Tema seminar : Dakwah Kultural Muhammadiyah
di tengah hedonisme mahasiswa disampaikan oleh Bpk Agus Kusnadi selaku
majelis tabligh PP Muhammadiyah.
Hedonisme dianggap menjadi sebuah tantangan
dakwah di muhammadiyah, karena akar sejarah, dampak dan prilaku persoanal yang
memiliki paham seperti ini hanya akan merusak moral umat islam.
Seorang da’i yang berusaha melakukan dakwah di
masyarakat harus memiliki trifungsi dalam dirinya, pertama, fungsi
kekhalifahan, kemudian fungsi kerisalahan dan terakhir fungsi
kerahmatan. Ketiga fungsi ini harus menjadi satu kesatuan, harus
berintegrasi dan menjadi karakter seorang da’i. Tiap fungsi tidak bisa
mengabaikan fungsi yang lainnya.
Seorang da’i juga harus memiliki pola pikir
yang holistik, tidak boleh berpikir setengah-setengah dan men-generalisir suatu
permasalahan hanya dengan melihat dari satu sudut pandang saja. Yang terpenting
lagi seorang da’i harus memiliki tauhid yang kholis, karena tauhid merupakan
pondasi awal dan utama untuk membangun iman dan amal soleh.
Kenapa dakwah tidak boleh berhenti?
Pertanyaan ini menarik, kebanyakan orang hanya
memahami secara normatif, bahwa dakwah tidak boleh berhenti karena sudah
diwajibkan oleh Allah, sudah ada perintahnya dalam al Qur’an, kalau tidak ada
seruan kebaikan lagi maka di dunia ini mungkin hanya akan ada sedikit orang
yang sadar dengan kebaikan.
Jawabannya sederhana, karena Allah tidak
pernah berhenti berbuat baik. Jika Allah saja tidak pernah berhenti, lantas
atas dasar apa kita harus berhenti dari berdakwah?. Bahkan pada saat kita
berhenti sekalipun, Allah tidak akan berhenti.
Kemudian materi seminar ini dilanjutkan dengan
tema Revitalisasi dakwah kultural ormas untuk konsolidasi kebangsaan dan
peran MKCH di tengah dinamika pemikiran, yang disampaikan oleh Ir Arif
munawarti (anggota DPRD) dan Drs Ayat dimyati (Pimpinan PWM Jabar) .
Rumusan konsep dakwah di Muhammadiyah sudah
pernah dibuat pada muktamar 1990 masanya Amien Rais. Pada dasarnya, dakwah di
parlemen itu merupakan sebuah produk, sudah pada tataran implementasi, bukan
lagi berbicara teori. Maka orang-orang yang masuk parlemen bisa dinilai
aplikasi dari dakwah dan keimanan mereka setelah mereka merasakan langsung
dinamika dan pergolakan ujian keimanan. Ketika mereka berhasil bertahan, mampu
amanah, maka artinya dakwah/kebaikan yang mereka terima selama ini berhasil
mereka aplikasikan di tataran praksis.
Yang menjadi masalah saat ini, kebanyakan dari
da’i tidak memahami situasi riil di masyarakat, sehingga tidak sedikit dari da’i
hanya berspekulasi dari sebagian saja realitas yang ia lihat, ia tidak
merasakan langsung kesulitan yang dialami masyarakat bawah. Maka pada saat da’i
berbicara panjang lebar tentang sesuatu hal, sementara ia tidak pernah memahami
secara langsung, hasilnya ditolak mentah-mentah oleh masyarakat.
Metode dakwah kultural ini memang tidak mudah, seorang
da’i harus memiliki kemampuan komitmen dan keteguhan hati yang kuat dalam
memegang ideologi, pertama dia harus masuk dalam komunitas dengan mengikuti
kebiasaan masyarakat yang ada saat itu, akan tetapi keikutsetaan da’i tidak
boleh membuatnya larut dan akhirnya justru ikut dengan kebiasaan masyarakat. Dan selanjutnya, da’i harus mampu merubah
kebiasaan buruk yang ada di masyarakat saat itu dengan perlahan tapi pasti.
(Step by step). Metode ini hampir sama dengan metode yang Nabi gunakan ketika
pertamakali al Qur’an turun kepadanya, yaitu metode Tadrijiyah. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan saat
ini, ketika kita menggunakan metode dakwah cultural untuk menyampaikan dakwah
di masyarakat lapisan pedesaan, tidak semua orang memiliki kemampuan bisa
menjaga komitmen diri dengan kuat, lalu bagaimana jika dengan cara itu justru
membuatnya larut dan tidak bisa kembali pada kebenaran yang pertamakali ia
bawa, maka ini menjadi sebuah dilema besar bagi kita, kita menyampaikan dakwah
dengan tegas menyerukan kebenaran justru cepat ditolak oleh masyarakat, tapi
dengan strategi dakwah kultural pun tidak mudah bisa mempengaruhi masyarakat
apalagi kita dituntut untuk terlebih dahulu mengikuti kebiasaan mereka.
Munculnya konsep dakwah
kultural, sebagaimana diputuskan oleh Sidang Tanwir Muhammadiyah, Januari 2002, didorong oleh
keinginan Muhammadiyah untuk mengembangkan sayap dakwahnya menyentuh ke seluruh
lapisan umat Islam yang beragam sosial kulturalnya. Sehingga dengan dakwah
kultural, Muhammadiyah ingin memahami pluralitas budaya, sehingga dakwah yang
ditujukan kepada mereka dilakukan dengan dialog kultural, sehingga akan
mengurangi benturan-benturan yang selama ini dipandang kurang menguntungkan,
tetapi tetap berpegang pada prinsip pemurnian (salafiyyah) dan
pembaharuan (tajdidiyah).
Dengan demikian, dakwah
kultural sebenarnya akan mengokohkan prinsip-prinsip dakwah dan amar makruf
nahi munkar Muhammadiyah yang bertumpu pada tiga prinsip Tabsyir, Islah dan
Tajdid (TIT).
Prinsip tabsyir, adalah upaya Muhamamadiyah untuk mendekati dan
merangkul setiap potensi umat Islam (umat ijabah) dan umat non-muslim (umat
dakwah) untuk bergabung dalam naungan petunjuk Islam, dengan cara-cara yang
bijaksana, pengajaran dan bimbingan yang baik, dan mujadalah (diskusi dan
debat) yang lebih baik. Kepada umat Ijabah (umat yang telah memeluk Islam),
penekanan tabsyir kepada peningkatan dan penguatan visi dan semangat dalam
berislam. Sementara kepada umat dakwah
(umat non-muslim) adalah memberikan pemahaman yang benar dan menarik tentang
Islam, serta merangkul mereka untuk bersama-sama membangun masyarakat dan
bangsa yang damai, aman, tertib dan sejahtera. Dengan cara ini dakwah kepada
non-muslim tidak diarahkan untuk memaksa mereka memeluk Islam. Tetapi membawa
mereka kepada pemahaman yang benar tentang Islam, sehingga mereka tertarik
kepada Islam, bahwa dengan sukarela memasuki Islam.
Prinsip Islah, yaitu upaya membenahi dan memperbaiki cara berislam
yang dimiliki oleh umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, dengan cara
memurnikannya sesuai petunjuk syar’I yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah.
Ini dapat diartikan bahwa setelah melakukan dakwah dengan tabsyir, maka umat
yang bergabung diajak bersama-sama memperbaiki pemahaman dan pengamalannya
terhadap Islam.
Umat yang telah bergabung
dalam dakwah tabsyiriyah memiliki background yang beragam baik sosial ekonomi,
sosial budaya, maupun latar belakang pendidikannya. Keragaman tersebut akan
membawa pengaruh kepada cara pandang, pemahaman dan pengamalan Islam, yang
dalam banyak hal perlu diperbaiki dan dibenahi sesuai dengan pemahaman
keagamaan Muhammadiyah, yang bersumber dari Al-Quran dan al-Sunnah.
Prinsip tajdid, sesuai dengan maknanya, prinsip ini mengupayakan
pembaharuan, penguatan dan pemurnian atas pemahaman, dan pengamalan Islam yang
dimiliki oleh umat ijabah, termasuk pelaku dakwah itu sendiri.
Materi I Pelatihan Da’i Nasional.
Metodologi Manhaj Tarjih Muhammadiyah disampaikan
oleh Prof.Dr.Syamsul Anwar.MA (seharusnya) namun karena berhalangan hadir
digantikan oleh Bpk Dadang Komarudin (Wakil Ketua PWM Jawab barat).
Manhaj tarjih secara harfiah berarti
cara melakukan tarjih. Sebagai sebuah istilah, manhaj tarjih lebih dari sekedar
“cara mentarjih.” Istilah tarjih sendiri sebenarnya berasal dari disiplin ilmu
usul fikih. Dalam ilmu usul fikih tarjih berarti melakukan penilaian terhadap
suatu dalil syar’i yang secara zahir tampak bertentangan untuk menentukan mana
yang lebih kuat. Atau juga diartikan sebagai evaluasi terhadap berbagai
pendapat fikih yang sudah ada mengenai suatu masalah untuk menentukan mana yang
lebih dekat kepada semangat al-Quran dan as-Sunnah dan lebih maslahat untuk
diterima. Sebagai demikian, tarjih merupakan salah satu tingkatan ijtihad dan
merupakan ijtihad paling rendah. Dalam usul fikih, tingkat-tingkat ijtihad meliputi
ijtihad mutlak (dalam usul dan cabang), ijtihad dalam cabang, ijtihad dalam
mazhab, dan ijtihad tarjih.
Manhaj
(metodologi) tarjih juga mengandung pengertin sumber-sumber pengambilan
norma agama. Sumber agama adalah al-Quran dan as-Sunnah yang ditegaskan dalam
sejumlah dokumen resmi Muhammadiyah,
1.
Pasal 4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip di atas yang
menyatakan bahwa gerakan Muhammadiyah bersumber kepada dua sumber tersebut.
2.
Putusan Tarjih Jakarta 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran Islam
adalah al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbūlah (السنة
المقبولة).” Putusan Tarijih
ini merupakan penegasan kembali apa yang sudah ditegaskan dalam putusan-putusan
tedahulu (HPT, h. 278),
الأَصْلُ فِي التَّشْرِيْعِ
اْلإِسْلاَمِيِّ عَلَى اْلإِطْلاَقِ هُوَ اْلقُرْآنُ اْلكَرِيْمُ وَالْحَدِيْثُ
الشَّرِيْفُ .
Artinya:
Dasar mutlak dalam penetapan hukum Islam adalah al-Qur’an
dan al-Hadits asy-Syarif.
Kemudian beliau menjelaskan bagaimana
implementasi tarjih dan tajdid dalam gerakan muhammadiyah, muhammadiyah
memiliki prinsip cerdas mengkritisi dan cermat memberikan solusi. Untuk itu
hasil dari keputusan tarjih tidak serta merta menjadi doktrin yang mutlak, tapi
bersifat terbuka dan menerima masukan, kalau ada perubahan maka keputusan pun
bisa jadi berubah.
Kisah Sukses Kaderisasi Muhammadiyah Tempo dulu
disebabkan oleh: Keikhlasan dan Kebersamaan misalnya dengan Mendirikan Sekolah
(AUM lainnya), tanpa ada harapan menjadi kepala sekolah, guru, karyawan ataupun
rekanan bisnis. Kalaupun mereka
menjadi pengelolanya, rela digaji lebih rendah daripada tenaga dari luar.
Kalaupun jadi rekanan bisnis, rela dicicil/ditangguhkan pembayarannya. Segenap Warga/Pimpinan
berkomitmen untuk memajukan sekolah tersebut; hanya menyekolahkan anak-anaknya
ke sekolah Muhammadiyah sekalipun anaknya masih berkesempatan masuk sekolah
negeri. Hal-hal ini yang pada masa sekarang sudah tidak berlaku lagi di
muhammadiyah, sudah banyak warga muhammadiyah yang mulai prgamatis dan masuk
muhammadiyah hanya karena ada kepentingan.
Materi ke II Dakwah melalui tulisan
disampaikan oleh Mas Dadan Ramadhan (Editor sekaligus pengurus PWM Jabar).
Jurnalistik dakwah adalah suatu kegiatan
menyampaikan pesan berupa dakwah kepada khalayak ramai melalui saluran media. Media
ada berbagai macam, Cetak (Surat Kabar, Majalah, Tabloid) Elektronik (Facebook, Twitter, Instagram, Blog, Web).
Seorang jurnalis muslim harus memiliki sifat
kenabian dalam menyampaikan pesan dakwahnya, ada 4 sifat kenabian :
Ø
Shiddiq mengacu kepada pengertian jujur dalam berkomunikasi, baik
lisan maupun tulisan. Dalam konteks jurnalistik, shiddiq adalah
menginformasikan sesuatu yang benar dan membela serta menegakkan kebenaran itu.
Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam (Al-Quran dan
As-Sunnah).
Ø
Amanah artinya tepercaya, dapat dipercaya, karenanya tidak boleh
berdusta, merekayasa, memanipulasi atau mendistorsi fakta
Ø
Tabligh artinya menyampaikan, yakni
menginformasikan kebenaran, bukan malah memutarbalikkan kebenaran.
Ø
Fathonah artinya cerdas dan
berwawasan luas. Jurnalis muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca
situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat dengan meneladani kecerdasan
Nabi Muhammad SAW (prophetic intelligence).
Seorang penyampai dakwah di media juga harus Menyampaikan informasi dengan
benar, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta (QS. Al-Hajj: 30); Bijaksana,
penuh nasihat yang baik, serta argumentasi yang jelas dan baik pula. Karakter, pola
pikir, kadar pemahaman objek pembaca harus dipahami sehingga berita yang
disusun akan mudah dibaca dan dicerna (QS. An-Nahl: 125); Meneliti
fakta/cek-ricek. Untuk mencapai ketepatan data dan fakta sebagai bahan baku
berita yang akan ditulis, jurnalis muslim hendaknya mengecek dan meneliti
kebenaran fakta di lapangan dengan informasi awal yang ia peroleh agar tidak
terjadi kidzb, ghibah, fitnah dan namimah (QS. Al-Hujarat:
6); Tidak mengolok-olok, mencaci-maki,
atau melakukan tindakan penghinaan sehingga menumbuhkan kebencian (QS.
Al-Hujarat: 11); Menghindari prasangka/su’udzon. Dalam pengertian hukum,
jurnalis hendaknya memegang teguh “asas praduga tak bersalah”.
Realitasnya banyak dari jurnalis media saat ini mengabaikan prinsip-prinsip
dasar dalam menyampaikan kebenaran sehingga akibatnya pemberitaan di media
menjadi berlebihan, tidak sesuai fakta, terjadi fitnah, dan kebenaran tidak
tersampaikan dengan baik. Maka kader IMM harus rajin-rajin menulis dan
mengirimkannya di media..
Materi III Marketing dakwah oleh M.Khoirul Muttaqien (Direktur LAZISMU
Pusat)
Gerakan dakwah yang marak saat itu terbagi menjadi 2, gerakan dakwah kiri
dan kanan, sedangkan posisi IMM berada di tengah-tengah tapi justru menjadi
abu-abu dan tidak jelas karena tidak mempunyai identitas yang jelas.
Mengapa IMM tidak seterkenal gerakan lain?
Karena IMM tidak punya daya jual yang tinggi di hadapan khalayak. IMM tidak
memiliki identitas yang jelas yang bisa membedakan dari gerakan lain, misalnya
KAMMI atau HTI, hanya dengan melihat mereka satu kali saja kita sudah bisa
mengenali mereka melalui penampilannya, melalui akhwatnya yang berpakaian
sangat tertutup. Sedangkan IMM? Apa yang bisa membuat kita bisa mengenali kader
IMM di tengah ribuan manusia di negeri ini. Padahal kebanyakan orang akan
tertarik pada sesuatu berawal dari penampilan, dari fisik yang bisa mereka
indera, soal visi misi, ideologi, AD ART atau apapun itu hanya akan membuat
mereka tertarik dan tahu setelah mereka masuk di dalamnya.
Oleh karena itu mulai saat ini IMM perlu membuat suatu kesepakatan bersama
untuk menentukan identitas simbolis apa yang bisa membuat kita berbeda, membuat
kita menarik massa. Misal cara berdakwah IMM yang harus seperti apa sehingga
kita tahu “oh dia da’i dari IMM”, atau cara berdiskusi yang seperti apa
sehingga orang akan tahu “Oh itu kader IMM toh pantas sekali cerdas dan
berwawasan luas”. Hal-hal semacam ini yang belum kita miliki.
Maka langkah pertama yang harus kita lakukan adalah membuat perencanaan,
dengan punya daya jual tinggi dan menarik massa maka dakwah yang akan kita
sampaikan pun akan mereka dengar dan ikuti.
Materi IV IMM Membumi dari Masjid oleh Bpk Asep Purnama Bachtiar (Ketua MPK
PP Muhammadiyah)
Sejatinya 3 gerakan IMM (keagamaan, kemahasiswaan dan kemasyarakatan)
adalah perincian dari 3 gerakan dalam Muhammadiyah (Islam, dakwah, tajdid) yang
mengalami perubahan situasi dan kondisi objek dakwah.
IMM saat ini, katanya sudah jauh dari masjid, kalau dulu ada yang
mengatakan untuk mencari anak IMM cukup datangi masjid dan perpustakaan, karena
di 2 tempat itulah mereka biasa berkumpul. Realitasnya saat ini gimana?
Masjid-masjid kampus justru dikuasai oleh gerakan –gerakan lain, jarang
sekali ditemukan kader IMM berada disana, di perpustakaan, saat ini orang ke
perpustakaan hanya ada 2 kepentingan, mengerjakan tugas dan skripsi. Selain itu,
jarang sekali mahasiswa yang datang ke perpus berlama-lama untuk membaca buku
dan mengkajinya.
IMM perlu memasifkan kembali gerakan dakwah di masjid, jadikan masjid
sebagai pusat dakwah dan informasi. Di masjid-masjid bisa diadakan berbagai
macam kegiatan baik yang bersifat kegamaan misalnya pengajian, belajar membaca al
Qur’an, sholat dhuha bersama, kajian rutin, atau yang bersifat
kemahasiswaan/intelektualitas misalnya diskusi, baca buku, bedah buku, belajar
bareng, dan yang bersifat sosial, misalnya ada majelis ta’lim untuk ibu-ibu, baksos,
TPA, atau apapun itu yang masyarakat bisa rasakan hasilnya.
Materi V Paradigma Pemikiran dan Tabligh Ikatan oleh Mas Abdul Halim Sani (Instruktur
DPP, Mantan Bidang Dakwah DPP IMM)
Paradigma artinya world view, sudut pandang. Menurut George Ritzer,
paradigma adalah gambaran fundamental mengenai subyek ilmu pengetahuan, yakni
memberikan batasan apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan,
bagaimana harus dijawab, dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami
jawaban yang diperoleh.
Dasar agama islam adalah al Qur’an dan Sunnah. Selanjutnya akal pun dalam
wilayah tertentu dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Muhammadiyah membagi 3
cakupan nash, ada aqidah, ibadah dan muammalat.
Perangkat dakwah ikatan yang paling penting adalah Muballigh, dengan harus
memiliki karakter Pengetahuan Islam luas dan mengamalkannya, Zuhud dalam
kehidupan, Bersih jasmani dan rohani, Pemaaf, penyabar dan jujur, Tegas
bertidak dan proporsional, Berlaku adil dan watak robbaniyah.
Cara berdakwah ikatan yaitu dengan “Menjadikan
Islam sebagai rahmat” dengan cara; Mudahkanlah jangan dipersulit, Gembirakanlah
jangan membuat sedih. Masifkan kembali gerakan jamaah dakwah jamaah di tiap
masjid kampus.
Bandung, 24-27 Oktober 2013
Wallahu A’lam bi Showab.