Senin, 27 Februari 2012 0 komentar

HUKUM KLONING MANUSIA

Pengertian
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia : Ensiklopedi bebas, kloning merupakan teknik penggandaan gen yang menghasilkan keturunan yang sama sifat baiknya dari segi hereditas maupun penampakannya.
Istilah kloning berasal dari kata bahasa inggris, cloning adalah suatu usaha untuk menciptakan duplikat suatu organisme melalui proses yang aseksual. Atau dengan arti kata lain membuat “foto copy” atau penggandaan dari suatu makhluk melalui cara-cara non seksual.
Hukum kloning
Kloning terhadap manusia telah menimbulkan banyak kontroversi sejak beberapa tahun yang lalu hingga sekarang. Pemimpin agama dan Negara menyatakan kecamannya terhadap sebuah perusahaan yang melayani jasa cloning manusia.
Vatikan mengatakan cloning itu tidak mengandung pertimbangan etika dan kemanusiaan sedikit pun. Sementara, kepala rabbi Israel mengatakan cloning tidak alami dan melanggar semua masalah yang menjadi hak Tuhan.
Di luar itu, makhluk hasil cloning memang banyak kelemahannya. Pakar rekayasa genetika sepakat bahwa bayi hasil clon kesehatannya rentan.  Memang, kalau ditinjau dari aspek intelektual atau ilmu pengetahuan, maka umat manusia sungguh mempunyai kemajuan yang pesat, tapi di dalam proses kemajuan ini apakah ada tersimpan kecemasan yang tidak diketahui orang? Jawabannya, pasti! Dampak langsung teknik cloning itu justru adalah pukulan terhadap moral dan etika yang berkaitan dengan hakikat manusia itu sendiri. Begitu muncul manusia cloning, apa jadinya hubungan antara yang dikloning dengan yang mengkloning? Berasal dari satu orang yang sama, sang ayah sekaligus berpredikat sebagai anak.
Makna keberadaan manusia tidak bisa disamakan dengan benda organic atau benda non-organik lainnya.
Memang, belum ada hukum secara tegas yang melarang pengkloningan manusia, tapi sampai dimana manusia boleh menggunakan teknologi ilmiah yang pada hakikatnya berasal dari tuhan.
Menurut Prof.Dr.Franz Magnis, menciptakan manusia oleh manusia bisa diartikan memperalat orang. Dilihat dari sisi etika, hal ini sangat merendahkan martabat seseorang. Beliu juga mengatakan bahwa manusia hanya sekedar menjadi objek cita-cita manusia itu sendiri. Sangat jelas disini, manusia sudah mulai memposisikan dirinya sama dengan Tuhan. Selain itu, dampaknya pada aspek social dan moral adalah :
Menghilangkan nasab anak hasil cloning yang berakibat hilangnya banyak hak anak dan terabaikannya sejumlah hukum yang timbul dari nasab seperti warisan.
Institusi perkawinan yang telah disyariatkan sebagai media berketurunan secara sah menjadi tidak diperlukan lagi, karena proses reproduksi dapat dilakukan tanpa melakukan hubungan seksual.
Lembaga keluarga akan hancur dan pada gilirannya akan terjadi pula kehancuran moral, budaya, hukum, dan syariah islam lainnya.
Tidak akan ada lagi rasa saling mencintai dan saling memerlukan antara laki-laki dan perempuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan konsekuensi dari konsep ilmu dalam al qur’an yaitu menemukan sesuatu hal yang baru yang tidak diketahui oleh masyarakat. Akan tetapi produk-produk baru dalam ilmu pengetahuan harus mengacu pada lima acuan syariah yang sudah ditetapkan sebagai acuan untuk memahami hukum. Lima acuan tersebut adalah :
Penghormatan syariah terhadap keyakinan /agama (Hifz al din)
Penghormatan syariah terhadap eksistensi diri dan martabatnya (hifz al nafs)
Penghormatan syariah terhadap eksistensi berpikir (hifz al ‘aql)
Penghormatan syariah terhadap keturunan (hifz al nasb)
Penghormatan syariah terhadap kepemilikan harta (hifz al mal)
Lima acuan diatas yang disebut dengan maqashid asy syariah.  Lalu bagaimana lima acuan tersebut dijadikan alat untuk menganalisa kasus cloning?
Penerapan kasus cloning sebagaimana telah dipaparkan di muka jelas akan membawa masalah berkaitan dengan maqsodh yang nomor empat, dimana keturunan menjadi bagian dari dasar ajaran islam. Sebagian dari hukum syariah mempunyai basis pada system keturunan ini, yaitu adanya perwalian, pernikahan, dan warisan yang membutuhkan eksistensi orangtua/nasab, sedangkan manusia hasil cloning tidak memiliki semua itu.
Disamping itu, terdapat dalil-dalil yang menguatkan keharaman kloning manusia, meskipun tidak secara tegas pengharamannya, sebagai berikut :
Pertama, anak-anak hasil cloning dihasilkan melalui proses yang tidak alami, padahal justru cara alami itulah yang telah ditetapkan oleh allah untuk manusia dan dijadikan sebagai sunnatullah. Allah berfirman :
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى (45) مِنْ نُطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى (46)
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita. dari air mani, apabila dipancarkan (An Najm :45-46)
Kedua, anak-anak produksi cloning dari perempuan saja tanpa adanya laki-laki, tidak akan mempunyai ayah.dan yang dihasilkan dari pemindahan sel telur ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik sel tidak pula mempunyai ibu. Sebab rahim itu hanya sebagai penampung saja. Hal ini bertentangan dengan firman Allah berikut :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. (Al-Hujurat :13)
Ketiga, kloning manusia akan menghilangkan nasab. Padahal islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab. Sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu abbas berikut :
“Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, dan budak bukan pada tuannya maka dia akan mendapat laknat dari allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu majah )
Dikuatkan dengan kaidah  درء المفاسد مقدم علي جلبالمصالح.
Maka, dengan pertimbangan-pertimbangan aspek-aspek diatas dan mafsadah yang terjadi akan berdampak lebih besar, maka hukum kloning manusia tidak diperbolehkan. (dikuatkan oleh fatwa MUI TAHUN 2000 di Jakarta)


Rujukan : Manusia kloning yang pertama telah lahir, Imam musbikin, cetakan pertama july 2010.
1 komentar

POLIGAMI

             

1.      Pengertian poligami

Dalam bahasa Yunani poligami berasal dari kata (poly, apolus= banyak; gamos, gami= perkawinan) artinya banyak nikah.
Islam, sebagaiman terreprentasikan dalam tradisi fiqh, menyebut praktik poligami dengan istilah “ta’addud al-zaujat”, sedangkan dalam istilah bahasa Indonesia kita mengenal istilah “madu” untuk menunjuk pada laki-laki yang memperistri perempuan lebih dari satu dalam satu waktu.

2.      Sejarah poligami

Menurut Muhammad Abduh, Syekh Al Azhar Mesir poligami adalah tradisi yang telah lama berlaku sebelum islam datang, dan berkembang di semua wilayah, pada suatu saat ketika perempuan dianggap sebagai spesies khusus antara manusia dan hewan.
Usia poligami telah sangat tua dalam sejarah ummat manusia, mungkin setua usia sejarah umat manusia itu sendiri. Musthafa Al Syiba’i mencatat bahwa di kalangan masyarakat bangsa yang hidup pada zaman purba, pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Assyria, Mesir telah terjadi praktik poligami. Pada saat itu praktik poligami tidak terbatas jumlah istrinya, sehingga mencapai ratusan orang istri dalam satu waktu, Nabi-Nabi yang namanya disebutkan dalam taurat juga melakukan praktik poligami.
Agama-agama besar di dunia memang tampak beragam dalam memandang masalah poligami, pada masyarakat hindu zaman dahulu misalnya, telah terjadi praktek poligami dan poliandri. Namun, hinduisme tidak melarang atau menyarankan untuk poligami. Sebab, dalam sejarah hanya raja dan kasta tertentu yang melakukan praktik ini. Walaupun dalam kitab-kitab yahudi poligami diizinkan, tapi berbagai kalangan yahudi kini melarang poligami. Gereja-gereja Kristen umumnya ( protestan, katolik, ortodoks dan lain-lain) menentang praktik poligami.
Pada bangsa arab, sebagai ruang social dimana Nabi Muhammad SAW lahir dan islam kelak disebarluaskan ke masyarakat, praktik poligami merupakan hal biasa. Waktu itu, tidak ada regulasi batas istri maksimum jumlah istri untuk satu laki-laki. Hal ini jelas merupakan warisan tradsi moyang mereka yang berada dalam budaya paternalistik, nomaden, dan patriarchal.
Dalam budaya masyarakat arab pra islam yang patriarchal tersebut, suami biasanya dikenal sebagai ba’al (tuan) bagi istrinya.
Dan secara historis, praktik poligami semacam ini terus berlanjut pada masa islam. Para sahabat banyak ynag mempunyai istri lebih dari satu orang pada satu masa. Sayangnya, banyak orang yang salah paham tentang praktik poligami ini, mereka mengira bahwa poligami merupakan praktik yang baru dikenal setelah hadirnya islam. Bahkan, dan ini yang lebih sesat, menganggap bahwa islam yang mengajarkan dan melegasikan praktik poligami, dengan satu dasar Nabi Muhammad menikahi banyak perempuan dalam satu waktu. Dan Nabi adalah seorang figure tauladan yang baik yang musti dicontoh oleh semua ummat islam. Maka, mereka berargumen “barangsiapa menentang poligami berarti menentang syari’at islam, dan menentang syari’at islam berarti menentang Allah SWT.



II.                 ADA APA DENGAN POLIGAMI

v Alasan laki-laki berpoligami

Sekarang orang bukan hanya ramai membicarakan poligami tapi juga melakukan praktiknya secara langsung. Memang, kita tahu bahwa praktik poligami bukan kisah baru dalam catatan sejarah umat manusia di belahan bumi ini tidak terkecuali di Indonesia. Aa gym (Kiai dan Pebisnis), Puspo Wardoyo (pengusaha), Zainal Ma’arif (politisi), KH Iskandar SQ (kiai dan pengasuh pesantren) dan sederet laki-laki lain bukanlah muka baru yang membuat sejarah poligami di Indonesia, jauh sebelum mereka para raja dahulu mempunyai selir yang tak terhitung jumlahnya, kiai pun mempunyai istri lebih dari satu.
Namun, dari sederet poligami yang terjadi yang patut kita simak adalah pernyataan dan alasan-alasan yang mereka gunakan, praktik yang mereka lakukan sah dan halal seratus persen, mulai dari alasan pintu darurat bagi hasrat libido laki-laki yang mendesak kuat, untuk memperolah keturunan, hingga alasan-alasan yang memakai teks agama (misalnya Al-Qur’an memperbolehkan praktik  poligami dan Nabi Muhammad melakukannya, mengapa kita tak boleh berpoligami). Namanya saja dalih, tentu semuanya diorientasikan untuk mengukuhkan keabsahan praktik poligami yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, bukan lagi sekedar dalam konteks wacana hukum (boleh atau tidak). Perihal poligami ini akan menarik bila didiskusikan dilihat dari konteks sosio historis dan tujuan dipilihnya jalan poligami. Marilah kita lihat alasan yang digunakan dalam rangka mengabsahkan praktik poligami  yang mereka lakukan.

Table 1
Alasan laki-laki mengapa memilih poligami

NO
NAMA
KAPITAL SOSIAL
ALASAN-ALASAN
1.
Puspo Wardoyo
Pengusaha
1.      Poligami kebutuhan primer
2.      Poligami membawa keberuntungan dan kebahagiaan
2.
Fauzan Al-Anshari
Aktivis dakwah (majelis mujahidin Indonesia)
1.      Poligami tidak dilarang dalam islam
2.      Poligami fitrah laki-laki
3.      Menolong perempuan
4.      Menghindarkan selingkuh
5.      Pembelajaran bagi kepemimpinan laki-laki
6.      Jihad demografi (memperbanyak anak)
7.      Istri lebih banyak beristirahat dari tugasnya
3.
Aa gym
Kiai dan pebisnis
1.      Pilihan terbaik ketimbang melakukan TTM
2.      Emergency exit
4.
KH. Noer iskandar. SQ
Kiai dan pengasuh pesantren
1.      Alternative sex paling aman daripada berzina
2.      Membuka pintu angerah
5.
Masdar. F. Mas’udi
Kiai dan aktivis LSM
1.      Poligami itu natural
2.      Penyeimbang supply ang demond (permintaan dan penawaran)

Dari tabel tersebut bisa kita petakan mengenai alasan-alasan yang digunakan, sebagai  berikut :
1.    Alasan agama
Mereka berpandangan bahwa islam tidak melarang poligami, alasan ini terkait dengan soal interpretasi terhadap teks kitab suci Al-Qur’an surat An Nisa ayat 3 dan sejarah Nabi Muhammad yang melakukan praktik poligami.
2.   Pembelajaran bagi laki-laki sebagai suami
Alasan ini mempertegas bahwa laki-laki menempati posisi superior dalam relasi social dan rumah tangga, dan pada sisi yang lain perempuan diletakkan pada posisi subordinat. Disini, praktik poligami dipandang sebagai arena pelatiahan bagi laki-laki dalam rangka membangun keluarga baru. Alasan ini tentu memposisikan perempuan sebagai objek latihan laki-laki yang sebagai subjek untuk mengukur kehebatan keadilan dan kredibilitas sebagai kepala rumah tangga.
3.         Jihad memperbanyak anak
Pernikahan dalam konteks ini dipahami sebagai lembaga untuk memperbanyak anak, bila sebuah lembaga pernikahan tidak bisa melahirkan anak, suami mempunyai hak untuk membangun lembaga pernikahan baru dengan praktik poligami ini.
4.    Alasan libido
Poligami sebagai emergency exit/pintu darurat yang menyelamatkan orang dari lubang zina. Dalam konteks alasan  ini terlihat bahwa laki-laki secara implisit mengakui bahwa dirinya tidak mampu mengelola dan mengendalikan hasrat libidonya dengan baik.
5.    Alasan natural
Poligami dipandang sebagai hal natural dan genetic. Secara cultural maupun social, ketidaksiapan laki-laki menjadi suami dan kesiapan perempuan menjadi istri menyebabkan permintaan menjadi istri lebih tinggi ketimbang penawaran laki-laki menjadi suami. Karena masalah supply dan demond inilah sehingga poligami menjadi solusi.


v   Poligami dimata perempuan yang dimadu.

   Berikut tabel komentar dari para istri yang dimadu     :

Tabel 2
Poligami dimata perempuan yang dimadu

NO
NAMA
STATUS
KOMENTAR
1.
Ummi Zahrah
Isteri pertama Fauzan Al-Anshari
1.      Poligami itu kan halal, ngaak menimbulkan efek samping, ketimbang “jajan” yang bisa menimbulkan penyakit menular
2.      Kalau saya yang menilai adil itu nantinya relative, adil itu urusan suami saya dan Allah Swt.
3.      Kalau cemburu itu seh wajar
2.
Muthmainnah Muhsin
Istri pertama Aa gym
1.      Mulanya saya sempat bertanya, apa yang kurang dari saya sehingga aa melirik perempuan lain
2.      Reaksi saya waktu tahu aa akan kawin lagi sama seperti reaksi wanita pada umumnya. Kaget, sedih, tapi lama kelamaan saya mengerti Aa tidak bermaksud menyakiti saya.
3.      Saya ingin seperti Khadijah, istri pertama Rosulullah.
3.
Zulia
Istri pertama Ismail Yusanto
1.      Sesuatu yang dibolehkan oleh Allah tidak bisa diganggu gugat apalagi diukur dengan perasaan
2.      Dipoligami itu ujian bagi keikhlasan
3.      Yang jelas poligami itu bukan hanya keikhlasan istri tapi harus ditopang suami yang bertanggung jawab
4.
Supianti
Istri kedua Puspo Wardoyo
1.      Dapat orang yang sudah punya istri atau belum yang penting bisa ada yang menunjang iman saya untuk menuju akhirat yang lebih baik, ya saya terima aja.
2.      Saya sudah mengetahui hukum poligami dalam islam, karena itu saya sudah siap jika bapak menikah lagi untuk yang ketiga kalinya.

Terlepas dari alasan perempuan yang bersedia dimadu maupun laki-laki yang melakukan poligami, secara sosiologis, cultural dan psikologis, sebenarnya perempuanlah yang selalu menjadi korban dan laki-laki memetik keuntungan. bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi masyarakat agraris misalnya, poligami tampak bukan hanya menguntungkan laki-laki dalam kepentingan pelepasan seksualnya, tetapi juga bisa dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya.  Tanpa susah payah, lewat praktik poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda dan murah, karena tanpa upah. Kultur semacam ini lalu dibawa migrasi ke kota meskipun struktur masyarakat telah berubah.
Sementara itu untuk kalangan priyayi, di masyarakat tertentu poligami tidak lain daripada bentuk pematerialan perempuan. Sebab, dalam struktur social perempuan disepadankan dengan harta dan tahta yang bisa dengan mudah diperas atas nama kemapaman ekonomi untuk mendukung dan menyempurnakan derajat social laki-laki dan hasrat seksual.
Dari cara pandang budaya, betapa pun poligami merupakan bentuk lain proses dehumanisasi perempuan. Dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat ketika perempuan yang dipoligami mengalami self depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir bathin luar biasa. Tidak sedikit di antar mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri, dan bahkan atas nama penafsiran otoritas agama, yang dia sendiri tidak berani untuk mempertanyakan keabsahannya.

III.              TRADISI MASYARAKAT PRA ISLAM

1.         Sosio cultural geografis arab pra islam
Jazirah arab mempunyai daerah yang cukup luas, wilayahnya sebagian besar adalah padang pasir, hanya ada beberapa daerah yang subur yaitu di daerah selatan dan sebagian daerah utara.
Secara geografis, posisinya jauh dari pusat-pusat kerajaan besar saat itu dan kondisi wilayahnya yang sangat sulit dijangkau, membuat wilayah ini luput dari cengkraman kedua imperium besar saat tu, yaitu Romawi Bizantium dan Persia.
            Mata pencaharian penduduknya kebanyakan beternak, bagi mereka yang hidup di kawasan tandus, dan bercocok tanam bagi mereka yang berdiam di lahan-lahan subur. Kelangsungan hidup mereka sangat tergantung kemurahan alam, dan pembagian peran dalam masyarakat juga sangat tergantung pada kondisi obyektif geografis ; laki-laki menjalankan peran public, seperti mencari nafkah untuk mempertahankan hidup, sedangkan perempuan menjalankan peran domestik, seperti mengasuh anak dan mengatur rumah tangga. Secara umum mereka menganut system patriarchal, yang ini sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis tersebut. 
     Perang antar suku selalu terjadi di mana-mana, Ibn Khaldun pernah berkomentar dalam hal ini “Tanpa Nabi orang-orang arab tidak mungkin dapat bersatu, apalagi untuk mendirikan kerajaan”. Dalam masyarakat kabilah ini perang dianggap sebagai salah satu kesempatan untuk memperolah taraf kehidupan yang lebih baik. Tugas perang ini dipegang oleh laki-laki, sehingga ia juga yang berkompeten dengan harta rampasan yang dihasilkan dari peperangan. Hampir sulit ditemukan saat itu perempuan ikut dalam peperangan.
            Laki-laki ternyata bukan hanya mengontrol bidang ekonomi, tetapi juga seluruh pranata social, serta jumlah penduduk dalam suatu kabilah. Sebab, jumlah penduduk yang lebih besar daripada sumber daya alam yang dimiliki satu kelompok suku akan menimbulkan berbagai masalah. Karena itu, peperangan bisa dilihat efek dan sekaligus alat untuk pengendalian jumlah penduduk, cara lain adalah pembunuhan bayi dengan mengubur hidup-hidup.
            Sekitar tahun 1000 SM muncul kerajaan baru yang kuat dan  dominan, yaitu kerajaan Asiria. Pada masa Ini perempuan mengalami second sex bahkan lebih ketat lagi pembatasannya, misalnya urusan busana perempuan ; seorang istri, anak perempuan, janda saat bepergian atau mengunjungi tempat-tempat umum harus menggunakan penutup kepala.
     Nah, ketika islam datang reformasi terjadi, eksisitensi perempuan diangkat tinggi dan menjadi demikian penting sebagaimana dapat kita dalam struktur teks kitab suci Al-Qur’an. Begitu pentingnya hingga Allah menurunkan surat yang diberi nama An Nisa (perempuan). Kenyataan ini merupakan sebuah pembalikan dan sekaligus perlawanan kultural yang dilakukan Al-Qur’an terhadap budaya arab sebelumnya, setelah dalam rentang waktu yang sangat lama, terhegemoni di dalam budaya patriarchal.

IV PERNIKAHAN DALAM ISLAM

1.      Makna pernikahan dalam islam
Dalam prinsip moral islam, perkawinan mula-mula merupakan hal naluriah. Perkawinan merupakan law of sex yang sudah diatur oleh Tuhan. Oleh karena itu keberpasangan dan perkawinan bukan hal yang kotor bagi manusia, tetapi sebaliknya justru bersih, suci dan terhormat. Perkawinan justru  sebagai bentuk manifestasi dari titah Tuhan dalam kehidupan semesta ini.
Tapi, perkawinan ini harus diatur dengan cara yang ma’ruf. Sebab, kita beda dengan hewan, yang tidak punya moral dan budaya. Bila tidak diatur, pemenuhannya bisa keliru, tidak terarah dan melahirkan mudarat.  Maka, dari sudut pandang fiqh, islam dengan tegas hanya membenarkan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan, yang secara syar’I keduanya tidak terhalang untuk menikah, yaitu bukan mahram. Di dalam islam pernikahan itu didahului dengan proses meminang kepada orangtua/wali perempuan, membayar mahar sesuai dengan kesepakatan kedua pihak dan selanjutnya ijab qabul.
Pernikahan di dalam islam itu lebih utama daripada ibadah shalat, puasa dan haji menurut Abil Mawahib Abd’ Al Wahab. Bahkan pernikahan adalah separuh dari agama, jika ingin menyempurnakan agama maka harus dengan menikah.

2.      Prinsip pernikahan dalam islam
Agar suatu pernikahan dapat meraih tujuan dengan damai dan sejahtera, islam menggariskan beberapa prinsip dasar yang menjadi acuan bagi pasangan suami istri.
a)        Prinsip kebebasan memilih
Menentukan pilihan mengenai siapa yang akan menjadi pasangan kita dalam pernikahan adalah hak pilih yang bebas bagi laki-laki dan perempuan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at islam. Misalnya, menikahi musyrik, menikahi yang masuk dalam kategori mahram dan menikahi pezina dan orang-orang yang berprilaku keji. ( QS. Annisa : 23-24, Annur : 3 dan 26)
Dalam tradisi arab pra islam, anak perempuan sama sekali tidak mempunyai hak pilih. Bahkan, dirinya diposisikan sebagai komoditas yang sepenuhnya dimiliki oleh ayah dan walinya.
Moralitas yang ditawarkan islam dalam masalah ini sungguh memeberikan ruang yang signifikan bagi perempuan untuk membangun haknya sebagai manusia yang setara dengan laki-laki. Disamping juga memberikan wawasan kepada wali agar mereka tidak memaksakan kehendaknya dalam masalah penentuan jodoh. Sebab, sebagai manusia yang terhormat perempuan juga mempunyai hak dalam menentuakan arah dan garis kehidupan masa depannya.
Dalam penentuan pilihan ini, Nabi Muhammad telah memberikan informasi penting mengenai kriteria yang biasa digunakan pada saat itu. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda :
“Perempuan dinikahi karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Jatuhkanlah pilihanmu atas yang beragama, kalau tidak engkau akan sengsara”.

b)       Prinsip Mawaddah
Mawaddah mempunyai makna kekosongan dan kelapangan. Secara definitif, mawaddah artinya kelapangdadaan dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. M.Quraish shihab menyebutnya sebagai cinta plus. Prinsip ini didasarkan pada surat Ar Rum : 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan diantara tanda-tanda kekuasanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”

c)        Prinsip rahmah
M. Quraish Shihab memaknai kata rahmah ini sebagai kondisi psikologis yang muncul dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong orang yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Oleh karena itu suami istri itu akan berusaha dan sungguh-sungguh dalam rangka memberikan kebaikan pada pasangannya serta menolak segala hal yang mengganggu hubungannya.
Dalam hal ini maka rahmah akan menghasilkan sikap sabar, murah hati, tidak mudah cemburu, tidak angkuh. Kedua prinsip ini, mawaddah wa rahmah hanya dikhususkan kepada manusia tidak pada makhluk lain.
Mengapa Al-Qur’an menggarisbawahi dua prinsip ini dalam pernikahan? Seperti kita tahu betapa pun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kekurangan juga. Dan betapa pun lemahnya seseorang pasti ada unsur kekuatan dalam dirinya. Pasangan suami istri tidak akan luput dari hal demikian Oleh karena itu, keduanya musti selalu berusaha untuk saling melengkapi dan menutupi. Dalam Al-Qur’an Allah telah berfirman :

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنّ
“Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu” (Q.S. Al-Baqarah: 187)َ
Ayat diatas, secara simbolik bukan hanya mengisyaratkan tentang kenyataan suami istri yang saling membutuhkan ibarat pakaian tetapi keduanya juga berarti harus mampu menutupi kekurangan pasangannya, sebagaimana pakaian menutup auratnya.
d)       Prinsip amanah
Dalam kehidupan sehari-hari amanah dipahami sebagai tanggung jawab. Kata amanah berasal dari kata aman yang berarti tentram. Juga dari kata iman yang berarti percaya. Orang yang memberikan amanah kepada seseorang berarti dia telah mempercayai orang yang diberikan amanah tersebut.
Demikian halnya dengan pernikahan, ia adalah akad amanah bukan akad kepemilikan. Istri adalah amanah dipelukan suami dan suami pun adalah amanah di pangkuan istri.
Pernikahan juga bukan hanya sebatas amanah dari dan untuk mereka tapi yang paling pokok bahwa ini adalah amanah dari Allah SWT untuk mereka berdua.
e)        Prinsip mu’asyarah bil ma’ruf
Atas dasar amanah inilah kemudian antarpasangan saling menjaga, menghormati dan melindungi. Islam mengajarkan agar suami memperlakukan istrinya secara sopan dan bermartabat. ( Q.S. An-Nisa : 19)
Saat melakukan haji wada Nabi bersabda :
“Bertaqwalah kamu kepada Allah berkaitan dengan urusan perempuan, kamu telah mengambil mereka sebagai amanah Allah dan kamu telah memperolah kehalalan atas kehormatan mereka dengan kalimat Allah.
Di akhir-akhir kehidupannya Rosulullah berwasiat kepada umat islam agar selalu membangun komitmen dengan pasangan dalam keluarganya. Perempuan yang pada masa itu selalu saja menerima perlakuan senonoh dan tidak adil dari laki-laki, menjadi subyek penting bagi Nabi Saw yang musti dibela dan diperjuangkan martabatnya.
Sosok istri, bukan sekedar sebagai pasangan dalam hidup berkeluarga, tetapi juga amanah dari Tuhan yang harus dijaga dan diberi rasa aman.

V. MENGAPA NABI MUHAMMAD BERPOLIGAMI

1.   Kisah pernikahan Nabi Muhammad Saw.
Dalam sejarah, Nabi Muhammad menikahi banyak perempuan sebagai istri. Para penulis sejarah berbeda pendapat mengenai jumlah perempuan yang pernah beliu nikahi. Nazmi Lukas, seorang Kristen yang sangat simpatik dengan figure Muhammad, dalam Muhammad fi hayatihi al khashash menyebutkan bahwa Nabi memperistri 9 perempuan, hitungan ini selain khadijah. Jamaluddin Yusuf menjelaskan bahwa istri Nabi ada 14 orang perempuan. Dari Qatadah mengatakan bahwa Nabi menikahi 15 perempuan, tetapi hanya menyetubuhi 13 orang, dan mengumpulkan 11 orang dalam hubungan pernikahan. Dan ketika wafat beliu meninggalkan 9 istri. Ibn Sa’d penulis biografi muslim paling awal menjelaskan bahwa Nabi memperistri 12 orang perempuan. Perbedaan ini terjadi karena ada beberapa perempuan yang dinikahi Nabi namun tanpa menyempurnakan pernikahannya, beberapa perempuan dilamar Rosulullah tetapi tidak dinikahi serta beberapa perempuan yang menawarkan diri mereka pada Rosulullah.
Untuk lebih mendapatkan gambaran lengkap tentang praktik poligami Nabi Muhammad serta motif-motif yang melatarbelakanginya, sebaiknya kita lihat sejarah pernikahan beliu.

Tabel III
Perempuan-perempuan yang dinikahi Nabi Muhammad saw.

No
Nama
Keluarga
Keterangan
1.
Khadijah
Khuwaylid
Seorang pebisnis, janda berumur 40 tahun. Nabi saw jejaka 25 saat itu. Wanita pertama yang masuk islam dan wanita pertama yang dinikahi nabi.
2.
Saudah
Zum’ah
Janda tua dan tidak cantik, masuk islam di makkah pada masa awal. Dinikahi nabi untuk melindungi dirinya dari serangan orang kafir dan derita kepapaannya.
3.
Aisyah
Abu bakar
Gadis, dinikahi pada usia 12 tahun. Dinikahi untuk membangun kekerabatan dengan abu bakar ash shidiq
4.
Hafshah
Umar bin khattab
Pada usia 18 menjanda setelah suaminya meninggal dalam perang. Lalu abu bakar dan utsman ditawari umar tapi mereka menolak. Lalu nabi yang menikahinya, tujuannya menolong, melindungi, dan membangun jaringan kekerabatan.
5.
Zainab
Khuzaimah
Menyerahkan diri kepada nabi saw karena kemiskinannya dan penderitaannya. Sebelum menikah dengan thufail bin harits lalu cerai dan menikah lagi dengan ubaidillah yang syahid dalam perang badar.
6.
Ummu salamah
Abu umayyah bin mughirah
Janda banyak didera derita, dinikahi nabi demi perlindungan dan keamanan dirinya dari gangguan orang kafir
7.
Ummu habibah
Abu sufyan bin harb
Masuk islam lebih dahulu sebelum ayahnya. Suaminya ubaidillah bin jahsyi meninggal dalam kemurtadan. Hidup menderita di pengasingan, habsyi, lalu dinikahi nabi untuk melindungi dirinya.
8.
Zainab (barrah)
jahsy
Janda cerai dari zayd bin haritsah, anak angkat nabi. Dinikahi berdasarkan wahyu allah surat al ahzab : 36
9.
Shafiyyah
Huyay bin khattab
Janda cerai dari salam bin misykam qurazi. Menikah lagi dengan kinanah bin rabi yang gugur dalam perang khaibar. Tawanan kaum muslim. Dibebaskan dan dinikahi nabi setelah masuk islam.
10.
Juwairiyah
Al-harits
Janda dari musafi, meninggal dalam perang melawan bani musthaliq. Menjadi tawanan perang di tangan tsabit bin qays lalu dibebaskan dan dinikahi oleh nabi
11.
Maimunah
Al-harits
Janda cerai dari mas’ud. Menyerahkan jiwa dan raganya kepada nabi dan masuk islam.

2.   Sosio historis poligami Nabi Muhammad saw.
Dari tabel diatas, telah jelas bahwa secara historis Nabi menjalankan praktik poligami bukan sebagaimana yang terjadi di masyarakat arab saat itu. Namun pertanyaannya apakah dengan poligami yang beliu praktikan itu sebagai indikasi bahwa beliu mengabsahkan poligami untuk umat islam? Dalam konteks inilah ada beberapa hal mendasar yang harus diperhatikan sebelum kita menjawab pertannyaan tersebut.
a.        Nabi Muhammad Saw menikah dengan banyak perempuan bukan demi memperoleh keturunan, meskipun salah satu fungsi dan hikmah pernikahan adalah memperoleh keturunan. Faktanya Nabi memperoleh keturunan hanya dengan istri pertamanya, khadijah.
b.        Nabi Muhammad saw melakukan praktik poligami bukan untuk melampiaskan hasrat seksual. Sungguh tidak mempunyai dasar tuduhan beberapa orientalis yang mengatakan bahwa Nabi seorang pemuja seks, sebab kita tahu bahwa istri Nabi kecuali Aisyah adalah perempuan tua renta, yang secara biologis tidak lagi mampu menjalankan fungsinya sebagai seorang istri.
c.         Nabi Muhammad saw mempraktikan monogami dengan khadijah selama 25 tahun, suatu masa yang sangat panjang bila diukur dari usia keseluruhan pernikahan Nabi saw.
d.        Motif pernikahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw secara keseluruhan adalah motif kemanusiaan. Yaitu mengangkat dan melindungi perempuan serta perjuangan dakwah islam, bukan pelampiasan nafsu seksual.
e.        Praktik poligami yang dilakukan Nabi Saw terjadi dalam situasi dan kondisi jauh dari normal. Yaitu kondisi dimana peperangan dan perjuangan dakwah islam melawan orang-orang kafir.

Dari fakta-fakta itulah ada beberapa perbedaan fundamental antara praktik poligami pra islam dengan praktik poligami yang dijalani Nabi Muhammad saw. Perbedaan tersebut adalah berikut:
Tabel IV
Perbedaan poligami pra islam dan poligami Nabi Muhammad Saw

No
Poligami pra islam
Poligami nabi Muhammad saw
1.
Perempuan diposisikan sebagai manusia kedua.
Perempuan pada hakikatnya setara dengan laki-laki, hanya ketaqwaan yang membedakan
2.
Perempuan seperti materi, bisa diwarisi ketika suami meninggal dunia
Perempuan tidak lagi dipandang sebagai materi, tetapi manusia smepuran yang justru mendapat warisan jika ada yang meninggal keluarganya.
3.
Tidak ada pembatasan jumlah perempuan
Ada pembatasan jumlah perempuan yang dinikahi yaitu empat orang perempuan.
4.
Tidak ada syarat dalam praktik poligami
Nilai sikap keadilan laki-laki menjadi syarat dalam poligami
5.
Kegiatan cultural
Kegiatan yang mempunyai dimensi kemanusiaan dan ilahi
6.
Kelebihan materil yang dimilki pihak laki-laki
Situasi tidak normal, perempuan muslim teraniaya dan pilihannya terhadap islam
7.
Prestise social
Tanggung jawab kemanusiaan
8.
Demi dorongan libido seksual
Tidak ada keterlibatan factor libido. Istri-istri nabi kecuali aisyah semuanya janda.

3.   Nabi Muhammad Saw tidak setuju poligami
Secara historis Nabi Muhammad melakukan praktik poligami karena berbagai factor diatas, akan tetapi Nabi tidak menganjurkan para sahabatnya untuk melakukan poligami. Bahkan dalam berbagai kesempatan dengan nada negative beliu tidak menyukai poligami.
Dalam sebuah hadis Nabi memperlihatkan sikapnya yang secara eksplisit tidak setuju dengan praktik poligami. Diriwayatkan dari Al-Miswar Ibn Makhramah bahwa ia pernah mendengar Rosulullah berpidato.
“Sesungguhnya anak-anak Hisyam bin Mughiroh meminta izin kepadaku untuk menikahi putrinya dengan Ali. Ketahuilah bahwa aku tidak mengizinkannya. Aku tidak mengizinkannya kecuali Ali bersedia menceraikan putriku dan lalu menikahi anak mereka. Sesungguhnya Fatimah bagian dari diriku, barang siapa yang membahagiakannya berarti ia membahagiakanku, sebaliknya barangsiapa yang menyakitinya berarti ia menyakitiku”
(HR. Bukhari, Muslim, Imam Tirmidzi, Abu Dawud, dan Imam Ahmad).

Ada sebagian umat islam yang memahami hadis diatas sebagai sesuatu yang khusus, hanya ditujukan untuk Ali bin Abi Thalib bukan karena Nabi melarang praktik poligami.
Bila kita lihat dalam persfektif yang lebih luas, pemahaman dalam konteks hadis ini sebagai hal yang tidak khusus tidaklah relevan. Sebab, ketidaksetujuan Nabi atas permintaan Bani Hisyam dengan sangat jelas didasarkan pada aspek penderitaan istri. Alasan ini mencerminkan bahwa dalam praktik poligami selalu perempuan yang menjadi korban, karena kebahagiaannya telah tercabut akibat dimadu suaminya dengan perempuan lain. Dan Nabi tidak mau hal ini terjadi  kecuali sang istri (dalam kasus ini Fatimah) diceraikan terlebih dahulu.     
Oleh Karen itu, dari fakta yang dungkap hadis ini maka tidak ada alasan yang bisa digunakan untuk mengatakan bahwa sikap Nabi Muhammad tersebut sebagai sesuatu yang khusus untuk Ali bin Abi Thalib.

VI. ANTI POLIGAMI, MELAWAN SYARI’AT ISLAM?

1.   Apakah Al-Qur’an mensyari’atkan poligami?
Dalam hal ini, akan ditelusuri ayat ketiga dari surat An Nisa yang dalam wacana pemikiran islam menjadi sumber perbedaan perihal praktik poligami.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak berlaku adil, maka nikahilah olehmu seorang saja. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS Annisa:3)

Ayat ini berbicara mengenai penegasan Al-Qur’an kepada laki-laki untuk berlaku adil, terutama terhadap anak yatim. Setelah pada ayat sebelumnya Allah melarang mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara aniaya, kini Dia melarang sikap aniaya terhadap pribadi anak yatim. Kalau orang takut tidak mampu berlaku adil terhadap perempuan yatim maka nikahilah  perempuan lain yang bukan yatim. Dari struktur teksnya ayat ini diperuntukkan kepada wali bagi anak-anak yatim perempuan ketika berniat menikahinya.
Para ulama tafsir, seperti ibn jarir Ath Thabari, Al-Jhashash, Ibnu Katsir dan Al Zamakhsyari secara umum mempunyai kesimpulan yang sama dalam kasus ini. Yakni ayat ini berkaitan dengan praktik yang terjadi di masyarakat arab saat itu dimana seorang wali anak yatim, dia menikahinya karena kecantikannya dan harta yang dimiliki anak yatim tersebut.
Secara historis ayat ini turun di madinah setelah perang uhud, karena kecerobohan dan ketidaksetiaan dengan kesepakatan yang telah digariskan oleh Nabi. Saat itu umat muslim kalah telak. Dampak dari kekalahan itu adalah jumlah janda dan anak yatim meeningkat tajam. Tanggung jawab anak yatim ini kemudian dilimpahkan kepada walinya. Memang, tidak semua anak yatim dalam kondisi miskin, ada juga yang mewarisi harta kekayaan dari orangtuanya yang gugur. Terhadap anak yatim yang mempunyai warisah yang banyak ini, muncul niat jahat dari para wali untuk berlaku culas dan licik dengan menikahi anak yatim yang memiliki kecantikan, sedangkan jika tidak cantik maka ia akan melarang anak yatim itu untuk menikah dengan lelaki manapun. Tujuannya karena takut hartanya beralih ke tangan laki-laki yang menikahinya. Akibatnya tidak sedikit dari anak yatim perempuan yang diperlakukan tidak adil dan tidak memperoleh kebahagiaan.
Sebab utamanya ayat ketiga ini turun, sebagaiman telah diungkap oleh mufasir adalah berkaitan dengan perbuatan wali yang tidak adil terhadap anak yatim perempuan yang berada dibawah perlindungannya.
Sedangkan untuk masalah poligami yang dalam ayat ini menggunakan kata   مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً muncul beragam penafsiran berikut ini:
Tabel V
Mufasir yang membolehkan poligami dengan berbagai syarat

No
Nama penafsir
Alasan
1.
Al Jashshash
Poligami boleh dengan syarat : laki-laki berlaku adil. Pengertian ukuran keadilan disini: (1). Keadilan material (2). Keadilan non material. Keadilan non material ini sangat berat, sebagaimana ditegaskan oleh allah dalam surat annisa: 129
2.
Al Zamakhsyari
Poligami boleh dilakukan dengan syarat : laki-laki harus berlaku adil, jumlah poligami yang dinikahi bukan 4 tapi 9 orang, alasannya kata sandaang athaf wawu di kalimat ayat tersebut berfungsi sebagai penjumlahan. (lil al jami)
3.
Al Qurthubi
Poligami boleh dilakukan dengan syarat : laki-laki harus mampu bersikap adil di dalam perihal kasih sayang, hubungan biologis, pergaulan, dan pembagian nafkah. Jumlah perempuan yang dinikahi adalah 4 orang. Dia menolak pendapat zamakhsyari, alasannya karena pada zaman nabi ketika haris bin qais masuk islam dan ketika itu ia mempunyai istri 8 orang, nabi menyuruh dia untuk memilih empat diantaranya dan menceraikan sisanya.
4.
Asy Syaukani
Poligami boleh dengan syarat : laki-laki yang poligami bersikap adil, haram hukumnya menikahi lebih dari 4 dalam satu waktu. Alasannya, karena bertentangan dengan sunnah nabi yang hanya memperbolehkan sahabatnya beristri maksimal empat orang perempuan. 
5.
Sayyid Qutb
Praktik poligami merupakan rukhsah. Bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat dan mendesak. Dan kebolehan inipun masih disyaratkan adanya sikap adil bagi laki-laki yang hendak berpoligami.
6.
Al Maraghi
Kebolehan poligami adalah kebolehan yang dipersulit dan mendesak, alasan yang membolehkan poligami :
1.      Istri mandul, padahal keduanya mengharapkan keturunan
2.      Si suami mempunyai kemampuan seks yang tinggi kebutuhannya
3.      Suami mempunyai harta yang banyak untuk membiayai kepentingan keluarga.
4.      Jumlah perempuan melebihi dari jumlah pria, hal ini terjadi karena ada perang
5.      Banyaknya janda dan anak yatim yang perlu dilindungi

2.   Poligami : masalah keadilan atau kepatuhan?
Kata kunci yang dipersyaratkan oleh Al-Qur’an adalah adanya sikap adil di dalam diri laki-laki yang poligami. Ada dua hal yang mendasar yang harus dikaji dalam masalah ini: (1). Apa pengertian adil? (2) siapa yang berhak membuat ukuran dan kriterianya?
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan soal sikap adil ini, ada dua pengertian umum yang bisa disimpulkan dari keragaman pendapat yang muncul, yaitu keadilam material dan immaterial. Pada pengertian yang pertama laki-laki masih bisa mewujudkan sikap adil dalam praktiknya. Namun, untuk pengertian yang kedua sungguh sangatlah sulit. Al-Qur’an sendiri menegaskan dalam Surat Annisa : 129
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri, maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.
Menurut Abdullah ibn abbas pengertian adil yang dimaksud ayat ini adalah adil dalam hal hubb (cinta) dan jima.
Menurut Mahmud syaltut bahwa poligami boleh dengan syarat adil, sedangkan bersikap adil sebagaimana dalam Surat Annisa: 129 sangatlah tidak mungkin. Jadi, poligami bukanlah hal yang diperbolehkan karena tidak mungkin berbuat adil.
Namun M. Quraish shihab tidak setuju jika ayat 129 digunakan sebagai dalil untuk menutup pintu poligami serapat-rapatnya. Alasannya, karena keadilan yang menjadi syarat diperbolehkannya poligami adalah keadilan dalam aspek material.
Masalah yang kedua adalah siapakah yang berhak menentukan ukuran keadilan? Islam sangat menghargai perempuan dan menjadikannya sebagai manusia sempurna bukan second class. Namun, fakta sejarah menampilkan bahwa posisi perempuan sebagai istri seringkali diabaikan hak-haknya. Dengan demikian, penentuan perihal adil sebaiknya memang bukan hanya di tangan laki-laki tapi juga perempuan. Sebab, perempuanlah yang kelak akan menerima konsekuensi bila ketidakadilan terjadi dalam poligami. Faktanya masyarakat kita sekarang mengatakan bahwa kesuksesan poligami itu ditentukan oleh suami, padahal bukankah justru karena kemampuan laki-laki membuat perempuan tunduk dan pasrah di tengah kultural dan kapital material yang digenggam di tangan laki-laki sehingga mau tidak mau mereka (istri) harus merelakan suaminya berpoligami. 

VII.            MEMILIH MONOGAMI

1.          Ketika agama menjadi dalih
Tidak ada satupun konteks sejarah, baik berdasarkan informasi dari Al-Qur’an maupun Hadis yang menganjurkan berpoligami.
Kita juga tahu, tidak ada satu riwayatpun yang menjelaskan tentang adanya seorang istri yang mengizinkan suaminya untuk menikah lagi akan dijamin syurga, atau setidaknya akan diangkat derajatnya lebih tinggi. Yang ada justru ancaman bagi laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu tapi tidak bisa berlaku adil kelak pada hari kiamat dia akan datang dengan badan yang miring.
Nabi Muhammad juga tidak pernah mengatakan kalau poligami adalah medan ujian untuk meningkatkan kualitas iman dan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga serta keikhlasan istri sebagai perempuan yang dimadu.
Bila alasannya adalah jihad demografi alias memperbanyak keturunan, Nabi justru memperoleh anak dari pernikahan monogaminya bersama khadijah. Dan dengan istri-istri lain Nabi tidak mempunyai anak.
Bila alasannya adalah financial, Al-Qur’an tidak memberikan isyarat soal ini sebagai factor dibolehkannya poligami. Alasan ini hanya mengasumsikan bahwa perempuan adalah beban financial, padahal jika kita tengok pada era sekarang ini tidak sedikit perempuan yang tidak memerlukan sokongan laki-laki untuk memenuhi financialnya karena peran perempuan di dunia public dan pekerjaan semakin banyak.
Jangan juga mengatakan bahwa poligami adalah sunnah Rosul padahal alasan yang digunakan adalah karena takut berzina. Poligami Rosulullah sangat mulia dan tidak dapat disamakan dengan alasan daripada berzina semacam ini. 
Cara berpikir demikian, secara implisit telah menempatkan pernikahan yang oleh Al-Qur’an disebut dengan perjanjian agung (Mitsaqan ghalidha) sebatas akad dimana laki-laki memperoleh kehalalan menikmati tubuh perempuan. 

2.                                              Poligami : siapa yang memetik kebahagiaan?
Beberapa implikasai yang terjadi akibat praktik poligami dan ternyata perempuan dan anak-anaklah yang menjadi korban. Implikasi yang menjadikan mereka menderita setidaknya dalam tiga ranah, yaitu implikasi sosio psikologis, kekerasan terhadap perempuan, dan social terhadap masyarakat.
a.                  Implikasi sosio psikologis
Secara psikologis semua istri akan merasa terganggu dan sakit hati melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Terlalu sulit sulit mencari istri yang mengikhlaskan suaminya untuk berpoligami.
Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa rata-rata istri begitu mengetahui suaminya menikah lagi, spontan dia mengalami depresi, stress berkepanjangan, kecewa dan benci. Hal ini bukan hanya dialami oleh istri pertama tapi juga yang kedua, ketiga dan seterusnya.
Sikap kecewa ini disebabkan karena kebulatan cintanya kepada suaminya, perempuan merasa inferior dihadapan suaminya, perempuan memandang dan menempatkan dirinya semata-mata sebagai obyek atau sederajat dengan kekayaan material yang ada di genggaman suaminya, bukan sebagai subyek yang mandiri, dan ketidakmampuan financial.
Implikasi selanjutnya, terjadilah konflik internal keluarga baik antar istri, istri dan anank tiri atau antara anak-anak yang berlainan ibu.
Implikasi psikologi lain, hubungan antara keluarga besar istri pertama dengan keluarga si suami akan terganggu. Dan terakhir, akan berdampak buruk pada anak.
b.        Implikasi kekerasan terhadap perempuan
Poligami juga berimplikasi pada maraknya kekerasan terhadap perempuan dan itu terjadi dalam keluarga. Kekerasan lain yang diderita oleh perempuan adalah kekerasan pada ranah ekonomi. Biasanya ini terjadi pada perempuan yang dimadu karena berkurangnya bahkan pengabaian kewajiban suami menafkahi istri dan anak-anaknya.
c.                                            Implikasi social
Problem social yang sering terjadi dari praktik poligami adalah terjadinya pernikahan dibawah tangan, yaitu pernikahan yang tidak dicatatkan di kantor KUA


3.        Indahnya monogami : indahnya pernikahan
Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an tujuan pernikahan adalah membangun keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Sepanjang sejarah, laki-laki berargumen bahwa keinginan untuk memiliki banyak pasangan merupakan kondisi alamiah. Dengan berlalunya waktu, dan proses evolusi, manusia menemukan kultur yang beradab dan manusiawi. Secara etik ia lebih memilih satu orang saja sebagai pasangannya untuk membesarkan anak-anaknya dan menanamkan nilai moral. Maka, monogamy merupakan tantangan sekaligus tujuan bagi umat manusia.
Karena dalam konteks “darurat”, maka poligami merupakan hal yang seharusnya tidak pernah terbayang di dalam benak setiap laki-laki untuk menjalaninya. Apalagi direncanakan sebelumnya dengan matang, sungguh sulit dipahami laki-laki yang atas nama darurat melakukan praktik poligami tetapi sebelumnya keputusan ini telah direncanakan dengan baik.









VIII.         KESIMPULAN



Sebagaimana telah dipaparkan dimuka, bahwa pernikahan dalam islam bertujuan membangun keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, dan tujuan itu hanya bisa dan mudah untuk dicapai hanya dengan pernikahan monogami.

Praktik poligami yang dilakukan oleh Rosul itu mengandung banyak alasan dan tidak bisa diterapkan atau disamakan dengan laki-laki pada zaman sekarang yang orientasinya adalah kesenangan dan alasan untuk kebutuhan seks saja.

Jadi, alangkah lebih baiknya jika poligami itu dihindari saja dengan tidak menafikan kebolehannya dalam ajaran islam. Sebagaimana kaidah ushul fiqh “ menolak mafsadah lebih didahulukan daripada menarik maslahah” karena dalam poligami meskipun ada maslahah yang bisa diambil tapi lebih banyak mafsadah yang akan ditimbulkan. 

Bagaimana komentar anda dengan postingan saya?

 
;