a.
Pemikiran
Ibnu Taimiyah
Dalam Islam apa yang
kita sebut sebagai jabatan dan aktivitas politik termasuk dalam kategori amanat
dan tugas publik (waliyat) seperti yang dipahami dalam syariat. Karena
itu, seorang penguasa politik wajib menyampaikan amanat kepada pemberi amanat
itu dan untuk menghukumi secara adil.Tujuan semua tugas publik (waliyat) adalah mewujudkan kesejahteraan
material dan spiritual manusia. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa posisi
kepemimpinan politik (sultan, mulk, amir) dan syariat saling melengkapi satu
sama lain untuk membentuk sebuah pemerintahan yang berdasarkan syariat. Ibnu
Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa kekuasaan
politik.Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran benar-benar
tidak dapat dicapai kecuali kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam). Pendapatnya yang
terkenal adalah “Agama tanpa kekuasaan, jihad, dan harta, sama buruknya
dengan kekuasaan, harta, dan perang tanpa agama.”
Dalam pandangan Ibnu
Taimiyah, tegaknya keadilan tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya
kerjasama.Manusia berkumpul dan membentuk sebuah komunitas politik, kemudian
menunjuk salah seorang sebagai pemimpin untuk mengorganisir untuk mewujudkan keadilan
dan kebermanfaatan bersama.
Seorang pemimpin tidak
menetapkan tujuan mereka sendiri, melainkan memiliki otoritas untuk bertindak
dan dipatuhi, karena mereka tengah (atau semestinya) berusaha mewujudkan
tujuan-tujuan Islam.
Doktrin pemimpin dalam Islam
adalah tidak lain merupakan wali, wakil, dan agen otoritas, sama sekali bukan
pemilik. Inilah maksud bahwa pemimpin adalah penggembala, yang tidak memiliki
hewan gembalaannya; kedudukannya seperti wali bagi anak yatim.Di sini, citra raja absolut Timur Tengah dan Iran
kuno benar-benar diIslamkan. Otoritas pemimpin, sesungguhnya berasal dari
Tuhan; namun hal ini berarti bahwa kepentingan-kepentingan yang wajib ia
upayakan sesungguhnya merupakan kepentingan-kepentingan rakyatnya.
Ibnu
Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara atau raja hanya
merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Dalam
hal ini Ibnu Taimiyah menganggap bahwa penguasa-penguasa yang korup adalah yang
paling tidak bermoral dan karena itu tidak ada kewajiban untuk patuh pada
mereka, dan ia juga menyalahkan para ulama dan cerdikcendikia yang mendukung
penguasa-penguasa yang tidak mengindahkan agama dan melakukan penyelewengan dan
membuat syari’at tidak mampu menjawab tuntutan kemanusiaan. Mereka telah
dianggap mengingkari prinsip-prinsip syari’ah. Tapi di lain sisi Ibnu Taimiyah
menemukan dilema ketika dihadapkan tentang ada dan tidak adanya pemimpin dalam
sebuah negara. Menurut Ibn Taimiyah, sebagai faktor instrumental dalam
mewujudkan kesejahteraan bersama, adanya seorang kepala negara merupakan
sesuatu yang niscaya dan tidak terelakkan. Di sini prinsip gagasannya adalah
bahwa kaum muslimin dalam hidup sosial perlu ada pemimpin dan diorientasikan
pada stabilitas. Dari sumber lain pernyataan “Lebih baik 60 tahun diperintah
oleh pemimpin yang dzalim dibandingkan hidup satu hari tanpa
pemerintahan.” adalah berasal dari
pendapat Ibnu Taimiyah sendiri dalam buku As-Siyasah Asy-Syariah.
Dalam
kitabnya Al furqan baina aulia ar rahman dan Risalah ila sulthan Ibnu Taimiyah menafsirkan tentang surat
annisa ayat 83 dan 59 sebagai berikut:
Allah
telah mewajibkan untuk mentaati rasul dan ulil amri dan juga mewajibkan bagi setiap
umat apabila ada perselisihan maka hendaknya dikembalikan semua permasalahan
tersebut pada alQur’an dan sunnah rasul . Barangsiapa mentaati rasul maka ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia
dan akherat sedangkan siapa yang membangkang pada rasul ia akan mendapatkan azab di dunia dan akherat.
Dalam
bukunya Majmuatul fatawa, ia juga menjelaskan tentang makna ulil amri
adalah orang-orang yang memiliki perintah atau sebagai pemerintah, yaitu
orang-orang yang memerintah manusia. Termasuk di dalamnya adalah orang-orang
yang memiliki kemampuan dan kekuasaan serta ahli ilmu pengetahuan dan
kalam/tauhid. Karena itu ulil amri itu ada dua golongan : ulama (ahli
ilmu) dan umara (penguasa). Jika mereka baik, maka
manusia akan baik pula dan jika mereka rusak maka manusia akan menjadi rusak
pula. Wajib bagi ulil amri untuk memerintahkan apa yang diperintahkan Allah dan
melarang apa yang dilarangnya. Dan bagi rakyat wajib mentaati ulil amri dalam
rangka mentaati Allah dan tidak mentaatinya dalam hal bermaksiat kepada Allah.
b. Pemikiran Hamka dalam Tafsir al Azhar
Dalam Surat Annisa Ayat 59 Hamka
menjelaskan, ada tiga pokok pembangunan kekuasaan dalam Islam, Pertama, Dalam
ayat itu menjelaskan perintah taat pada Allah sebagai pemegang kendali dan
penguasa tertinggi dan perintah ini ditujukan pada kaum/umat yang beriman,
setelah itu kemudian orang beriman diperintahkan pula taat pada rasul . Sebab
taat kepada rasul adalah lanjutan dari
taat kepada Allah.Banyak perintah Allah yang wajib ditaati, tetapi tidak dapat
dijalankan kalau tidak melihat contoh teladan.Maka contoh teladan itu hanya ada
pada rasul dan dengan taat pada rasul barulah sempurna beragama.
Kemudian diikuti oleh
perintah taat pada Ulil amri-minkum, orang-orang yang menguasai
pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa di antara kamu atau daripada kamu.Minkum
mempunyai dua arti :
a.
Di
antara kamu,
b.
Daripada
kamu.
Maksudnya
yaitu mereka yang berkuasa itu adalah daripada kamu juga, naik atau terpilih
atau kamu akui kekuasaannya sebagai satu kenyataan.
Ulil amri yang waib ditaati
adalah pemimpin yang melaksanakan kewajibannya sebagai pemimpin dengan
menjalankan semua perintah yang terdapat dalam al Qur’an dan sunnah rasul . Dan
pemimpin yang menjalankan amanatnya dengan baik dan benar.Sedangkan pemimpin
yang zalim dan tidak melaksanakan amanat sesuai ketentuan al Qur’an dan sunnah
maka tidak ada kewajiban untuk mentaatinya.
Sedangkan dalam Surat Annisa ayat
83 Hamka menjelaskan, bahwa makna ulil amri dalam konteks ayat ini adalah
sahabat-sahabat Nabi yang utama yang berada di sekeliling beliu. Karena asbabun
nuzul ayat ini mengenai orang-orang munafik yang suka menyebarkan isu-isu
yang tidak benar di sekeliling mereka dan itu membuat khawatir orang-orang
beriman saat itu maka Allah memerintahkan dalam ayat tersebut seandainya ada
berita atau khabar yang menimbulkan kecemasan hendaklah segera dikembalikan
atau dirujuk kepada rasul dan para
sahabatnya agar tidak terjadi kesalah pahaman diantara kaum muslimin saat itu.
c.
Kesimpulan
Dengan
menganalisa pemikiran kedua tokoh dalam hal ini adalah Hamka dan Ibnu Taimiyah
kita telah menemukan seperti apa konsep ulil amri dan dapat menggarisbawahi
beberapa poin penting tentang konsep ulil amri menurut pemikiran mereka
masing-masing.
Penafsiran ulil amri menurut Ibnu Taimiyah dan
Hamka berbeda dengan ulil amri pada masa sekarang ini, menurut mereka ulil amri
yang wajib ditaati dan dipatuhi serta diteladani adalah pemimpin yang memiliki
kapabilitas dan faqih dalam ilmu agama, ia dapat melaksanakan amanah dengan
baik sesuai dengan syari’at allah dan rosulnya. Pemimpin seperti itulah yang wajib dipatuhi dan akan berdosa jika
melanggar perintah dan tidak menaatatinya.
Sedangkan pemimpin pada masa sekarang, jika dia mampu
memilki semua kriteria yang layak bagi seorang pemimpin maka ia pun wajib
ditaati aturannya, akan tetapi jika dia adalah seseorang yang lalai dan gemar
bermaksiat dan telah mendzolimi rakyatnya maka rakyatnya hanya diberikan
kewajiban untuk mentaatinya sebatas hal-hal yang tidak melawan perintah Allah
dan Rasul, jika perintah itu berlawanan dengan perintah Allah dan Rasul (Baca:
korupsi, suap dan lain-lain) maka rakyat tidak ada kewajiban untuk mematuhi
perintahnya dan pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan
yang ia lakukan pada rakyatnya.
Adapun persamaan dan perbedaan kedua tokoh
tentang konsep ini :
a. Persamaan pemikiran
Dengan menganalisa sosio historis
kedua tokoh maka akan kita temukan latar belakang yang hampir tidak jauh
berbeda, karena kedua tokoh tersebut mengalami pergolakan politik yang memojokkan
keduanya pada ranah yang tertindas, sehingga kedua tokoh harus mengalami
kehidupan di penjara dengan berbagai siksaan fisik dan mental yang mempengaruhi
setiap karya yang mereka konsepsikan, terutama Hamka yang merampungkan Tafsir
al Azhar sepanjang di penjara, maka ada banyak persamaan antara kedua tokoh
mengenai konsep ulil amri yang dapat kita terapkan pada masa sekarang ini:
1). Bahwa
ulil amri dalam konteks surat annisa ayat 83 dan 59 adalah pemimpin yang
memiliki kapabilitas yang sama dengan para sahabat, yang mentaati dan
melaksanakan amanat kepemimpinannya berdasarkan pada al Quran dan hadis.
2). Pemimpin
adalah seorang alim ulama yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan amanat
rakyat dengan baik, jika pemimpin tidak sesuai dengan perintah Allah dan Rasul,
dan tidak melaksanakan amanahnya dengan baik maka tidak layak untuk ditaati dan
dipatuhi.
b. Perbedaan pemikiran
Berdasarkan sosio
historis kedua tokoh, meskipun keadaan geografis dan Negara yang berbeda dari kedua tokoh
tersebut, akan tetapi pemahaman keduanya pada al Qur’an dan Hadis tidak begitu
berbeda. Untuk itu, keduanya sama-sama mendefinisikan bahwa pemimpin yang layak
untuk dipatuhi, ditaati adalah pemimpin yang alim, yang taat beragama, yang
melaksanakan amanah dengan baik. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim
روى الشيخان عن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم إنه ستكون بعدي أثرة و أمور تنكرونها قالوا يا رسول الله كيف تأمر من
أدرك منا ذلك قال تؤدون الحق الذي عليكم و تسألون الله الذي لكم
Bukhari muslim meriwayatkan dari Abdullah bin
Mas’ud ia berkata : Rasulullah Saw bersabda : sungguh kelak sepeninggalku akan
ada perilaku monopoli (ulil amri) dan bentuk-bentuk pelanggaran yang kalian
pasti tidak menyetujuinya, para sahabat bertanya “ Wahai Rasulullah lantas apa
yang engkau perintahkan kepada seseorang dari kami yang menemui masa seperti
itu?” beliu menjawab : “Hendaklah kalian menunaikan apa yang menjadi kewajiban
kalian kepadanya dan kalian memohon kepada allah apa yang menjadi hak kalian.
Bahwa suatu saat akan datang pada
kita pemimpin-pemimpin yang rusak, jika pemimpin itu berbuat kejahatan maka
patuhi saja perintahnya yang tidak bertentangan dengan syari’at, sedangkan jika
itu bertentangan maka tidak perlu ditaati, dan dia bertanggungjawab dengan
kejahatan yang ia perbuat sendiri dan kita sebagai rakyat yang dipimpin tidak
akan menanggung kesalahannya.
Akan tetapi ada perbedaan yang cukup
signifikan dan menonjol dalam diri kedua tokoh yang mempengaruhi pemikirannya,
bahwa Ibnu Taimiyah berpendapat seandainya tidak ada lagi pemimpin yang muslim
yang taat dalam negara itu maka tidak mengapa jika orang non muslim menjadi
pemimpin negara, tapi harus memiliki kemampuan memimpin dengan baik, baginya
lebih baik hidup 1000 tahun dipimpin oleh pemimpin yang dzalim daripada tidak
ada pemimpin sama sekali. Sedangkan Hamka tetap mendahulukan pemimpin muslim
yang harus memimpin negara.
Sumber Rujukan :
Hamka, Tafsir al Azhar, Jakarta: PT Pustaka Panjimas, Juz V, Pebruari 1987.
Hamka, Hubungan antara agama dan negara menurut
islam, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1970.
Jeje, Abdul Rajak, Politik kenegaraan :
pemikiran-pemikiran al Ghozali dan Ibnu Taimiyah, Surabaya : PT.Bina Ilmu,
1996.
Nawawi, Imam, Ringkasan Riyadush Shalihin,
Bandung : Irsyad Baitu Salam, November 2006.
Taimiyah, Ibnu, Majmuatul Fatawa, Jakarta :PustakaDarulHaq, 2005.
Taimiyah, Ibnu, Siyasah Syar’iyah : “Etika politik islam”, Surabaya: Risalah gusti, 2005.
Taimiyah, Ibnu, Al
furqan baina aulia ar rahman, Risalah ila sulthan, juz I hal 264.
Taimiyah, Ibnu, Tugas Negara menurut islam, Yogyakarta, PustakaPelajar, cetakan I Januari 2004.