Wacana
seputar perempuan selalu menarik untuk dibahas, dari sisi manapun selalu ada
saja celah untuk mengkaji perempuan, dari sisi fisik, psikologi, peran,
intelektualitas, dan semua hal tentangnya tidak pernah habis untuk digali, dan
sesuai fakta pembahasan perempuan justru lebih banyak didominasi oleh
laki-laki, untuk itu karena alasan itulah penulis sebagai kaum perempuan ingin
ikut terjun langsung mengkaji tentang pembahasan kaum penulis sendiri, agar
tidak terjadi ketimpangan social dan peran dengan tetap memandang perempuan
kaum yang rendah intelektualitasnya. Bahwa perempuan juga memiliki peran yang
sangat luar biasa baik ranah domestik maupun publik.
Wanita adalah aurat, termasuk seluruh tubuhnya semua
fisik yang nampak terlihat, juga mencakup di dalamnya adalah suara. Dalam (Tafsirnya
al Mishbah Jilid 9 Hal 330-331), Quraish shihab mengutip pendapat al Qurthubi
yang menjelaskan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan
kedua telapak tangan, dengan tambahan kedua kaki oleh Abu Hanifah. Dengan
alasan karena wanita zaman dulu banyak yang bekerja tanpa beralas kaki dan jika
itu termasuk aurat maka mereka akan banyak yang berdosa sementara kondisi dan
pekerjaan menuntut mereka seperti itu.
Hadis ini berakibat pembatasan bagi kaum perempuan, jika
dipahami hadis ini secara literal, maka akan muncul pemahaman bahwa jika semua
yang ada dalam diri kaum perempuan adalah aurat, maka ia tak layak jika keluar
rumah, ia lebih baik mengurung diri di kamar, ia tak boleh berbicara kecuali
dengan keluarga, suami dan sesama perempuan saja, ia tak boleh bersosialisai
dengan masyarakat apalagi jika dalam masyarakat itu ada kaum lelaki yang dimana
jika ia melihatnya maka akan berdosa. Itu jika kita pahami secara literal, akan
tetapi semangat hadis ini tidak bisa kita pahami sesempit itu. Pemahaman sempit
seperti itu berakibat pada kita, sebagai kaum perempuan merasa terbatasi ruang
geraknya sehingga menuntut ilmu dengan dosen laki-laki tidak boleh, padahal
dominasi dosen universitas adalah lelaki, sehingga kita mengajar di sekolah
dengan murid laki-laki juga tidak boleh, sehingga kita tidak boleh
berkomunikasi dengan kaum lelaki karena suara kita adalah aurat, kalau mereka
mendengar maka akan berdosa. Kalau begitu perempuan sumber dari dosa?
Ironis sekali jika kita memahami teks hadis dengan
pemaknaan demikian, Untuk itu, kita harus meneliti ulang bagaimana status hadis
tersebut, bagaimana keadaan sanad dan matannya, lalu seperti apa asbabul wurud
hadis tersebut sehingga Nabi bisa mengatakan seperti itu, bagaimana pendapat
para ulama menanggapi hadis tersebut, setelah itu baru bisa kita pahami secara
komprehensif makna dan semangat hadis tersebut.
Hadis
wanita adalah aurat
Adapun
bunyi hadisnya adalah :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita adalah
aurat, jika dia keluar maka syetan akan mengawasinya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu
Khuzaimah)
Hadis lengkapnya berbunyi
حدثنا محمد بن بشار حدثنا عمرو بن عاصم حدثنا همام عن قتادة عن مورق عن أبي
أحوص عن عبد الله : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال المرأة عورة فإذا خرجت استشرفها الشيطان
Dari hasil pencarian
penulis dari kitab-kitab hadis yang ada, hasil yang diperoleh adalah bahwa
hadis ini hanya diriwayatkan oleh dua mukharij yaitu Tirmidzi dalam ( Kitab Sunan
Tirmidzi No Hadis 1173
juz 3 Hal 47dan Ibnu
Khuzaimah dalam kitabnya No Hadis 1685 dan 1686, Juz 3 Hal 93).
Dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi, ada tujuh perawi yang menyampaikan hadis ini dengan metode yang
berbeda, ada yang menggunakan lafadz “Haddasana”, dan ada yang menggunakan lafadz “An” yang disebut hadis Mu’an’an. Dalam riwayat Tirmidzi, ada satu
orang rawi yang dimana ketika ia meriwayatkan hadis adakalanya wahm, dan hadis
ini pun hanya memiliki satu penguat yaitu riwayat sahih ibnu khuzaimah.
Ketika kita memahami hadis, salah satunya adalah
dengan meneliti sanad dan matan, ketika dalam sanad sudah ditemukan bagaimana
perawi dan seperti apa kredibilitasnya, kemudian kita merujuk pada matan, dalam
penelitian matan salah satu syaratnya adalah tidak boleh bertentangan dengan
ayat al Qur’an, sementara hadis ini bertentangan dengan ayat al Qur’an yang
menceritakan kisah tentang dialog Nabi Musa dengan dua wanita kakak
beradik, yakni putri Nabi Syu’aib, FirmanNya :
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ
وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ
امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى
يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
“Dan
tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan
orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang
banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata:
"Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab:
"Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala
itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah
lanjut umurnya." (Al Qashash : 23)
Dan disambung diayat selanjutnya :
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي
عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا
سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ
نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku
memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum
(ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan
menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata:
"Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim
itu." (Al-Qashash: 25).
Kemudian, syarat yang kedua tidak boleh bertentangan
dengan hadis yang sahih. Sedangkan dalam hadis berikut ini menceritakan tentang
dialog Nabi dengan seorang perempuan.
أَنَّ
امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى
مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ
كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ
أَحَقُّ بِالوَفَاءِ
Dari
Ibnu Abbas bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada
Rasulullah , lalu berkata : “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi
haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa berhaji
atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa
pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang
kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari No : 1852)
Pendapat ulama tentang hadis wanita adalah aurat
Mengenai hadis ini ulama
berbeda pendapat. Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa
suara wanita adalah aurat. Namun, menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama,
suara wanita bukanlah aurat. Sehingga siapapun boleh saja mendengar suara
seorang wanita atau mendengarnya berbicara, karena tidaklah termasuk hal yang
terlarang dalam Islam. Ini adalah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini.
Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya (Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 1/647, Darr al Fikr ) berkata : “Suara wanita
menurut jumhur (mayoritas
ulama) bukanlah aurat, karena
para sahabat Nabi mendengarkan suara para isteri Nabi Saw untuk
mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara
wanita yang disuarakan dengan melagukan dan mengeraskannya,
walaupun dalam membaca Al Quran, dengan sebab khawatir timbul fitnah. Pandangan yang sama disampaikan cendekiawan Muslim Yusuf
al-Qaradhawi melalui bukunya (Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2 hal 99-100.).
Menurut dia, Allah SWT mengizinkan para laki-laki bertanya kepada istri-istri
Muhammad.
Tak hanya menyampaikan fatwa,
mereka pun meriwayatkan hadis. Banyak fakta bertebaran mengenai persoalan ini.
Suatu ketika, Rasul mengizinkan seorang perempuan menyampaikan pertanyaan,
padahal di hadapannya banyak laki-laki. Seorang perempuan juga pernah
menyanggah pendapat Umar bin Khattab saat berpidato di atas mimbar.
Ia tak mengingkari kebenaran
argumen perempuan itu. Dengan kerendahan hati, Umar pun berucap, "Semua
orang bisa lebih mengerti dibandingkan Umar," ujarnya.
Alquran pun menceritakan putri Nabi
Syu’aib yang melakukan pembicaraan dengan Nabi Musa. Demikian pula
percakapan Nabi Sulaiman dengan Ratu Saba.
Menurut al-Qaradhawi, Allah hanya melarang
khudu, yaitu cara berbicara yang dapat membangkitkan nafsu orang-orang yang
hatinya kotor. Namun, bukan berarti Allah melarang semua pembicaraan perempuan
dengan laki-laki. Tentu, pembicaraan itu berisi perkataan-perkataan yang baik.
Dalil yang menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat
sangatlah banyak, diantaranya adalah sebagai berikut :
A. Dalil Al Qur’an
Berikut ini diantara ayat al Qur’an yang menyebutkan secara
tersurat maupun tersirat bahwa suara wanita itu bukanlah aurat.
1. Allah
memerintahkan para istri Rasulullah agar
berkata-kata, namun dengan perkataan dan cara yang baik. Dan tentunya perkataan
istri Nabi itu akan di dengar bukan saja oleh para shahabiyah tetapi
juga para shahabat . FirmanNya :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ
كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ
فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Wahai
istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Meskipun konteks ayat diatas
membicarakan para ummahatul mukminin, tetapi sudah maklum dan ma’fum dipahami,
hukum ayat ini tentunya berlaku untuk semua kaum muslimah.
2. Allah menceritakan
wanita yang menggugat kepada Nabi tentang dzihar yang dilakukan
suami wanita tersebut. FirmanNya :
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي
تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ
تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar hiwar
(dialog) antara
kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ( Al Mujadilah : 1)
Dan tentu saja pengaduan wanita tersebut kepada Nabi
mengunakan kata-kata, bukan dengan bahasa isyarat. Dan mustahil Rasulullah akan
mau mendengar suara wanita tersebut bila hal tersebut adalah aurat.
3. Dalam
al Qur’an terdapat kisah tentang dialog Nabi Musa dengan dua wanita
kakak beradik, yakni
putri Nabi Syu’aib, FirmanNya :
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ
وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ
امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى
يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
“Dan
tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan
orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang
banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata:
"Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab:
"Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala
itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah
lanjut umurnya." (Al Qashash : 23)
Dan disambung diayat selanjutnya :
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي
عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا
سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ
نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku
memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum
(ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan
menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata:
"Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim
itu." (Al-Qashash: 25).
Demikian dalil-dalil kitabullah yang
menjelaskan bahwa suara wanita bukanlah aurat, kemudian dipertegas kembali oleh
dalil-dalil yang lain seperti para wanita berhak dan berwenang melakukan
aktivitas jual beli (QS. Al-Baqarah: 275; QS. An-Nisa’:29), berhutang-piutang
(QS. Al-Baqarah: 282), sewa-menyewa (ijarah) (QS. Al-Baqarah: 233; QS. Ath-Thalaq: 6),
memberikan persaksian (QS. Al-Baqarah: 282), menggadaikan barang (rahn)
(QS. Al-Baqarah: 283), menyampaikan ceramah (QS. An-Nahl: 125; QS.
As-Sajdah: 33), meminta fatwa (QS. An-Nahl: 43), dan sebagainya. yang
kesemuanya itu hampir mustahil tidak menggunakan aktivitas suara/ berbicara.
B. Hadits Nabi dan Atsar para shahabat
1.
Shahabiyah (shahabat wanita) mereka berbicara dengan Rasulullah.
Banyak hadits yang menceritakan bahwa
para shahabat wanita dahulu juga bertanya kepada Rasulullah bahkan ketika Nabi
sedang berada di tengah-tengah para sahabat laki-laki. Diantaranya adalah apa yang
disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini :
أَنَّ
امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى
مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ
كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ
أَحَقُّ بِالوَفَاءِ
Dari
Ibnu Abbas bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada
Rasulullah , lalu berkata : “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi
haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa berhaji
atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa
pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang
kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari No : 1852)
2. Para Shahabat mendatangi ummul
mukminin untuk bertanya hukum agama.
Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul
mukminin (para isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun
memberikan fatwa dan berbicara dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada
seorang pun mengatakan, “Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah
melihat aurat yang wajib ditutupi,” padahal isteri-isteri Nabi mendapat
perintah dengan keras yang tidak pernah dirasakan bagi
wanita lainnya.
Musa bin Thalhah ra. berkata :
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَفْصَحَ مِنْ
عَائِشَةَ
“Aku
tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah.” (HR. Tirmidzi)
Ø Pendapat ulama mazhab
Berikut perkataan para ulama dan yang termaktub dalam
kitab-kitab mu’tabarah yang menjelaskan tentang hukum suara wanita :
- Hanafiyah
Ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah
berpendapat suara wanita adalah aurat. Namun, menurut khabar yang kuat adalah
bahwa kalangan Hanafiyah menyatakan suara wanita
bukan aurat.
- Malikiyah dan Hanabilah
Dalam kitab al Mausu’ah Fiqihiyah al Kuwaitiyah
juz 4 halaman 91 dapat disimpulkan tentang pandangan kedua mazhab ini
bahwa suara wanita bukanlah aurat. Yaitu ketika mereka berpendapat dibencinya
mendengarkan nyanyian wanita.
- Syafi’iyah
Diketahui secara pasti pendapat dari mazhab ini, bahwa
suara wanita bukanlah aurat. Dan bahkan menurut syafi’iyah, boleh mendengarkan
suara wanita menyanyi dengan catatan aman dari fitnah.
Kalangan Yang
Mengatakan Bahwa
Suara Wanita Aurat
Namun, sebuah fakta yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa ada
sebagian ulama yang memang berpendapat bahwa suara wanita adalah aurat.
Pendapat mereka ini didasarkan kepada beberapa dalil diantaranya :
1. Hadits Rasulullah Saw, beliau bersabda :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا
خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita adalah
aurat, jika dia keluar maka syetan akan mengawasinya.” (HR. Tirmidzi, dan Ibnu Khuzaimah )
Berdasarkan makna dzahir hadits ini, kalangan ini
menyimpulkan bahwa semua bagian dari wanita adalah aurat termasuk suaranya.
Dalam
Ilmu fiqih tidak asing lagi diketahui adanya dalil yang bersifat ‘aam
(umum) dan dalil khosh (khusus). Jadi sebuah dalil terkadang
bermakna mujmal (global) tetapi ada pula yang muqayad
(terbatasi). Contohnya firman Allah Swt dalam surat al-Maidah ayat 3 yang
menjelaskan keharaman semua bangkai, tetapi kemudian dikhususkan bangkai
binatang laut darinya, dalil takhsisnya adalah sabda Nabi : “Dihalalkan bagi
kami dua bangkai…. Yaitu (bangkai) ikan dan belalang.”
Oleh
karena itu para ahli ushul membuat kaidah, Hamlul Muthlaq ilal Muqayyad
(Memahami dalil yang
umum harus dibatasi oleh yang khusus).
Hadits
diatas adalah hadits umum yang menginformasikan secara umum bahwa tubuh wanita
adalah aurat, yang kemudian ditakhsis (dibatasi) dengan hadits-hadits
yang menunjukkan bahwa wajah, telapak tangan dan termasuk suara adalah yang
dikecualikan.
2. Firman Allah ta’ala :
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
“Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (An Nuur : 31)
Menurut kalangan ini, jika gelang kaki wanita saja
dilarang untuk digetarkan sehingga terdengar suaranya, maka suara wanita lebih
layak dilarang karena lebih merdu dibanding suara gelang.
Namun
dalil ini dibantah oleh para ulama, dan nampak dalil dengan ayat ini tidaklah
tepat. Karena yang dilarang dari seorang wanita pada ayat diatas adalah pada
perbuatannya yang memamerkan perhiasannya. Jika dikiaskan dengan suara wanita
tentu tidak tepat, karena suara manusia itu termasuk kebutuhan yang sangat
penting, keharaman barulah ada apabila mempergunakannya untuk merayu dan mengundang
syahwat.
3. Cara menegur imam bagi makmum yang
tidak menggunakan suara.
Dalil lainnya yang digunakan adalah dengan adanya ketentuan bagi makmum
wanita yang menegur imam yang keliru, yaitu hanya diperbolehkan menggunakan
tepukan tangan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah ditanya tentang cara menegur imam yang keliru,
beliau menjawab :
مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ
فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا
التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
“Barangsiapa
menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca
tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya.
Sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (HR. Bukhari No. 7190 dan Muslim
No. 421)
Logikanya, jika bukan aurat, tentunya kaum wanita pun juga sama
dengan laki-laki, yakni diperbolehkan
menggunakan suaranya mengucap subhanallah.
Namun,
alasan ini juga lemah
dan penakwilan yang berlebihan, sebab apa yang wanita lakukan dengan
bertepuk tangan ketika meluruskan kekeliruan imam, itu adalah sebuah aturan baku yang ada dalam
shalat yang sifatnya ta’abudiyah, yang tidak ada kaitannya dengan aurat atau bukan.