Jumat, 24 Januari 2014

Konsep Metodologis Tafsir Fazlurrahman dan Bantahannya Versi Penulis


Fazlurrahman, seorang pemikir dan tokoh intelektual islam terkemuka yang lahir di tahun 1919 M (yang seterusnya dibaca : Rahman) menganggap perlu adanya metode tafsir model baru untuk menafsirkan al Qur’an, menurutnya metode tafsir yang sudah ada dan sudah diadopsi oleh para ulama tafsir zaman dulu tidak sampai menyentuh kontekstualitas era kontemporer saat ini, karena perubahan zaman yang terus berkembang dan permasalahan baru yang semakin banyak bermunculan.
Menurutnya, jika kita hanya terpaku dengan model penafsiran yang tradisional maka nilai-nilai universalitas al Qur’an tidak bisa ditemukan. Maka untuk melakukan penafsiran ulang al Qur’an yang sesuai tuntutan kontemporer diperlukan seperangkat metodologis yang sistematis dan komprehensif.
v  Metode Tafsir yang ditawarkan Fazlurrahman
Menurut Rahman, prosedur yang benar untuk memahami al Qur’an setidaknya mufassir harus menempuh dua pendekatan : Pertama, Mempelajari al Qur’an dalam ordo historis untuk mengapresiasi tema-tema dan gagasan-gagasannya sehingga diketahui makna yang tepat dari firman Allah. Kedua, Mengkaji al Qur’an dalam konteks latar belakang sosio historisnya. Dengan pendekatan ini akan diketahui laporan tentang bagaimana orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah al Qur’an. Tanpa memahami latar belakang mikro dan makro secara memadai, menurut Rahman besar kemungkinan seseorang akan salah tangkap terhadap maksud atau purpose (meminjam istilah Hamid Fahmi Zarkasyi) al Qur’an serta aktifitas Nabi baik ketika berada di mekkah maupun di madinah.
Dua pendekatan ini mutlak dilakukan menurut Rahman, karena al Qur’an merupakan respon Ilahi yang disampaikan melalui Nabi Muhammad Saw terhadap situasi sosial masyarakat arab ketika itu.
Statemen al Qur’an memperlihatkan bagaimana kronisnya problem masyarakat seperti penyembahan berhala, eksploitasi terhadap kaum miskin, memarginalkan kaum perempuan dan lain-lain, dimana fenomena-fenomena tersebut mengindikasikan bahwa pesan al Qur’an saling berkaitan dengan kondisi yang dialami oleh masyarakat arab saat itu.
Berangkat dari pemikiran beliau tentang pendekatan yang harus dilakukan dalam menafsirkan al Qur’an dan tidak representatifnya metode tafsir klasik dan metode tafsir modern saat ini maka rahman, menawarkan sebuah konsep metode tafsir yang unik dan menarik, yaitu metode tafsir yang populer dengan nama “Gerakan Ganda (Double Movement)”
Gerakan Pertama, bertolak dari situasi kontomporer menuju ke era al Qur’an diwahyukan, dalam pengertian bahwa perlu dipahami arti atau makna dari suatu pernyataan al Qur’an tersebut hadir sebagai jawabannya. Jadi ringkasnya, kajian ini diawali dari hal-hal spesifik dalam al Qur’an kemudian menggali dan mensistematisir prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya.
Selanjutnya Gerakan Kedua, dari masa al Qur’an diturunkan (setelah menemukan prinsip-prinsip umum) dikembalikan lagi ke masa sekarang. Dalam arti bahwa ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut harus ditubuhkan ke dalam konteks sosio historis yang kongkrit di masa sekarang.
Rahman meyakinkan bahwa apabila kedua gerakan ini berhasil diwujudkan, niscaya perintah-perintah al Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali.

v  Bantahan Metode Tafsir Fazlurrahman Versi Penulis
Berangkat dari kegelisahan penulis yang ingin mengetahui dan memahami beberapa model konsep metodologis yang banyak ditawarkan oleh para intelektual muslim saat ini, yang kemudian pada saatnya metode tersebut banyak diagung-agungkan oleh para sarjana muslim dan mayoritas para mahasiswa yang haus khazanah keilmuan dan ingin memahami al Qur’an sesuai konteks zaman.
Hal yang pertama yang ingin penulis soroti adalah model pendekatan yang Fazlurrahman tawarkan, Pertama, Mempelajari al Qur’an dalam ordo historis untuk mengapresiasi tema-tema dan gagasan-gagasannya sehingga diketahui makna yang tepat dari firman Allah. Model pendekatan semacam ini sejatinya adalah sudah expayer dalam bahasa farmasi kadaluarsa, mengapa penulis berani mengatakan ini, karena sesungguhnya pendekatan semacam ini telah ada sejak awal mula al Qur’an diturunkan, dengan bahasa familiar kita adalah memahami asbabun nuzul turunnya ayat al Qur’an. Memahami asbabun nuzul sudah sejak dulu digunakan para ulama kita dalam menafsirkan al Qur’an bahkan jauh sebelum Fazlurrahman lahir dan menawarkan konsep pendekatan ini, dan itu mutlak dilakukan karena kita tidak bisa memahami makna suatu ayat bila tidak dipahami dari berbagai segi, salah satunya dari segi kenapa ayat itu diturunkan, pada siapa di turunkan, dalam konteks apa ayat itu diturunkan, dan mengapa ayat itu turun, semua pertanyaan-pertanyaan itu telah tercakup dalam pendekatan para ulama memahami al Qur’an dari sisi asbabun nuzul (sebab-sebab diturunkannya), jadi pendekatan semacam ini tidaklah bisa dikatakan pendekatan model baru.
Kedua, Mengkaji al Qur’an dalam konteks latar belakang sosio historisnya. Kemudian model pendekatan yang kedua, ini tidak berbeda jauh dengan para ulama kita ketika menafsirkan al Qur’an melihat bagaimana kondisi masyarakat arab ketika itu, ayat itu diturunkan di mekkah atau di madinah, bagaimana para sahabat ketika itu memahami dan merespon turunnya ayat. Yang pada saatnya generasi sahabat dan setelahnya dimana Nabi telah wafat sudah memahami ayat dengan sedemikian rupa yang kemudian mengkontekstualisasikan ayat tersebut sesuai zaman yang mereka diami. Misalnya saja, ketika masa khalifah Umar bin Khatab, dimana beliau tidak menerapkan perintah ayat untuk memotong tangan kepada pencuri, padahal kalau kita lihat ayatnya itu merupakan bentuk amar yang artinya perintah, dan itu harus dilaksanakan, tapi kenapa Umar tidak melaksanakan, karena beliau menerapkan model pendekatan semacam ini dimana beliau memahami ayat tersebut kemudian dikaitkan dengan konteks sosio historis saat itu, dimana orang-orang kaya ketika itu banyak yang menumpuk harta dan tidak memberikan zakat pada orang-orang miskin, dan yang mencuri ketika itu adalah orang miskin yang sangat membutuhkan dan kalau dia tidak makan maka bisa menyebabkan kelaparan dan berujung pada kematian, padahal lagi, tujuan syari’ah itu ada, salah satunya adalah untuk menjaga jiwa (hifz nafs), maka pendekatan semacam ini pun sudah usang, dengan kata lain pendekatan ini sudah lebih dulu digunakan oleh para pendahulu kita.
Kemudian permasalahan kedua yang ingin penulis soroti adalah tentang metodologis “Double Movement” Rahman, dimana si penafsir harus mengembalikan al Qur’an yang ada zaman sekarang ke masa dulu kemudian dicari prinsip-prinsip umum lalu dikembalikan lagi pada masa sekarang. Maka kita perlu kembali bertanya apakah metode penafsiran ulama kita dahulu tidak melakukan hal yang demikian?? Bagaimana mereka menafsirkan ayat perayat dihubungkan dengan ayat lain, kemudian ayat dengan hadits, lalu dilihat asbabun nuzul ayat tersebut dan pada saatnya memahami ayat tersebut secara kontekstual. Kalau bukan karena penafsiran dan pemahaman para ulama kita dahulu yang mengkontekstualisasikan ayat sesuai masa mereka, maka saat ini kita tidak mungkin bisa merasakan Islam dan kebenaran al Qur’an hingga demikian sempurna. Dikarenakan permasalahan yang semakin kompleks yang saat ini ada dan zaman Nabi tidak ada, maka para ulama pun memahami al Qur’an secara kontekstual dengan tetap berpegang pada prinsip umum al Qur’an. Karena al Qur’an adalah kitab yang berisi seluruh permasalahan umat, meski tidak secara eksplisit ayat yang dimaksud ada tapi kita bisa memahami itu dari prinsip-prinsip umum al Qur’an.
Tegasnya, menurut penulis konsep metodologis yang ditawarkan Fazlurrahman sejatinya, hanya mengulang dan mengcopy paste metodologis ulama mufassirin kita dahulu, dengan merubah nama dan istilah, kita dengan mudah menganggap hal semacam itu sesuatu yang baru dan menarik untuk dikaji. Dan satu lagi, ini hanya berupa penawaran, toh Fazlurrahman sendiri belum menerapkan ini pada al Qur’an seuruhnya, Buktinya, apa sudah ada kitab Tafsir karya Fazlurrahman??? Wallahu A’lam

Sumber Bacaan :
1.             Rodiah dkk, Studi al Qur’an Metode dan Konsep, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2010 hal 1-10.
2.             H. Ahmad Syukri Sholeh, Metodologi Tafsir al Qur’an Kontemporer dalam pandangan Fazlurrahman, Jakarta : Gaung Persada Press, 2007 Hal 19
3.             Fazlur Rahman, Al Islam, Alih bahasa Ahsin Muhammad, Bandung : Pustaka, 1984, Hal 48.


21.33. 20/10/12 Nailul Fauziah. J

2 komentar:

cara jitu melipat gandakan uang, tabungan sekaligus investasi dan proteksi no 1 di dunia mengatakan...

kita tidak boleh menutup mata dg tawaran siapapun selagi dia tdk keluar dr standarisasi penafsiran. apa yg di tawarkan oleh fazlurrahman sejatinya memang sudh ada di ulum alquran yg telah di cetuskan oleh para ulama salaf, asbab annuzul, mekah dan madaniyah, namun teori yg d tawarkan fazlurrahman "Double Movement" menformulasi bagaimana memahami asbab annuzul lbh luas lg. contoh potong tangn yg berlaku pd saat ayat diturunkan bukan hanya faktor ekonomi saja. pd saat umar dg gelarnya alfaruq(tegas membedakan haq dan batil) yg kita pahami krn faktor ekonomi sehingga umar tdk menerapkan hukum potong tangan. menurut fazlurrahman ada dua yg hrs kita pahami; ordo historis dan latarbelakang sosio-historis, nah disini ketiak berbicara potong tangan maka kita hrs pahamai kondisi arab di mana pd saat itu pencuri hrs di potong tangan salah satu faktor dr brp faktor trmasuk ekonmi adalah melawan hukum, orng yg melawan hukum berarti melecehkan harga diri. sehingga potong tangan di terapkan untuk pencuri. ketika di tarik k sekarang. pencuri murni karna faktor ekonmi.

cara jitu melipat gandakan uang, tabungan sekaligus investasi dan proteksi no 1 di dunia mengatakan...

Potong TanganDalam hukum potong tangan bagi pencuri, menurut Rahman, ideal moralnya adalah memotong kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi. Secara historis-sosiologis, mencuri menurut kebudayaan Arab tidak saja dianggap sebagai kejahatan ekonomi, melainkan juga kejahatan melawan nilai-nilai dan harga diri manusia. Namun sejalan perkembangan jaman, mencuri hanyalah kejahatan ekonomi,tidak ada hubungannya dengan pelecehan harga diri. Karenanya, bentuk hukumannya harus berubah. Mengamputasi segala kemungkinan yang memungkinkan ia mencuri lagi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang lebih manusiawi, misalnya penjara atau denda. Jadi hukum potong tangan adalah budaya Arab, bukan hukum Islam.

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda dengan postingan saya?

 
;