untuk teman-teman, dan saudara-saudara kaum perempuan... semoga bermanfaat....
Hukum Wanita Haid Berdiam di Masjid
Jumhur ulama, di antaranya imam madzhab yang empat, sepakat
bahwa wanita yang haid tidak boleh berdiam (al-lubts) di dalam masjid,
karena ada hadits Nabi SAW yang mengharamkannya.[1]
Imam Dawud Azh-Zhahiri membolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di
masjid.[2]
Namun pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang mengharamkannya. Dalilnya
adalah sabda Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya aku tidak
menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” (HR. Abu Dawud).[3]
Yang dimaksud berdiam (Arab : al-lubtsu, atau
al-muktsu) artinya berdiam atau tinggal di masjid, misalnya duduk untuk
mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Tidak ada
bedanya apakah duduk atau berdiri. Berjalan mondar-mandir (at-taraddud)
di dalam masjid, juga tidak dibolehkan bagi wanita haid.[4]
Berdasarkan surat Annisa
ayat 43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ
حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (43)
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Adapun jika seorang wanita haid sekedar lewat atau melintas
(al-murur) di dalam masjid karena suatu keperluan, maka itu tidak
apa-apa. Dengan catatan wanita itu tidak merasa khawatir akan mengotori masjid.[5]
Dalilnya, Nabi SAW pernah memerintah ‘Aisyah untuk membawa khumrah
(semacam sajadah) yang ada di masjid. Lalu ‘A`isyah berkata, “Sesungguhnya
aku sedang haid.” Rasul bersabda,”Sesungguhnya haidhmu itu bukan berada
di tanganmu.” (HR. Muslim).[6]
Selain itu, ada riwayat lain bahwa Maimunah RA pernah berkata,”Salah seorang
dari kami pernah membawa sajadah ke masjid lalu membentangkannya, padahal dia
sedang haidh.” (HR. An-Nasa`i).[7]
Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya hukum syara’
dalam masalah ini telah jelas, yaitu wanita haid dilarang berdiam diri di
masjid. Adapun jika sekedar lewat atau melintas, hukumnya boleh dengan syarat
tidak ada kekhawatiran akan mengotori masjid.
Sebagian ulama seperti Albani, membolehkan wanita haid
berdiam di masjid asalkan ia merasa aman (tidak khawatir) akan dapat mengotori
masjid, misalnya dengan memakai pembalut.[8]
Dan alasan dia masuk masjid karena untuk menuntut ilmu maka boleh, Dalam Syarah
Al-Bajuri Juz I hal. 115 dikatakan, bahwa kalau wanita haid tidak
khawatir akan mengotori masjid, atau bahkan merasa aman, maka pada saat itu
tidak diharamkan baginya masuk masjid, tetapi hanya makruh saja.[9]
Menurut sebagian ulama, pendapat itu tidak dapat diterima.
Sebab pendapat tersebut tidak mempunyai landasan syar’i yang kuat. Pendapat
tersebut menjadikan “kekhawatiran mengotori masjid”, sebagai illat (alasan
penetapan hukum) bagi haramnya wanita berdiam di masjid. Jadi, jika
kekhawatiran itu sudah lenyap (dengan memakai pembalut), maka hukumnya tidak
haram lagi. Padahal, hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat bagi
haramnya wanita haid untuk berdiam di masjid. Jadi tidak dapat dikatakan
bahwa keharamannya dikarenakan ada kekhawatiran akan menajiskan masjid.
Sehingga jika kekhawatiran itu lenyap (dengan memakai pembalut) maka hukumnya
tidak haram. Tidak bisa dikatakan demikian, karena nash yang ada tidak
menunjukkan adanya illat itu. Nabi SAW hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku
tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” Nash ini jelas tidak menunjukkan adanya
illat apa pun, baik illat secara sharahah (jelas), dalalah (penunjukan),
istinbath, atau qiyas.
Berdasarkan dua pendapat
yang berbeda tersebut, untuk lebih berhati-hati dan dikhawatirkan mengotori
masjid lebih baik tidak usah berdiam diri di masjid, jika dengan alasan
menuntut ilmu misalnya mengikuti pengajian, maka masih ada solusi lain yang
bisa digunakan yaitu dengan duduk di beranda luar masjid atau teras masjid atau
tempat-tempat sekitar masjid yang tidak dipakai untuk shalat.
Batasan Masjid
Setelah
jelas wanita haid tidak boleh berdiam di masjid, maka pertanyaan berikutnya
adalah, apa batasan masjid itu? Masjid adalah tempat yang ditetapkan untuk
mendirikan shalat jamaah bagi orang umum.[10] Yang dimaksud shalat
jamaah, terutama adalah shalat jamaah lima waktu dan shalat Jumat. Namun
termasuk juga shalat jamaah sunnah seperti shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri
atau Idul adha. Di Indonesia, jika hanya untuk berjamaah lima waktu tetapi
tidak digunakan shalat Jumat, tempat itu biasanya tidak disebut masjid, tapi
disebut musholla, atau nama yang semisalnya, yaitu langgar (Jawa),
surau (Sumatera Barat), atau meunasah (Aceh). Sedang istilah masjid
atau masjid jami`, biasanya digunakan untuk tempat yang dipakai shalat
Jumat. Sebenarnya, semua itu termasuk
kategori masjid, menurut definisi di atas. Karena yang penting tempat itu
digunakan shalat berjamaah untuk orang umum. Maka, terhadap musholla, atau
langgar, surau, atau meunasah, diberlakukan juga
hukum-hukum untuk masjid, misalnya wanita haid tidak boleh berdiam di dalamnya.
Walaupun tidak dinamakan masjid. Adapun jika sebuah tempat disiapkan untuk
shalat jamaah, tapi hanya untuk orang tertentu (misal penghuni suatu rumah),
maka tempat itu tidak dinamakan masjid, dan tidak diterapkan hukum-hukum masjid
padanya. Demikian pula jika sebuah tempat hanya digunakan untuk shalat secara
sendiri, bukan untuk shalat jamaah, maka itu juga bukan dinamakan masjid.
Definisi di atas adalah
definisi umum, yaitu untuk membedakan masjid dengan bangunan yang bukan masjid.
Ada definisi khusus, yaitu masjid dalam pengertian tempat-tempat yang digunakan
untuk shalat (mawadhi’ ash-shalat), atau tempat-tempat yang digunakan
untuk sujud (mawdhi’ as-sujud).[11]
Definisi khusus ini untuk membedakan berlakunya hukum mesjid bagi sebuah
kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan atau
ruang untuk berbagai keperluan. Sebab adakalanya sebuah kompleks masjid itu
memiliki banyak ruangan, atau mungkin mempunyai dua lantai, mempunyai kamar
khusus untuk penjaga masjid, mempunyai ruang sidang/rapat, toko, teras, tempat
parkir, dan sebagainya. Bahkan ada masjid yang lantai dasarnya kadang digunakan
untuk acara resepsi pernikahan, pameran, dan sebagainya. Apakah semua ruangan
itu disebut masjid dan berlaku hukum-hukum masjid? Menurut pemahaman kami,
jawabnya tidak. Dalam keadaan ini, berlakulah definisi khusus masjid, yaitu masjid
sebagai mawadhi` ash-sholat (tempat-tempat sholat).[12]
Maka dari itu, teras
masjid bukanlah masjid, jika teras itu memang tidak digunakan untuk shalat
jamaah. Jika digunakan shalat jamaah, termasuk masjid. Demikian pula bagian
masjid yang lain, misalnya ruang sidang, ruang rapat, kamar penjaga masjid,
tempat parkir, dan sebagainya. Semuanya bukan masjid jika tidak digunakan untuk
shalat jamaah. Ringkasnya, semua tempat atau ruang yang tidak digunakan shalat
jamaah, tidak dinamakan masjid, meski pun merupakan bagian dari keseluruhan
bangunan masjid.
Bagaimana andaikata suatu tempat di
masjid (misalkan teras) kadang digunakan shalat jamaah dan kadang tidak?
Jawabannya adalah sebagai berikut. Yang menjadi patokan adalah apakah suatu
tempat itu lebih sering dipakai shalat jamaah, atau lebih sering tidak dipakai
untuk shalat jamaah. Jika lebih sering dipakai shalat jamaah, maka dihukumi
masjid. Jika lebih sering tidak dipakai, maka tidak dianggap masjid.
Yang demikian itu bertolak
dari suatu prinsip bahwa hukum syara’ itu didasarkan pada dugaan kuat (ghalabatuzh
zhann). Dan dugaan kuat itu dapat disimpulkan dari kenyataan yang lebih
banyak/dominan (aghlabiyah). Ini sebagaimana metode para fuqaha ketika
menetapkan pensyariatan Musaqah (akad menyirami pohon) --bukan Muzara’ah (akad bagi hasil
pertanian)-- di tanah Khaybar.
Mengapa? Karena tanah di Khaybar (sebelah utara Madinah) pada masa Nabi SAW
sebagian besarnya adalah tanah-tanah yang berpohon kurma. Sedang di sela-sela
pohon kurma itu, yang luasnya lebih sedikit, ada tanah-tanah kosong yang bisa
ditanami gandum. Hal ini bisa diketahui
dari riwayat Ibn Umar, bahwa hasil pertanian Khaybar yang diberikan Nabi kepada
para isteri beliau, jumlahnya 100 wasaq, terdiri 80 wasaq buah kurma dan 20
wasaq gandum (HR. Bukhari).[13]
Karena yang lebih banyak adalah hasil kurma, bukan gandum, maka akad yang ada
di Khaybar sesungguhnya adalah Musaqah, bukan Muzara`ah.
Penjelasan di atas
menunjukkan contoh kasus bahwa hukum syara’ itu dapat didasarkan pada kenyataan
yang lebih banyak (aghlabiyah). Maka dari itu, ketika kita menghadapi
fakta adanya teras masjid yang kadang dipakai shalat dan kadang tidak dipakai
shalat jamaah, kita harus melihat dulu, manakah yang aghlabiyah (yang
lebih banyak/sering). Jika lebih sering dipakai shalat jamaah, maka teras itu
dihukumi masjid. Dan jika lebih sering tidak dipakai shalat jamaah, maka teras
itu dianggap bukan masjid. Wallahu a’lam
Hukum membaca al-Qur’an
bagi wanita haid
Bahwa larangan membaca
al-Qur’an bagi orang yang berhadas besar hanyalah berdasarkan etis dan
kepatutan serta sebagai tanda memuliakan dan menghormati Kalamullah,
karena tidak ditemukan hadits yang dapat dijadikan hujjah yang dapat
dijadikan sebagai dasar hukumnya. Bahkan ada hadits shahih yang mengisyaratkan
bahwa orang yang berhadas besar boleh membaca al-Qur’an.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ
أَحْيَانِهِ. [رواه مسلم وأبو داود والترمذى].
Artinya:
“Diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata: Adalah Nabi saw menyebut nama
Allah dalam segala hal.” [HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Turmudzi].
Dari hadits di atas dapat
difahami bahwa orang yang berhadas besar boleh berzikir menyebut nama Allah.
Membaca al-Qur’an dapat disamakan dengan menyebut nama Allah.
Mengenai ayat laa
yamassuhu illal-muthahharuun (al-Waqi‘ah ayat 79)
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan.
Menurut riwayat diturunkan
di Makkah, sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah. Sedang mushaf al-Qur’an
baru ada pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, yang berarti adanya mushaf
al-Qur’an setelah lebih kurang 30 tahun setelah ayat tersebut diturunkan. Pada
masa Khalifah Utsman baru ada lima mushaf dan itupun belum beredar ke
tengah masyarakat. Mushaf al-Qur’an baru dicetak dan mulai beredar ke
tengah masyarakat lebih kurang 900 tahun kemudian. Karena itu, ayat di atas
tidak ada kaitannya dengan mushaf al-Qur’an.
Dari pendapat para mufassir
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-muthahharuun, ialah
orang yang suci yang benar-benar beriman kepada Allah, melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ada juga pendapat yang menyebutkan
bahwa al-muthahharuun itu adalah para malaikat. Orang-orang inilah yang dapat menyentuh isi
dan kandungan al-Qur’an. Sedangkan orang yang tidak suci tidak akan dapat
menyentuh kandungan dan isi al-Qur’an. Sebagaimana telah diterangkan di atas,
bahwa yang paling baik bagi orang yang hendak membaca al-Qur’an adalah ia dalam
keadaan suci dari hadas dan najis, serta berwudlu terlebih dahulu. Karena yang
akan kita baca bukan sembarang kitab, melainkan wahyu Allah yang menjadi
petunjuk hidup bagi manusia. Pendapat ini sesuai pula dengan pendapat Ibnul
Qayyim. Akan tetapi, ketika dalam keadaan haid pun boleh-boleh saja membacanya
dengan maksud menambah ilmu dan merenungi serta belajar memahami ayat-ayatnya.
Wallahu A’lam Bi Showab
13/4/2012
09.27 AM.
NF
[1]
Muhammad bin Abdurrahman, Rohmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah,
hal. 17.
[2]
Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam, I/92.
[3]
Hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah. Lihat Subulus Salam, I/92.
Menurut Ibn al-Qaththan, hadits ini hasan, Kifayatul Akhyar, I/80.
[4]
Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/80.
[5]
Lihat As-Suyuthi, “Al-Qaul fi Ahkam Al-Masajid”, Al-Asybah wa An-Nazha`ir,
hal. 241, dan “Bab Al-Haidh”, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 247;
As-Sayid A’lawi, Bughyatul Mustarsyidin, hal. 14.
[6]
Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 76; M.
Shalih Al-Utsaimin, Al-Fatawa An-Nisa`iyah (Fatwa-Fatwa Tentang Wanita),
hal. 44.
[7]
Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 77.
[10]
Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Sholat, hal. 274-275; Koleksi
Hadits-Hadits Hukum, III/368; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith,
hal. 416.
[11]
Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152.
[12]
Ibid.
[13]
Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 319.
0 komentar:
Posting Komentar