Sabtu, 27 September 2014 0 komentar

Deraslah



Kau boleh membuka hatimu pada yang lain, aku tak melarang.
Katamu suatu hari dengan wajah dinginmu, dan wajah dingin itu menjadi begitu amat dingin dari biasanya sebab dingin hujan membuat pertemuan kita menjadi berbeda.
Aku tak mau.
Jawabku ketus.
Kau pikir mudah membuka hati untuk orang lain? Andai saja tetes hujan saat itu bisa kuraih ingin sedikit kubasahi wajahmu dengannya agar kau tersadar dari kata-kata aneh itu.
Aira
Panggilmu tajam, ah kata-katamu sore itu mendadak seperti sebilah pisau.
Sebelum kata-katamu semakin sulit kuterima, kubiarkan kau meracau sendiri dengan hujan.
Mau kemana aira?
Tanyamu masih dengan wajah dingin.
Tak perduli hujan sederas apapun, lebih baik aku tak mendengar lagi bicaramu yang aneh itu.
Biar saja hujan turun sederas apapun, dengan begitu tak pernah ada yang tahu ada tetes hangat di pipiku..



Jumat, 26 September 2014 0 komentar

Menemukan cahaya lewat qurban


Namanya raya, seorang gadis yang sejak kecil tinggal dan tumbuh di panti asuhan, saat ini ia sudah beranjak remaja, setidaknya ia sudah mulai mengerti tentang siapa dirinya dan kenapa ia hidup di panti sejak kecil. Kedua orangtuanya meninggal sejak ia masih kecil dan ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki tapi sayang sekali ia tak tahu kakak laki-lakinya berada dimana saat ini karena sejak kecil ia diadopsi oleh keluarga kaya dari kota besar dan dengan terpaksa raya ditinggalkan di panti asuhan.
Panti asuhan tempat ia tinggal dikelola oleh gereja, jadi setiap hari minggu semua anak panti diwajibkan berkunjung ke gereja, meminta pengampunan pada pastur dan memohon do’a, sementara di hari-hari biasanya ia bersekolah di sekolah khusus biarawati, santa maria namanya. Letak sekolahnya dekat dengan panti tempat ia tinggal.
Raya, berbeda dengan kebanyakan anak panti lainnya, ia selalu bertanya banyak hal pada pastur atau biarawati, tentang hidup, tentang Tuhan, tentang nasib dan takdir. Raya merasa sangat sedih bahwa selama hidupnya tak pernah bisa merasakan kasih sayang ayah ibunya sebab keduanya meninggal saat raya masih bayi. Ia selalu bertanya kenapa Tuhan begitu jahat, begitu tak adil mengambil dan merampas hak seseorang begitu saja bahkan sebelum ia tumbuh dewasa. Sudah sering ia habis dimarahi dan dipukul oleh biarawati di santa maria sebab pertanyaan-pertanyaan konyolnya dan menganggap Tuhan tak adil.
Pada hari-hari berikutnya raya semakin enggan pergi ke gereja, sebab ibadah yang sudah ia lakukan selama ini tak juga membuatnya damai dan merasakan kebaikan Tuhan, bahkan kakak satu-satunyamasih tak ada kabar juga.
Raya, kenapa tadi tidak pergi dengan teman-teman lainnya?
Tanya pengasuh panti, seorang ibu paruh baya yang hanya membalas dengan senyuman bila raya bertanya ini itu soal hidup dan lain hal.
Kalau raya bisa bertemu abang, raya baru mau pergi ke gereja.
Seperti itulah jawaban raya setiap kali ditanya mengapa enggan pergi ke gereja.
Hari-hari berlalu begitu saja, dan tentu saja raya tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan penuh tanya dalam hidupnya.
Suatu hari raya bertekad mencari kakak laki-lakinya ke kota besar, dulu memang sempat keluarga yang mengadopsi kakaknya meninggalkan alamat, sudah sejak dulu raya ingin mencari tapi dulu ia masih kecil dan belum memiliki keberanian pergi ke kota besar apalagi tak ada orang yang dikenal. Ia mohon pamit pada pengasuh panti, kalau-kalau ia tak bisa menemukan kakaknya mungkin ia akan kembali, tapi bila ia tak juga kembali anggap saja ia sudah bertemu dengan kakaknya, begitulah pesan raya pada ibu pengasuh panti.
Perjalanan pun dimulai, raya pergi ke kota besar dengan berbekal alamat yang ia sendiri tak pernah tahu dan tak pernah ia kunjungi sebelumnya, peta kota besar sudah ia pegang, ia hanya perlu sering bertanya pada orang yang lewat atau pedagang di pinggir jalan.
Dari pagi sampai sore ia mencari, peluh keringat sudah sejak tadi membasahi bajunya, perutnya yang kosong sudah berteriak minta diisi, akhirnya ia beristirahat sejenak di sebuah warung makan sederhana.
Baru beberapa suap saja ia makan, tiba-tiba saja ia mendadak berhenti, sendok yang akan disuapi mulutnya tertahan, baru saja ia mendengar nama jalan yang ia cari sejak pagi disebut-sebut oleh ibu penjual makan. Dan dengan segera raya bertanya dimana letak jalan yang ibu penjual maksud, jalan kemang, itulah naman jalan alamat dari keluarga yang mengadopsi kakaknya.
Raya lupa makannya belum usai, tapi ia segera berlari mencari angkot, dengan wajah yang sedikit lega ia bisa bernafas, setidaknya sebentar lagi alamat itu akan ia datangi dan kakaknya, ah sudahlah ia hanya mencoba, dalam hatinya pun tak sepenuhnya yakin sebab itu sudah lama sekali, siapa tahu keluarganya pindah.
Akhirnya angkot berhenti, sampailah ia di jalan kemang, raya turun dari angkot, matanya masih melirik kanan kiri, ia baru sadar rupanya langit sudah semakin gelap, semoga pencariannya usai malam ini juga.
Raya bertanya berkali-kali pada orang yang lewat, tapi masih belum menemukan titik terang, sampai akhirnya raya merasa kelelahan dan ia melihat ada keran air yang digunakan banyak orang mencuci muka, ia segera melangkah ke arah tempat keran air, tepat saat langkahnya berhenti di depan pagar bangunan itu, ada suara yang menggema keluar dari sana, entah suara apa raya tak tahu, sejak kecil ia tak pernah mendengar suara seperti ini, dan raya benar-benar dibuat terpukau dengan suara itu, lembut, syahdu, dan damai, itulah yang ia rasakan. Setelah suara yang mendamaikan itu berhenti, raya memasuki halaman bangunan itu, disana ada banyak orang berkumpul laki-laki dan perempuan, yang laki-laki bergantian mencuci wajah dan kakinya di keran air, dan perempuan memakai kain penutup kepala berwarna putih berkumpul di bagian belakang, raya mulai merasa heran, apa mungkin ada suatu acara di bangunan ini, tapi sepertinya ini bukan rumah karena dilihat dari sisi manapun tak mirip rumah, lebih mirip bangunan-bangunan sejarah yang pernah ia lihat di internet.
Raya tak peduli, ia terus saja melangkah dan mendekati keran air tempat para laki-laki mencuci wajah dan kakinya.
Belum sampai ia melepas tas kecilnya, seorang laki-laki tua mendekatinya.
Nak, kalau mau wudlu di sebelah sana ya, ini khusus laki-laki.
Ucap laki-laki tua itu sambil menunjuk sebuah bangunan kecil tak jauh dari tempat keran air.
Ia hanya mengangguk saja, apa tadi katanya wudlu? Wudlu itu apa lagi, raya semakin merasa heran berada di bangunan itu.
Selepas ia mencuci wajahnya ia masuk ke dalam bangunan itu, dan ia melihat ada seorang lelaki tua berdiri seorang diri di depan banyak orang dalam bangunan dan sepertinya akan ada yang ia sampaikan, karena merasa penasaran raya akhirnya duduk di belakang.
Banyak sekali yang lelaki tua itu sampaikan sampai raya merasa mengantuk, sebab tak mengerti apa yang ia sampaikan, tapi tetiba saja rasa kantuknya hilang saat ia mendengar dari laki-laki tua itu kalimat “bagaimana bisa Ibrahim merelakan anaknya untuk Tuhan, itulah qurban, sebuah ketundukan, ketaqwaan sungguh-sungguh, merelakan sesuatu yang sejatinya bukan milik kita”.
Raya mulai tertarik, ia mendengarkan dengan serius.
Jama’ah pengajian, siapa diantara kita yang rela, yang ikhlas, yang mau orang yang sangat disayangi diambil? Anak, masyaAllah, anak adalah hadiah terbesar untuk kita semua bagaimana mungkin kita rela anak kita diambil, saya yakin tidak ada orangtua yang mau merelakan anaknya, ditambah lagi anak yang kita relakan itu harus kita sembelih, bayangkan disembelih? Kita pasti akan memilih lari dan menolak keras.
Yah, itulah kita memang tak pernah rela, bagaimana mungkin orang yang disayang diambil, dalam hatinya raya bergumam sendiri. Ah kata-kata lelaki tua itu dahsyat sekali, raya semakin bersemangat untuk terus menyimak kata-kata lelaki tua di depan sana.
Tapi coba jama’ah bayangkan, justru ketika anak yang akan disembelih tadi tiba-tiba saja berubah menjadi seekor binatang, dan kemana si anak , dia selamat, masyaAllah betapa hebatnya ibrahim, bahwa Allah hanya sedang mengujinya.
Itulah qurban, sebuah ujian untuk seorang hamba, sejauhmana ketaqwaannya pada Tuhan dan sejauhmana ia tunduk dan ikhlas merelakan sesuatu yang sejatinya bukan miliknya, sebab di dunia segala hal, anak, istri, suami, harta semuanya hanya titipan dari Allah.
Entah kenapa raya merasa ia dibius total oleh lelaki tua itu, kata-kata yang keluar darinya begitu menenangkan, damai, dan ternyata ada orang sehebat itu di dunia ini, siapa tadi, ibrahim, ya ampun luar biasa sekali ibrahim. Kenapa dia begitu saja mau menyembelih anaknya hanya karena itu permintaan Tuhan.
Raya merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam hatinya, banyak hal yang ingin ia tanyakan pada lelaki tua itu, tentang hidupnya, tentang keadilan dan tentang bagaimana bisa seikhlas ibrahim, ia ingin bertemu ibrahim jika bisa.
Selesai acara tadi, semua orang bubar, dan dengan cepat raya menghampiri lelaki tua tadi.
Pak, permisi, saya raya, boleh saya tanya beberapa hal pada bapak, sepertinya bapak orang yang luar biasa.
Lelaki tua itu tersenyum mengiyakan, ah senyum itu mendamaikan sekali, senyum seorang ayah yang ia impikan.
Dek raya, apa tidak keberatan kalau bapak ajak ke rumah bapak saja, sambil kita makan malam, bapak sudah lapar.
Tangan keriputnya menunjuk perut sambil tersenyum dengan senyum mendamaikan.
Tentu saja raya mengiyakan, dia juga sama, sudah lapar.
Sampai rumah bapak tua, ah sumpah ini rumah atau istana, bangunan megah dihadapannya adalah rumah lelaki tua ini, tapi lihatlah bapak tua ini, dia sederhana sekali, aku pikir bapak tua itu hanya orang biasa.
Raya bergumam saja dalam hati.
Mari dek raya, anak dan istri saya sudah menunggu di dalam.
Sampai dalam rumah, betapa terkejutnya raya akan kemegahan isi rumah, segalanya lengkap dan sangat mahal pastinya.
Bu, arif, ini ada tamu, ayo makan bersama.
Ah mungkin bapak tua itu sedang memanggil anak dan istrinya.
Beberapa detik kemudian seorang ibu paruh baya mengenakan penutup kepala keluar dari kamar, dan seorang laki-laki dewasa turun dari tangga.
Siapa tamunya abi?
Suara dari atas tangga terdengar.
Ah itu mungkin anak laki-lakinya.
Sampai akhirnya keduanya berada dihadapan raya, betapa terkejutnya ia.
Dadanya bergemuruh, tangannya gemetar, dan airmata menetes begitu saja, bibirnya tertutup, ia tak bisa bicara.
Laki-laki yang dihadapannya ini,..
Raya.
Namanya keluar dari bibir anak laki-laki bapak tua itu.
Kakak.
Detik kemudian keduanya saling berpelukan. Tuhan bapak, Tuhan anak, roh kudus, akhirnya aku bertemu kakakku.
Rupanya kakaknya memeluk Islam, agama lain, bukan kristen, dan keyakinan mereka berbeda. Saat itu juga kak arif, kakak satu-satunya itu mengenalkan Islam pada raya, ia menceritakan tentang kisah ibrahim dan anaknya ismail.
Satu bulan kemudian keyakinan menggenapkan niat raya, ia masuk Islam.
Ia menemukan cahaya lewat qurban, lewat ibrahim, lewat ismail dan cerita tentang para Nabi, ah andai saja mereka masih ada raya ingin sekali bertemu.
Raya akhirnya tahu mengapa kedua orangtuanya diambil bahkan sebelum ia sempat bertemu, bukan karena Tuhan tak adil, tapi justru karena Tuhan sayang pada kedua orangtuanya dan agar raya bisa jadi hamba Tuhan yang baik.
Betul begitu kak arif.
Senyum cantiknya kini merekah, jilbab merah menutupi kepalanya...



26 September 2014
Refleksi qurban.


Selasa, 23 September 2014 0 komentar

Ada hikmah, ada jawaban



Terkadang kita terlalu sering melupakan, menganggap remeh dan tidak mensyukuri tiap hal yang terjadi dalam hidup kita, yah sering melupakan bahwa jawaban itu ada di sekitar kita juga. Seperti malam ini. Seorang teman bercerita padaku, ah lagi-lagi aku selalu menjadi pendengar, bagaimanapun aku memang suka orang lain memberikan kepercayaan mereka padaku, walaupun sejauh ini aku tak bisa memberikan solusi yang baik untuk mereka, tapi aku tahu mereka pasti sedikit lega dengan beban yang mereka tanggung.
Nay, mas pengen cerita.
Lalu mengalirlah cerita menjadi anak sungai yang cukup panjang dan dalam, lagi-lagi soal hati dan perasaan, ah kenapa harus melulu soal itu si, sebab masalahku pun demikian sama.
Seseorang yang kupanggil mas ini bercerita soal perjodohannya yang batal, dan ah dia ingin move on mencari calon istri lain yang sekiranya bisa diajak nikah dalam waktu secepat ini, begitu mudahnya berpindah hati pikirku. Tapi sebelum jauh pikiran burukku berkembang menjadi virus negatif dia sudah menyanggah lebih dulu, dia bilang bukan mudah move on tapi dia tak ingin terus menerus berada dalam kondisi yang terpuruk sementara dia ingin segera menikah.
Bagaimana mungkin aku bisa memberikan jawaban dengan seseorang yang ingin move on mencari sosok lain sementara aku saja sampai hari ini masih terpuruk dalam sangkar harapan kosong yang menyedihkan.
Bukan mas cepat move on nay, tapi mas gak mau mikirin hal-hal yang tidak mungkin lagi dipikirkan, mas gak mau terpuruk, mas gak ingin berharap sendirian.
Jleb. Ah tidak kata-katanya benar-benar membunuhku perlahan, begitu menusuk sekali sampai aku lupa bagaimana rasa sakitnya.
Mungkin inilah cara Tuhan memberikanku pelajaran, jangan membuat harapan kosong sendiri di langit biru, di tetes hujan yang membasahi jendela atau di jalanan lengang.
Selalu ada hikmah, ada jawaban...
Tuhan, haruskah aku juga membuka hatiku?



23 September 2014

Pakpayoon. 
Senin, 22 September 2014 0 komentar

Senja yang kuimpikan



Senja selalu membawa bahagia, ada waktu yang setiap orang tunggu di ujung sore, senyum hangat, sambutan sayang dan lelah yang terlunaskan, kaki-kaki letih berhenti dari melangkah dan peluh terurai menjadi butiran senyum di ujung pintu, ah jika saja aku bisa memiliki waktu, maka sore adalah waktu yang paling ingin kumiliki.
Sebab disana ada wajah hangat menyambut, sore adalah waktu romantis untuk suami pulang kerja, untuk siswa pulang sekolah, untuk seorang mahasiswa pulang kuliah, dan untuk aku bertemu kamu di ujung jalan itu, itulah sebabnya sore adalah waktu yang paling ingin kumiliki.
Suatu hari nanti, jika kelak sore yang kuimpikan tiba, sore yang hangat dipenuhi senja, dengan seluruh kasih sayang dan kehangatan yang kupunya, aku akan menyambutmu di depan pintu rumah kita... tentu saja dengan senyumku yang mampu meluruhkan penatmu..
Lagi-lagi, aku terlalu banyak nonton drama...



22 September 2014

Pakpayoon. 
Jumat, 19 September 2014 0 komentar

Menertawakan diri




Hidup ini selalu menarik, ada saja hal-hal terjadi diluar kendali kita, diluar keinginan bahkan lebih mengejutkan dari rencana yang kita buat. Seperti akhir-akhir ini, beberapa teman yang dekat bercerita banyak hal tentang hidupnya, tentang perasaanya, tentang sakit hatinya, tentang sedih dan lukanya, dan semua yang mereka sampaikan, mereka tanyakan dan memintaku memberi jawaban adalah hal yang aku pun mengalaminya, ah bahkan aku sendiri tak tahu jalannya.
Nay, aku pengen turun berat badan, gimana ya caranya.
Bahkan sampai hari ini aku masih kesulitan menjawabnya.
Ustadzah, gimana si pengen nulis lagi, biar bisa ada inspirasi, ada semangat lagi.
Aku Cuma tertawa, bagaimana mungkin aku tahu, sampai detik ini pun aku tak tahu kata pertama apa yang harus kutulis.
Mba, pernah gak ngerasain rindu sama orang? Sakit ya ternyata memendam rindu.
Lagi-lagi aku Cuma tertawa, kenapa manusia hari ini menjadi gila, aku bahkan sudah muak dengan kata-kata itu, karena terlalu sering aku merasakan dan diam tanpa ada jalan keluar.
Nay, aku stres, berat badanku turun, aku putus sama dia.
Hahaha... gila, sumpah, mereka membuat aku tertawa.
Nay, mba bingung apa mba tinggalin dia yah, terlalu lama kalau harus nunggu dia selesai kuliah, sementara mba udah pengen nikah.
Sampai tawaku yang tak bisa kukendalikan, airmata menetes begitu saja, hidup betul-betul menggelikan.
Aku Cuma ingin duduk santai malam ini, mendengarkan lagu favoritku, memandangi langit malam, berharap ada kunang-kunang datang, melepaskan beban apapun yang ada di pikiran, tanpa ada seorangpun, bahkan tanpa ada kamu di pikiranmu, kosong, hanya aku dengan Tuhan.




190914

Pakpayoon. 
Selasa, 09 September 2014 0 komentar

Kunang-kunang jelek, datanglah 1 menit saja



Kunang-kunang jelek, datanglah malam ini, aku ingin menangis bodoh di hadapanmu, sebab dengan kau mengejekku itu sudah mengambil separuh sesakku yang menumpuk.
Bagaimana aku bisa menyimpan sesak yang begitu dalam, sampai menangis bukan lagi jadi jawaban atas kelegaan, kunang-kunang jelek, datanglah.

Datanglah, aku rindu orang bodoh yang tak pernah punya waktu untuk sekedar menyapaku. 

sebab itu datanglah, tertawakan aku dengan bodohmu... 


09 september 2014
pakpayoon. 


Selasa, 02 September 2014 0 komentar

Bagaimana jika..



Bagaimana jika selama ini aku sudah salah memikirkan seseorang, menyebut nama yang salah dalam do’aku, dan mengeja huruf yang salah pada bait puisiku?
Bagaimana jika selama ini aku sudah salah mengingat seseorang di waktu luangku, membayangkan hal-hal baik di masa depan dengannya padahal dia adalah orang yang salah? Tidak, bukan dia yang salah, tentu saja aku.
Bukankah Tuhan hanya akan memasangkan seseorang sesuai kualitas keduanya, yang baik dengan baik dan pemalas dan bodoh sudah pasti dengan pemalas dan bodoh pula, rasa-rasanya tidak mungkin sekali orang bodoh dengan yang berwawasan luas akan menjadi pasangan baik yang akan mendapat gelar pasangan sempurna. Itu hanya terjadi jika keduanya orang yang gila.
Bagaimana jika itu memang benar, aku sudah salah memilih, sebab mungkin dulu aku sedang tidak waras, lupa diri dan sedang tak menginjak bumi sehingga lupa bahwa dia terlalu tinggi.
Tuhan, apa benar aku salah?



02 September 2014
Pakpayoon.


Bagaimana komentar anda dengan postingan saya?

 
;