang belum memiliki istitha’ah (kemampuan) melaksanakan haji, tidak perlu memaksakan diri dengan mengambil pinjaman dana talangan haji dari bank tertentu, karena kewajiban ibadah haji adalah bagi yang mampu. Islam adalah agama yang mudah dan tidak menyulitkan, sehingga seorang muslimyang belum memiliki kemampuan melaksanakan ibadah haji tidak perlu membebani diri, karena Allah swt tidak membebani seseorang sedikitpun kecuali pada hal-hal yang mampu ia kerjakan.


Yogyakarta, 17 Maret 2012
PUTM Putri PP Muhammadiyah


[1]Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz 3, hlm. 144
[2]Dikutip oleh Syafi’i Antonio, Mu’jam Lughatul Fatawa, (Beirut: Darun-Nafs, 1985)
[3]Data adalah ringkasan dari hasil wawancara dengan Costumer Service di Kantor bank BPD Syari’ah DIYpada hari Rabu, 7 Maret 2012 dan brosur dari bank.

[4]Data adalah ringkasan dari hasil wawancara dengan Costumer Service BTN syariah di Kantor BTN Syariah pada hari Rabu, 7 maret 2012 serta brosur

[5]Data adalah ringkasan dari hasil wawancara dengan Costumer Service di kantor BSM Syariah pada hari Rabu, 7 Maret 2012 serta brosur.

[6]Hasil wawancara dengan Costumer Servicedi Bank BRI Syari’ah Jl. KH.Ahmad Dahlan No. 89 Yogyakarta.Tanggal 7 Maret 2012 dan brosur.

[7]Taimiyah, ibnu Majmu’ al-Fatawa,

Bagaimana komentar anda dengan postingan saya?

 
;