Jumat, 07 Juni 2013

Pemikiran Hermeneutika M.Arkoun




I.     Pendahuluan
Hermeneutika adalah ilmu penafsiran yang berasal dari warisan mitologi Yunani. Secara lafdziah, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, Hermeneutikos, yang berarti penafsiran. Ia kemudian diadopsi oleh orang-orang Kristen untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks Bible. Dalam tradisi intelektual Barat ilmu ini berkembang menjadi aliran filsafat. Sebagai sebuah ilmu ia berkembang menurut latar belakang budaya, pandangan hidup, politik, ekonomi dan lain-lain. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang lahir dengan latar belakang pandangan hidup Yunani, Kristen dan Barat.
Pada saat yang sama, kaum Muslim sejak awal kelahirannya sudah sibuk dan memperhatikan bagaimana penafsiran dan aturan-aturan, metodologi dan hal-hal yang berhubungan dengan penafsiran diterapkan terhadap kitab suci. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai literature yang masih ada hingga sekarang. Di samping berbagai disiplin keilmuan yang berkembang dalam sejarah Islam dan kaum Muslim, disiplin Studi Al-Qur’an (Ulûm al-Qur’ân) merupakan salah satu disiplin yang marak dipelajari.
Setelah memasuki perkembangan terkini, Studi Al-Qur’an mengalami persentuhan dengan beberapa pemikiran yang berkembang di Barat. Beberapa pemikir yang concern terhadap studi Al-Qur’an mulai memasukkan beberapa metodologi Barat, termasuk heremeneutika dalam pemaknaannya yang spesifik. Upaya ini dilakukan dengan tujuan agar Al-Qur’an mampu dan bisa menjawab isu-isu kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam.
Nama Muhammed Arkoun terpilih dalam tulisan ini disebabkan karena pemikiran Arkoun menawarkan suatu kecenderungan baru dalam pemikiran Islam. Menempatkan pemikirannya, khususnya dalam bidang membaca Al-Qur’an, dalam jajaran pemikiran kontemporer menjadi tepat karena persinggungannya dengan pemikiran-pemikiran kontemporer sangat kentara sekali. Model Mohammed Arkoun mempunyai corak yang sangat berbeda dengan corak pemikiran telaah pemikiran Islam yang selama ini di kenal secara umum, yakni telaah pemikiran Islam model para orientalis. Untuk memperoleh kejelasan peta pemikiran keagamaan yang ada, maka di perlukan kajian ulang dan radikalisasi terhadap naskah-naskah keagamaan era klasik skolastik yang biasanya di warisi begitu saja tanpa adanya sikap kritis sedikitpun dari kaum muslimin yang hidup pada era sekarang ini. Dan corak pada kajian pemikiran keislaman model ini pulalah yang membedakan Arkoun dari corak dan pola kajian keislaman para orientalis.
II.  Biografi dan karya
Muhamad Arkoun lahir di Wilayah Berber di Taurit-Mimoun, Kabila, AlJazair,  pada tanggal 12 Januari tahun 1928 M, Arkoun menyelesaikan pendidikan dasar di desa asalnya, pendidikan menengah dan pendidikan tingginya di tempuh di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat. Dia kemudian pindah ke Universitas Sorbonne dan meraih gelar Phylosopy Doctoral pada tahun 1969 M. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969. Arkoun sekarang tinggal di Paris dan menjadi seorang Profesor Emeritus dalam Islamic Studies di Universitas Sorbonne, Paris-Perancis. Pada November 1992 di Yogyakarta. Ia sempat memberikan ceramah di UIN Yogyakarta dan Jakarta di depan forum LKiS dan beberapa lembaga lain.
Di antara karya-karyanya adalah Rethinking Islam Today, Mapping Islamic Studies, Genealogy, and Change, The Untought in Contemporary Islamic Thought, al-Turath: Muhtawahu wa Huwiyyatuhu –sijjabiyatuhu wa salbiyatuhu, Min al-Ijtihad ilal al-Naqd al-‘Aql al-Islami, al-Fikr al-Ushuli wa Istihalat al-Ta’shil: Nahwa Tarikhin Akhbar li al-Fikr al-Islami, al-Quran min al-Tafsir bil Mauruth, Lectures de Coran, Min Faysal al-Tafriqah ila Fasl al-Maqail: Aina huwa al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir, The Concept of Authorithy in Islamic Thought,dan Religion and Society.

III.   Pemikiran Hermeneutika Arkoun
Arkoun dengan pemikirannya berusaha memperkenalkan pendekatan pemikiran hermeneutika sebagai methodologi kritis yang akan memunculkan informasi, makna dan pemahaman baru ketika suatu teks dan aturan di dekati dengan cara pandang baru, terutama dengan menggunakan metode hermeneutika histories-kontekstual. Karena sikap dari setiap pengarang, teks dan pembaca tidaklah lepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu. Maka dalam memahami sejarah yang di perlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna.
Pemahaman tradisi Islam selalu terbuka dan tidak pernah selesai, dalam istilah lain bahwa pintu ijtihad belumlah tertutup karena pemaknaan dan pemahamannya selalu berkembang seiring dengan perkembangan ummat Islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari zaman ke zaman. Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama berlaku sepanjang zaman. Gagasan universal Islam tidak semua tertampung oleh bahasa Arab yang bersifat lokal kultural, serta terungkap melalui tradisi kenabian saat itu. Itulah sebabnya dari zaman ke zaman selalu muncul ulama’ tafsir yang berusaha mengaktualisasikan pesan Al Qur’an-Al Hadits dan tataran tradisi keislaman yang tidak mengenal batas akhir waktu.
Ketika mendekati (membaca dan memahami) Al Qur’an dan tradisi keislaman muncullah tiga kesimpulan :
1.      Sebagian kebenaran pernyataan Al Qur’an baru akan kelihatan di masa depan
2.      Kebenaran yang ada pada Al-Qur’an berlapis-lapis atau berdimensi majemuk, sehingga potensi pluralitas pemahaman terhadap kandungan Al-Qur’an adalah hal yang sangat wajar dan lumrah atau bahkan di kehendaki oleh Qur’an sendiri.
3.      Terdapat doktrin dan tradisi keislaman histories-aksidental sehingga tidak ada salahnya jika doktrin dan tradisi keislaman itu di pahami ulang dan di ciptakan tradisi baru.
Kesimpulan yang terakhir ini bisa menyangkut ayat-ayat soal pembagian harta waris, posisi wanita dalam masyarakat, dan hubungan ummat Islam dengan agama lain.
Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa:
1)      Mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrina dalam Islam dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua literatur yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku;
2)      Menetapkan suatu kriteriologi yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.
Dalam mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan-sebisa mungkin-aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup tiga saat (moment):
a.        Suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan yang tampak.
b.        Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis.
c.        Suatu saat historis yang di dalamnya akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.
Muhammad Arkoun adalah penerus dari usaha Arthur Jeffery dalam mendekontruksi al-Quran. Arkoun dapat melakukan serangan terhadap otentisitas al Qur’an menggunakan 2 konsep yaitu Dekontruksi dan Historisitas.
Konsep Dekonstruksi
Arkoun mengklaim bahwa strategi dekonstruksi yang ia tawarkan sebagai sebuah strategi terbaik karena strategi ini akan membongkar dan menggerogoti sumber-sumber Muslim tradisional yang mensucikan “kitab suci”. Strategi ini berawal dari pendapatnya bahwa sejarah al-Quran sehingga bisa menjadi kitab suci dan otentik perlu dilacak kembali. Dan ia mengklaim bahwa strateginya itu merupakan sebuah ijtihad.
Dengan Ijtihadnya ini Arkoun menyadari bahwa pendekatannya ini akan menantang segala bentuk penafsiran ulama terdahulu, namun ia justru percaya bahwa pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang baik terhadap al-Quran. Dan menurutnya juga, pendekatan ini akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang al-Quran, dengan alasan karena metode ini akan membongkar konsep al-Quran yang selama ini telah ada
Berdasarkan pendekatan tersebut Arkoun membagi sejarah al-Quran menjadi dua peringkat: peringkat pertama disebut sebagai Ummul Kitab, dan peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible dan al-Quran. Pada peringkat pertama wahyu bersifat abadi, namun kebenarannya di luar jangkauan manusia, karena wahyu ini tersimpan dalam Lauh al-Mahfudz. Wahyu dan berada di sisi Tuhan, dan yang bisa diketahui manusia hanya pada peringkat kedua yang diistilahkan oleh Arkoun sebagai “al-Quran edisi dunia” namun menurutnya al-Quran pada peringkat ini telah mengalami modifikasi dan revisi dan subsitusi.
Konsep Historitas
Dan tentang konsep historitas, Arkoun mengatakan “bahwa  pendekatan historisitas, sekalipun berasal dari Barat, namun tidak hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja. Pendekatan tersebut dapat diterapkan pada  semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis.”
Arkoun juga menyatakan bahwa Strategi terbaik untuk memahami historisitas keberadaan umat manusia ialah dengan melepaskan pengaruh idiologis. Sehingga menurutnya, metodologi multidisiplin dari ilmu sejarah, sosiologi, antropologis, psikologis, bahasa, semiotik harus digunakan untuk mempelajari sejarah dan budaya Islam. Jika strategi ini digunakan, maka umat Islam bukan saja akan memahami secara lebih jelas masa lalu dan keadaan mereka saat ini untuk kesuksesan mereka di masa yang akan datang, namun juga akan menyumbang kepada ilmu pengetahuan modern.
Mohammed Arkoun adalah orang yang secara tuntas mencoba menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan memperkenalkan tiga level tingkatan wahyu.
Pertama Wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab.
Kedua, Wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun.
Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang dipakai orang-orang Islam hingga hari ini.
Mohammed Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode kedua. Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-Qur’an lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Sebabnya, al-Qur’an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat status al-Qur’an dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan menjadi sebuah buku biasa. Arkoun berpendapat bahwa Mushaf  itu tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.
Dua konsep pemikiran Mohammed Arkoun yang liberal di atas yaitu dekonstruksi dan historitas telah membuat paradigma baru tentang hakikat teks al-Qur’an. Pendekatan historisitas Mohammed Arkoun justru menggiring­nya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris, yaitu kebenaran wahyu hanya ada pada level di luar jangkauan manusia. Mohammed Arkoun mengakui kebenaran Umm al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui .kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan AI-Qur’an, tetapi bentuk itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. dan bisa kita simpulkan bahwa pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun justru menggiringnya kepada sesuatu yang  tidak historis. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum Muslimin. Padahal, sepanjang zaman fakta historis menunjukkan, kaum Muslimin dari sejak dulu, sekarang dan akan datang, meyakini kebenaran al-Qur’an Mushaf `Ushmani.

Daftar Pustaka
Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan I Juni 2001. Alih bahasa, Ruslani.
Sony Heru Prasetyo, Skripsi dengan judul Kritik nalar Islam; Telaah hermeneutik dalam pemikiran Mohammed Arkoun, Universitas Indonesia.
Arkoun, Mohammed. Metode Kritik Akal Islam. dalam Jurnal Ulumul Qur’an. nomor 6 vol. V. 1994.
Sunardi, St. Membaca Qur’an bersama Arkoun dalam Meuleman, Johan Hendrik. Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun. Yogyakarta: LkiS. 1996.
EdiPurwanto,http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/04/14/mohammadarkoun-membuka-pluralisme-beragama/.




0 komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda dengan postingan saya?

 
;