I. Pendahuluan
Hermeneutika
adalah ilmu penafsiran yang berasal dari warisan mitologi Yunani. Secara
lafdziah, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, Hermeneutikos, yang berarti
penafsiran. Ia kemudian diadopsi oleh orang-orang Kristen untuk mengatasi
persoalan yang dihadapi teks Bible. Dalam tradisi intelektual Barat ilmu ini
berkembang menjadi aliran filsafat. Sebagai sebuah ilmu ia berkembang menurut
latar belakang budaya, pandangan hidup, politik, ekonomi dan lain-lain. Oleh
sebab itu dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang lahir dengan
latar belakang pandangan hidup Yunani, Kristen dan Barat.
Pada
saat yang sama, kaum Muslim sejak awal kelahirannya sudah sibuk dan
memperhatikan bagaimana penafsiran dan aturan-aturan, metodologi dan hal-hal
yang berhubungan dengan penafsiran diterapkan terhadap kitab suci. Hal ini bisa
dilihat dalam berbagai literature yang masih ada hingga sekarang. Di samping
berbagai disiplin keilmuan yang berkembang dalam sejarah Islam dan kaum Muslim,
disiplin Studi Al-Qur’an (Ulûm al-Qur’ân) merupakan salah
satu disiplin yang marak dipelajari.
Setelah
memasuki perkembangan terkini, Studi Al-Qur’an mengalami persentuhan dengan
beberapa pemikiran yang berkembang di Barat. Beberapa pemikir yang concern
terhadap studi Al-Qur’an mulai memasukkan beberapa metodologi Barat, termasuk
heremeneutika dalam pemaknaannya yang spesifik. Upaya ini dilakukan dengan
tujuan agar Al-Qur’an mampu dan bisa menjawab isu-isu kontemporer yang sedang
dihadapi oleh umat Islam.
Nama
Muhammed Arkoun terpilih dalam tulisan ini disebabkan karena pemikiran Arkoun
menawarkan suatu kecenderungan baru dalam pemikiran Islam. Menempatkan
pemikirannya, khususnya dalam bidang membaca Al-Qur’an, dalam jajaran
pemikiran kontemporer menjadi tepat karena persinggungannya dengan
pemikiran-pemikiran kontemporer sangat kentara sekali. Model
Mohammed Arkoun mempunyai corak yang sangat berbeda dengan corak pemikiran
telaah pemikiran Islam yang selama ini di kenal secara umum, yakni telaah
pemikiran Islam model para orientalis. Untuk memperoleh kejelasan peta
pemikiran keagamaan yang ada, maka di perlukan kajian ulang dan radikalisasi
terhadap naskah-naskah keagamaan era klasik skolastik yang biasanya di warisi
begitu saja tanpa adanya sikap kritis sedikitpun dari kaum muslimin yang hidup
pada era sekarang ini. Dan corak pada kajian pemikiran keislaman model ini
pulalah yang membedakan Arkoun dari corak dan pola kajian keislaman para
orientalis.
II. Biografi dan karya
Muhamad Arkoun lahir di Wilayah Berber di Taurit-Mimoun,
Kabila, AlJazair, pada tanggal 12
Januari tahun 1928 M, Arkoun menyelesaikan pendidikan dasar di desa asalnya,
pendidikan menengah dan pendidikan tingginya di tempuh di kota pelabuhan Oran,
sebuah kota utama di Aljazair bagian barat. Dia kemudian pindah ke Universitas Sorbonne dan meraih gelar Phylosopy
Doctoral pada tahun 1969 M. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege
bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di
Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di
Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun
diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969.
Arkoun sekarang tinggal di Paris dan menjadi seorang Profesor Emeritus dalam
Islamic Studies di Universitas Sorbonne, Paris-Perancis. Pada November 1992 di Yogyakarta.
Ia sempat memberikan ceramah di UIN Yogyakarta dan Jakarta di depan forum LKiS
dan beberapa lembaga lain.
Di
antara karya-karyanya adalah Rethinking Islam Today, Mapping Islamic
Studies, Genealogy, and Change, The Untought in Contemporary Islamic Thought,
al-Turath: Muhtawahu wa Huwiyyatuhu –sijjabiyatuhu wa salbiyatuhu, Min
al-Ijtihad ilal al-Naqd al-‘Aql al-Islami, al-Fikr al-Ushuli wa Istihalat
al-Ta’shil: Nahwa Tarikhin Akhbar li al-Fikr al-Islami, al-Quran min al-Tafsir
bil Mauruth, Lectures de Coran, Min Faysal al-Tafriqah ila Fasl al-Maqail: Aina
huwa al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir, The Concept of Authorithy in Islamic
Thought,dan Religion and Society.
III.
Pemikiran Hermeneutika Arkoun
Arkoun
dengan pemikirannya berusaha memperkenalkan pendekatan pemikiran hermeneutika
sebagai methodologi kritis yang akan memunculkan informasi, makna dan pemahaman
baru ketika suatu teks dan aturan di dekati dengan cara pandang baru, terutama
dengan menggunakan metode hermeneutika histories-kontekstual. Karena sikap dari
setiap pengarang, teks dan pembaca tidaklah lepas dari konteks sosial, politis,
psikologis, teologis dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu. Maka
dalam memahami sejarah yang di perlukan bukan hanya transfer makna, melainkan
juga transformasi makna.
Pemahaman tradisi Islam selalu terbuka dan tidak pernah
selesai, dalam istilah lain bahwa pintu ijtihad belumlah tertutup karena
pemaknaan dan pemahamannya selalu berkembang seiring dengan perkembangan ummat
Islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari zaman ke zaman. Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama berlaku
sepanjang zaman. Gagasan universal Islam tidak semua tertampung oleh bahasa
Arab yang bersifat lokal kultural, serta terungkap melalui tradisi kenabian
saat itu. Itulah sebabnya dari zaman ke zaman selalu muncul ulama’ tafsir yang
berusaha mengaktualisasikan pesan Al Qur’an-Al Hadits dan tataran tradisi keislaman yang tidak mengenal batas akhir
waktu.
Ketika
mendekati (membaca dan memahami) Al Qur’an dan tradisi keislaman muncullah tiga kesimpulan :
1. Sebagian kebenaran pernyataan Al Qur’an baru
akan kelihatan di masa depan
2. Kebenaran yang ada pada Al-Qur’an
berlapis-lapis atau berdimensi majemuk, sehingga potensi pluralitas pemahaman
terhadap kandungan Al-Qur’an adalah hal yang sangat wajar dan lumrah atau
bahkan di kehendaki oleh Qur’an sendiri.
3. Terdapat doktrin dan tradisi keislaman histories-aksidental
sehingga tidak ada salahnya jika doktrin dan tradisi keislaman itu di pahami
ulang dan di ciptakan tradisi baru.
Kesimpulan yang terakhir ini bisa menyangkut ayat-ayat
soal pembagian harta waris, posisi wanita dalam masyarakat, dan hubungan ummat
Islam dengan agama lain.
Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya
kepada Al-Quran (termasuk kitab suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka
raksasa:
1) Mengangkat makna dari apa yang dapat disebut
dengan sacra
doctrina dalam Islam dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua
teks yang sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha menjelaskannya
(tafsir dan semua literatur yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung
maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk
menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas
kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan,
dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku;
2) Menetapkan suatu kriteriologi yang didalamnya akan
dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik
untuk menolak maupun untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.
Dalam
mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun
adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab,
Arkoun tidak ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali
menghadirkan-sebisa mungkin-aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup
tiga saat (moment):
a.
Suatu
saat linguistis
yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan
yang tampak.
b.
Suatu
saat antropologi,
mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis.
c.
Suatu saat historis yang di dalamnya akan ditetapkan jangkauan dan
batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir
imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.
Muhammad Arkoun adalah penerus dari usaha
Arthur Jeffery dalam mendekontruksi al-Quran. Arkoun dapat melakukan serangan terhadap otentisitas al Qur’an menggunakan 2
konsep yaitu Dekontruksi dan Historisitas.
Konsep Dekonstruksi
Arkoun mengklaim bahwa strategi dekonstruksi
yang ia tawarkan sebagai sebuah strategi terbaik karena strategi ini akan membongkar
dan menggerogoti sumber-sumber Muslim tradisional yang mensucikan “kitab suci”.
Strategi ini berawal dari
pendapatnya bahwa sejarah al-Quran sehingga bisa menjadi kitab suci dan otentik
perlu dilacak kembali. Dan ia mengklaim bahwa strateginya itu merupakan sebuah
ijtihad.
Dengan Ijtihadnya ini Arkoun menyadari bahwa
pendekatannya ini akan menantang segala bentuk penafsiran ulama terdahulu,
namun ia justru percaya bahwa pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang
baik terhadap al-Quran. Dan menurutnya juga, pendekatan ini akan memperkaya
sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang
al-Quran, dengan alasan karena metode ini akan membongkar konsep al-Quran yang
selama ini telah ada
Berdasarkan pendekatan tersebut Arkoun membagi
sejarah al-Quran menjadi dua peringkat: peringkat pertama disebut sebagai Ummul
Kitab, dan peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible dan al-Quran. Pada peringkat pertama wahyu bersifat abadi, namun kebenarannya di
luar jangkauan manusia, karena wahyu ini tersimpan dalam Lauh al-Mahfudz. Wahyu
dan berada di sisi Tuhan, dan yang bisa diketahui manusia hanya pada peringkat
kedua yang diistilahkan oleh Arkoun sebagai “al-Quran edisi dunia” namun
menurutnya al-Quran pada peringkat ini telah mengalami modifikasi dan revisi
dan subsitusi.
Konsep
Historitas
Dan tentang konsep historitas,
Arkoun mengatakan “bahwa pendekatan historisitas, sekalipun berasal dari
Barat, namun tidak hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja. Pendekatan
tersebut dapat diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan
tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan
konteks historis.”
Arkoun juga menyatakan bahwa
Strategi terbaik untuk memahami historisitas keberadaan umat manusia ialah
dengan melepaskan pengaruh idiologis. Sehingga menurutnya, metodologi
multidisiplin dari ilmu sejarah, sosiologi, antropologis, psikologis, bahasa,
semiotik harus digunakan untuk mempelajari sejarah dan budaya Islam. Jika
strategi ini digunakan, maka umat Islam bukan saja akan memahami secara lebih
jelas masa lalu dan keadaan mereka saat ini untuk kesuksesan mereka di masa
yang akan datang, namun juga akan menyumbang kepada ilmu pengetahuan modern.
Mohammed Arkoun adalah orang yang
secara tuntas mencoba menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an.
Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul
Ricour, dengan memperkenalkan tiga level tingkatan wahyu.
Pertama Wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas dan tidak diketahui
oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab.
Kedua, Wahyu yang nampak dalam proses sejarah.
Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah
sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang
lebih dua puluh tahun.
Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai
macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang
dipakai orang-orang Islam hingga hari ini.
Mohammed Arkoun membedakan antara
periode pertama dan periode kedua. Menurut Arkoun, dalam periode diskursus
kenabian, al-Qur’an lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya
dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Sebabnya, al-Qur’an terbuka untuk semua
arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun
berpendapat status al-Qur’an dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab
yang diwahyukan menjadi sebuah buku biasa. Arkoun berpendapat bahwa Mushaf
itu tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks
meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.
Dua konsep pemikiran Mohammed Arkoun
yang liberal di atas yaitu dekonstruksi dan historitas telah membuat paradigma
baru tentang hakikat teks al-Qur’an. Pendekatan historisitas Mohammed Arkoun
justru menggiringnya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris, yaitu
kebenaran wahyu hanya ada pada level di luar jangkauan manusia. Mohammed Arkoun
mengakui kebenaran Umm al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui
.kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan AI-Qur’an, tetapi bentuk itu sudah
hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. dan bisa kita
simpulkan bahwa pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun justru
menggiringnya kepada sesuatu yang tidak historis. Sesuatu yang tidak
mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum Muslimin. Padahal, sepanjang zaman fakta
historis menunjukkan, kaum Muslimin dari sejak dulu, sekarang dan akan datang,
meyakini kebenaran al-Qur’an Mushaf `Ushmani.
Daftar Pustaka
Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju
Dialog Antar Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan I Juni 2001. Alih
bahasa, Ruslani.
Sony Heru Prasetyo, Skripsi dengan judul Kritik
nalar Islam; Telaah hermeneutik dalam pemikiran Mohammed Arkoun, Universitas
Indonesia.
Arkoun, Mohammed. Metode
Kritik Akal Islam. dalam Jurnal Ulumul Qur’an. nomor 6 vol. V.
1994.
Sunardi, St. Membaca
Qur’an bersama Arkoun dalam Meuleman, Johan
Hendrik. Tradisi,
Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun. Yogyakarta:
LkiS. 1996.
EdiPurwanto,http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/04/14/mohammadarkoun-membuka-pluralisme-beragama/.
0 komentar:
Posting Komentar