Seminar Nasional
Songsong Konggres Keluarga Indonesia II
“MEMBANGUN KELUARGA BERKARAKTER UTAMA UNTUK MEMPERKOKOH
BANGSA”
(Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah kerjasama dengan BkkbN)
Diawali
dengan kata pengantar Ketua umum PP Aisyiyah Dra.Siti Noordjannah djohantini,
MM.M.Si. Kemudian dilanjutkan pada Sesi I dengan pemateri Dr.Haedar
Nashir.M,Si. Pada awal pembahasannya beliu menyinggung masalah korupsi, korupsi
adalah masalah paling besar bangsa kita, korupsi bukan penyakit sistem tapi
penyakit mental. Seseorang melakukan korupsi bukan karena ia kekurangan tapi
justru karena ia merasa berlebihan, faktanya, para koruptor kelas mega itu
adalah orang-orang kaya yang berkecukupan dengan gaji paling kecil 60-70 juta, dan
itu belum termasuk tambahan uang pertahun, dana penyerapan aspirasi, dana
insensif, uang kunjungan dan tour yang bervariasi, maka itu bukan sebuah
kekurangan tapi justru kelebihan, maka itulah yang disebut dalam islam dengan
tamak. Dalam ilmu ekonomi, Manusia makhluk yang tidak pernah merasa puas,
selalu ingin lebih ketika ia sudah merasa cukup. Dan akar rumput dari sifat
tamak adalah terdapat pada mentalitas. Menurut para ahli, penyakit orang
indonesia adalah suka meremehkan pekerjaan, suka menerabas, dalam hal ini pak
haedar mengambil contoh pembelian tiket pada calo karena tidak mau
mengantri, tidak percaya pada diri
sendiri, saking tidak percayanya malah bangga dengan oranglain, bangga dengan
buatan dan produk negara lain, dan tidak percaya diri dengan hasil dari negara
sendiri, tidak berdisplin murni, kebanyakan orang indonesia akan disiplin jika
ada atasan, kalau atasan tidak ada, maka ia tidak akan disiplin, maka inilah
salah satu penyakitnya, mokhtar lubis, lebih keras lagi mengatakan bahwa orang
indonesia itu munafik, dalam hati berkata iya padahal ketika bicara bilang
tidak, orang indonesia juga percaya pada takhayul, bersifat feodal, cenderung
artistik, sampai-sampai manusia seperti lady gaga pun diterima dan dibela
mati-matian, dan terakhir, orang indonesia suka bercerita masa lalunya.
Kelemahan
mentalitas tersebut sangat bergantung dari jumlah asupan rohani pada jiwa, dan
seberapa kuat pendidikan karakter yang ditanamkan dalam jiwa, jika asupan
rohani seseorang semakin banyak dan sering maka kesadaran dan mentalitasnya
tidak mudah rapuh, sebaliknya akan rapuh jika kurang asupan rohani. Dan
institusi yang memiliki otoritas paling tinggi dan penuh dalam pembentukan
mentalitas yang kuat dan pendidikan karakter pada tiap orang adalah keluarga.
Semua bermula dari keluarga.
Karakter
secara kebahasaan adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan oranglain, tabiat atau watak. Dalam terminologi
agama, karakter dapat disepadankan dengan akhlak. Membentuk karakter utama
tidak akan terjadi secara alami, tetapi memerlukan pendidikan secara holistik
dan menyeluruh.
Menurut
Muhammadiyah, ciri manusia yang berkarakter kuat dan melekat dengan kepribadian
bangsa yaitu manusia yang memiliki sifat relijius, moderat, cerdas dan
mandiri.
Dalam
keluarga, pendidikan karakter dimulai sehingga anak bisa mengenal nilai-nilai
benar yang membedakannya dari yang salah, mengenal nilai baik dan membedakannya
dengan yang buruk. Lanjutnya, pak haedar mengungkapkan ada 3 proses pendidikan
pada anak, proses pembiasaan, internalisasi dan institualisasi (pemberian
reward dan punishment).
Selain
itu, posisi keluarga tidak tunggal. Ia tidak berdiri sendiri dalam hal
pembentukan karakter pada anak, tapi banyak pihak dan lembaga yang juga ikut
andil untuk mempengaruhi prilaku jiwa anak, maka tugas keluarga dan masyarakat
sangat penting, keluarga dan masyarakat harus mengadakan sistem pengendalian
sosial (social control).
Anak
tidak hanya dibiarkan begitu saja, ketika ia sudah terlepas dari beban orangtua
dan bimbingan orangtua tidak seintensif saat kecil, maka cara yang baik adalah
dengan melakukan kontrol.
Dan
terakhir, kalimat penutup mengakhiri materi, secara tersirat beliu mengatakan
bahwa indonesia bangsa yang belum aqil baligh.
0 komentar:
Posting Komentar