Jumat, 30 Agustus 2013 0 komentar

Sudah lama bukan?




Sudah lama bukan?
Aku tak menulis
Mencoretkan satu nama dalam kertas kosong
Atau mengejanya menjadi bait romantis
Lalu membacanya di depan malam yang pekat

Sudah lama bahkan tanganku tak bergerak
Memilih huruf satu persatu
Menyusunnya menjadi satu
Lalu membacanya di depan senja yang tenggelam

Sudah lama bukan?
Tak melihatmu
Membangunkanku dini hari
Lalu melihat langit yang masih perawan
Bersama, di balik jendela..

Persada, 28/08/2013
22.30
0 komentar

Biarkan aku mabuk malam ini





Biarkan aku mabuk malam ini
Oh resahku menggunung
Panasku tak kunjung turun
Skripsiku belum rampung

Biarkan aku mabuk malam ini
Badanku gemetar
Perasaanku tak karuan
Aku marah

Biarkan aku mabuk malam ini
Cukuplah malam jadi saksinya...


Persada, 28/08/2013
23.00
Sabtu, 03 Agustus 2013 0 komentar

Surat Untuk Ramadhan 3



Ramadhan,
Hari ini rasa rindu kampung halaman terbayar sudah, mengeja kembali satu persatu kota kelahiranku, jalanan yang macet, asap kendaraan, pedagang kaki lima, menatap bangunan besar tempat aku dari kecil menimba ilmu, ah ternyata aku sudah berada di kotaku, kota romantis, kota hujan.
Tak sampai lunas rindu mataku menatap sekeliling, tiba-tiba gerimis, perlahan mulai terasa tetesnya membasahi pakaian, tak apa ini hujan penyambutan, tahulah bagaimana dia memperlakukan orang yang kembali ke kampung halamannya, mencium bau aroma tanah, semua kenangan kembali satu persatu.
Ramadhan,
Kampung halaman adalah tempat kembali, sesibuk apapun orang di negeri perantauan, rumah selalu menjadi pilihan untuk pulang.
Aku sibuk mencari angkot ke rumah, ah terasa sekali bedanya saat di kotaku dengan kota yang kutinggalkan, di kota 1000 knalpot ini angkutan kemanapun ada, tidak usah risau bagi kaum sepertiku yang masih dengan bangga belum bisa mengendarai motor, senyum di wajahku kembali merekah, di kotaku aku kembali dengan diriku yang seutuhnya.
Ramadhan,
Hanya menghitung hari saja lebaran tiba, kulihat toko-toko pakaian sesak oleh pembeli, di usiaku yang sudah kepala dua ini tak ada hasrat lagi untuk ikut berjejal di toko membeli pakaian baru, cukup aku pulang ke rumah, lebaran dengan keluarga.
Sampai rumah, sepi.
Sudah kuduga, hanya ada nenek di rumah, kakek pergi, ibuku? Ah aku lupa, aku selalu pulang ke rumah nenek di kampung, suasana perkampungan lebih bersahabat denganku dibanding harus tinggal di rumah ibu, dekat kota, macet, panas, arrggh bisa kuat sehari atau dua hari saja mungkin.
Rumah nenek adalah induk seluruh keluarga besar bertandang, dari anak pertama sampai bontot saat lebaran semua berkumpul di rumah nenek, ya termasuk ibuku, maka aku hanya akan menunggu waktu saat ibu tiba di rumah nenek.
Semua anak nenek merantau dan tak ada yang tinggal di rumah, anak pertama ibuku, tinggal di ciawi, dekat puncak bogor, anak kedua tinggal di ciamis, masih masuk jawa barat juga tapi perjalanan kesana makan waktu 7-8 jam, anak ketiga karena urusan tugas kantor ditugaskan di timika, papua barat, anak keempat sibuk bisnis di jakarta, anak kelima ikut suaminya ke sulawesi, dan anak terakhir tugas kantor juga, ditugaskan di fakfak, papua.
Dan aku, sebagai cucu tertuanya saat liburan akan dengan senang hati memilih pulang ke rumah nenek, udara yang dingin, karena letaknya di pegunungan, tidak seramai di kota, masih asri, masih segar, lebih mendamaikan.
Ramadhan,
Ibu akan lebaran bersama suaminya di padang, entah kapan pulang, padahal aku juga menghabiskan liburan di rumah tak akan lama, entah bisa bertemu atau tidak. Besok, aku disuruh ibu menjemput adik paling kecilku di pesantren, ah ternyata nasibku tidak sendirian, aku bersama adikku, menikmati lebaran untuk kesekian kalinya hanya bersama nenek dan kakek...
Ramadhan,
Saat ini usiaku 21 tahun, semoga di usiaku yang semakin tua kelak aku tak lagi merasakan ramadhanku kesepian, dan merasa resah menjelang lebaran.

02/08/13
0 komentar

Surat Untuk Ramadhan 2



Ramadhan,
Surat kedua kutulis menjelang aku tidur, sampai melewati angka 12 mataku tak juga bisa terpejam, ada perasaan rindu yang terus menggelayut, mimpi yang tiba-tiba, merasakan kembali hangat tangannya dalam mimpi, semua itu semakin memperkuat rasa rindu yang kusimpan diam-diam.
Ah betapa aku rindu bisa merasakan bulan penuh berkah ini bersama orang-orang terkasih, menanti hari demi hari menjelang lebaran, membantu ibu membuat kue, menanti kepulangan bapak dari masjid, satu momen yang tak pernah aku rasakan, sungguh Tuhan, aku ingin merasakannya sekali saja seumur hidupku.
Ramadhan,
Kenapa selalu begini, di bulan berbahagia ini perasaan merelakan, mengikhlaskan itu semua harus kembali kupertanyakan pada diriku, sakitnya kehilangan, takut ditinggal pergi, semua itu aku merasakannya lagi, di tiap ramadhanmu.
Ramadhan,
Aku rindu teduh matanya dibalik kacamata tebal, penyakit yang ia turunkan padaku, rindu saat ia mengajariku mengaji, memarahiku kalau malas bangun shubuh, rindu tangisku bersama adik saat kami dipaksa untuk menghafal Qur’an setiap shubuh padahal kami mengantuk, rindu genggaman tangannya yang hangat, rindu melihatnya masih asik dengan al Qur’an sementara kami dipaksa untuk tidur, rindu masakannya yang lebih enak dibanding masakan ibu, aku rindu semua itu...
Dan yang paling aku rindu, bisa tidur disisinya dan saat larut tiba, ia membangunkanku dan memintaku mengambil air putih di dapur, sering aku menolak tapi ia tak pernah bosan selalu bilang “ayo anak abi yang pinter, ayo anak abi yang cantik”, dan rayuan-rayuan lain yang akhirnya memaksaku bangun dan mengambilkannya minum.
Tak ada yang lebih manjur dari rayuan siapapun untuk seorang anak sepertiku, ibu yang melahirkanku bahkan lebih sering kutolak perintahnya. Tapi dia, entah kenapa selalu tak bisa kutolak. Benar kata orang, anak perempuan memang paling dekat dengan bapaknya.
Ramadhan,
Saat ini usiaku 21, kelak saat usiaku berubah menjadi 22, 23, 24 dan seterusnya aku menjadi seseorang yang ikhlas, aku menjadi seseorang yang rela, dan ramadhanku selalu bahagia, tak pernah berduka.
Amin.



26 Juli 2013
1.30

Bagaimana komentar anda dengan postingan saya?

 
;