Fazlurrahman,
seorang pemikir dan tokoh intelektual islam terkemuka yang lahir di tahun 1919
M (yang seterusnya dibaca : Rahman) menganggap perlu adanya metode tafsir model
baru untuk menafsirkan al Qur’an, menurutnya metode tafsir yang sudah ada dan
sudah diadopsi oleh para ulama tafsir zaman dulu tidak sampai menyentuh
kontekstualitas era kontemporer saat ini, karena perubahan zaman yang terus
berkembang dan permasalahan baru yang semakin banyak bermunculan.
Menurutnya,
jika kita hanya terpaku dengan model penafsiran yang tradisional maka
nilai-nilai universalitas al Qur’an tidak bisa ditemukan. Maka untuk melakukan
penafsiran ulang al Qur’an yang sesuai tuntutan kontemporer diperlukan
seperangkat metodologis yang sistematis dan komprehensif.
v Metode Tafsir yang ditawarkan Fazlurrahman
Menurut Rahman, prosedur yang benar untuk memahami al
Qur’an setidaknya mufassir harus menempuh dua pendekatan : Pertama,
Mempelajari al Qur’an dalam ordo historis untuk mengapresiasi tema-tema dan
gagasan-gagasannya sehingga diketahui makna yang tepat dari firman Allah. Kedua,
Mengkaji al Qur’an dalam konteks latar belakang sosio historisnya. Dengan
pendekatan ini akan diketahui laporan tentang bagaimana orang-orang di
lingkungan Nabi memahami perintah al Qur’an. Tanpa memahami latar belakang
mikro dan makro secara memadai, menurut Rahman besar kemungkinan seseorang akan
salah tangkap terhadap maksud atau purpose (meminjam istilah Hamid Fahmi
Zarkasyi) al Qur’an serta aktifitas Nabi baik ketika berada di mekkah maupun di
madinah.
Dua pendekatan ini mutlak dilakukan menurut Rahman,
karena al Qur’an merupakan respon Ilahi yang disampaikan melalui Nabi Muhammad
Saw terhadap situasi sosial masyarakat arab ketika itu.
Statemen al Qur’an memperlihatkan bagaimana kronisnya
problem masyarakat seperti penyembahan berhala, eksploitasi terhadap kaum
miskin, memarginalkan kaum perempuan dan lain-lain, dimana fenomena-fenomena
tersebut mengindikasikan bahwa pesan al Qur’an saling berkaitan dengan kondisi
yang dialami oleh masyarakat arab saat itu.
Berangkat dari pemikiran beliau tentang pendekatan yang
harus dilakukan dalam menafsirkan al Qur’an dan tidak representatifnya metode
tafsir klasik dan metode tafsir modern saat ini maka rahman, menawarkan sebuah
konsep metode tafsir yang unik dan menarik, yaitu metode tafsir yang populer
dengan nama “Gerakan Ganda (Double Movement)”
Gerakan Pertama,
bertolak dari situasi kontomporer menuju ke era al Qur’an diwahyukan, dalam
pengertian bahwa perlu dipahami arti atau makna dari suatu pernyataan al Qur’an
tersebut hadir sebagai jawabannya. Jadi ringkasnya, kajian ini diawali dari
hal-hal spesifik dalam al Qur’an kemudian menggali dan mensistematisir
prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya.
Selanjutnya Gerakan Kedua, dari masa al Qur’an
diturunkan (setelah menemukan prinsip-prinsip umum) dikembalikan lagi ke masa
sekarang. Dalam arti bahwa ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut harus
ditubuhkan ke dalam konteks sosio historis yang kongkrit di masa sekarang.
Rahman meyakinkan bahwa apabila kedua gerakan ini
berhasil diwujudkan, niscaya perintah-perintah al Qur’an akan menjadi hidup dan
efektif kembali.
v Bantahan Metode Tafsir Fazlurrahman Versi Penulis
Berangkat dari kegelisahan penulis yang ingin mengetahui
dan memahami beberapa model konsep metodologis yang banyak ditawarkan oleh para
intelektual muslim saat ini, yang kemudian pada saatnya metode tersebut banyak
diagung-agungkan oleh para sarjana muslim dan mayoritas para mahasiswa yang
haus khazanah keilmuan dan ingin memahami al Qur’an sesuai konteks zaman.
Hal yang pertama yang ingin penulis soroti adalah model
pendekatan yang Fazlurrahman tawarkan, Pertama, Mempelajari al
Qur’an dalam ordo historis untuk mengapresiasi tema-tema dan gagasan-gagasannya
sehingga diketahui makna yang tepat dari firman Allah. Model pendekatan semacam
ini sejatinya adalah sudah expayer dalam bahasa farmasi kadaluarsa, mengapa
penulis berani mengatakan ini, karena sesungguhnya pendekatan semacam ini telah
ada sejak awal mula al Qur’an diturunkan, dengan bahasa familiar kita adalah
memahami asbabun nuzul turunnya ayat al Qur’an. Memahami asbabun nuzul sudah
sejak dulu digunakan para ulama kita dalam menafsirkan al Qur’an bahkan jauh
sebelum Fazlurrahman lahir dan menawarkan konsep pendekatan ini, dan itu mutlak
dilakukan karena kita tidak bisa memahami makna suatu ayat bila tidak dipahami
dari berbagai segi, salah satunya dari segi kenapa ayat itu diturunkan, pada
siapa di turunkan, dalam konteks apa ayat itu diturunkan, dan mengapa ayat itu
turun, semua pertanyaan-pertanyaan itu telah tercakup dalam pendekatan para
ulama memahami al Qur’an dari sisi asbabun nuzul (sebab-sebab diturunkannya),
jadi pendekatan semacam ini tidaklah bisa dikatakan pendekatan model baru.
Kedua,
Mengkaji al Qur’an dalam konteks latar belakang sosio historisnya. Kemudian
model pendekatan yang kedua, ini tidak berbeda jauh dengan para ulama kita
ketika menafsirkan al Qur’an melihat bagaimana kondisi masyarakat arab ketika
itu, ayat itu diturunkan di mekkah atau di madinah, bagaimana para sahabat
ketika itu memahami dan merespon turunnya ayat. Yang pada saatnya generasi
sahabat dan setelahnya dimana Nabi telah wafat sudah memahami ayat dengan
sedemikian rupa yang kemudian mengkontekstualisasikan ayat tersebut sesuai
zaman yang mereka diami. Misalnya saja, ketika masa khalifah Umar bin Khatab,
dimana beliau tidak menerapkan perintah ayat untuk memotong tangan kepada
pencuri, padahal kalau kita lihat ayatnya itu merupakan bentuk amar yang
artinya perintah, dan itu harus dilaksanakan, tapi kenapa Umar tidak
melaksanakan, karena beliau menerapkan model pendekatan semacam ini dimana beliau
memahami ayat tersebut kemudian dikaitkan dengan konteks sosio historis saat
itu, dimana orang-orang kaya ketika itu banyak yang menumpuk harta dan tidak
memberikan zakat pada orang-orang miskin, dan yang mencuri ketika itu adalah
orang miskin yang sangat membutuhkan dan kalau dia tidak makan maka bisa
menyebabkan kelaparan dan berujung pada kematian, padahal lagi, tujuan syari’ah
itu ada, salah satunya adalah untuk menjaga jiwa (hifz nafs), maka pendekatan
semacam ini pun sudah usang, dengan kata lain pendekatan ini sudah lebih dulu
digunakan oleh para pendahulu kita.
Kemudian permasalahan kedua yang ingin penulis soroti
adalah tentang metodologis “Double Movement” Rahman, dimana si penafsir
harus mengembalikan al Qur’an yang ada zaman sekarang ke masa dulu kemudian
dicari prinsip-prinsip umum lalu dikembalikan lagi pada masa sekarang. Maka
kita perlu kembali bertanya apakah metode penafsiran ulama kita dahulu tidak
melakukan hal yang demikian?? Bagaimana mereka menafsirkan ayat perayat
dihubungkan dengan ayat lain, kemudian ayat dengan hadits, lalu dilihat asbabun
nuzul ayat tersebut dan pada saatnya memahami ayat tersebut secara kontekstual.
Kalau bukan karena penafsiran dan pemahaman para ulama kita dahulu yang
mengkontekstualisasikan ayat sesuai masa mereka, maka saat ini kita tidak
mungkin bisa merasakan Islam dan kebenaran al Qur’an hingga demikian sempurna.
Dikarenakan permasalahan yang semakin kompleks yang saat ini ada dan zaman Nabi
tidak ada, maka para ulama pun memahami al Qur’an secara kontekstual dengan
tetap berpegang pada prinsip umum al Qur’an. Karena al Qur’an adalah kitab yang
berisi seluruh permasalahan umat, meski tidak secara eksplisit ayat yang
dimaksud ada tapi kita bisa memahami itu dari prinsip-prinsip umum al Qur’an.
Tegasnya, menurut penulis konsep metodologis yang
ditawarkan Fazlurrahman sejatinya, hanya mengulang dan mengcopy paste
metodologis ulama mufassirin kita dahulu, dengan merubah nama dan istilah, kita
dengan mudah menganggap hal semacam itu sesuatu yang baru dan menarik untuk
dikaji. Dan satu lagi, ini hanya berupa penawaran, toh Fazlurrahman sendiri
belum menerapkan ini pada al Qur’an seuruhnya, Buktinya, apa sudah ada kitab
Tafsir karya Fazlurrahman??? Wallahu A’lam
Sumber Bacaan :
1.
Rodiah
dkk, Studi al Qur’an Metode dan Konsep, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2010
hal 1-10.
2.
H. Ahmad
Syukri Sholeh, Metodologi Tafsir al Qur’an Kontemporer dalam pandangan
Fazlurrahman, Jakarta : Gaung Persada Press, 2007 Hal 19
3.
Fazlur
Rahman, Al Islam, Alih bahasa Ahsin Muhammad, Bandung : Pustaka, 1984, Hal 48.
21.33. 20/10/12 Nailul Fauziah. J