Hai..
apakabar?
bukankah akhir-akhir ini malam menjadi hangat dan ramai?
tidakkah kau juga merasakannya?
malam yang lalu, malam kemarin, juga malam ini sepi dan gelap mendadak hilang, berganti dengan hangat dan selimut tebal, ah mungkin karena langit kita berbeda mungkin kau tidak merasakannya.
hai, apakabar?
hujan mengingatkan lagi semua hal yang kuredam, tentang pertemuan pertama kita di sore yang riang ditemani hujan, tentang pertemuan kali kesekiannya kita di sore yang deras, juga banyak pertemuan kita yang selalu ditemani hujan.
tidakkah kau mengingatnya juga?
sepertinya aku mulai mengigau lagi...
Suatu malam di akhir waktu
kepulanganku, dengan bermanja-manja sebab rindu yang terlampau sesak pada ibu,
aku meminta tidur satu ranjang bersamanya, beratapkan kelambu untuk menghindari
nyamuk yang keberadaanya menganggu tidur, berselimutkan kain tebal dan kami
saling berpelukan hangat, kalau sudah begini membuatku malas untuk kembali,
biar saja aku disini, disamping ibu berselimut hangat berdua.
Selain karena betul-betul
ingin tidur bersamanya, ada satu hal penting yang sangat ingin kuceritakan
padanya, ah pada siapa lagi mengadukan resah dan gundah selain pada seseorang
yang mengurus kita sejak kecil dan tahu apa yang harus dilakukan untuk anak
kesayangannya.
Berawal basi-basi yang
remeh, bertanya ini itu soal keseharian ibu saat aku tak disampingnya,
kulanjutkan dengan memancingnya menceritakan kisah masa lalunya bersama bapak
atau bahkan sebelum bertemu bapak, dan mengalirlah begitu saja seperti air,
hanya satu dua pertanyaan, jawaban sudah melengkapi semua pertanyaan bahkan
yang belum diajukan sekalipun. Ibu memang senang sekali bercerita, kata banyak
orang dan beberapa teman dekat ibu yang kukenal, dia memang sosok perempuan
tangguh, aktif, kritis, dan selalu jadi juru bicara. Itu memang benar, kalau
ditelpon saja baru tanya kabar, jawaban sudah sampai pada menu makanan, hahaha
ah ibu ibu memang sosok yang luar biasa.
Ada satu hal yang
mengejutkan dari cerita ibu, ternyata ibu dan bapak adalah hasil dari
perjodohan, sebelumnya ibu sudah mencintai seseorang sejak lama, hampir 10
tahun, laki-laki itupun mencintai ibu, tapi entah kenapa mereka selalu ragu
untuk berencana menikah, ibu bilang laki-laki yang ia cintai seseorang yang
lemah, pengetahuan agama yang kurang baik dan sebagainya, sudah tahu begitu
masih saja cinta, dasar, hihihi.. dan akhirnya ibu dan bapak dijodohkan oleh
guru ibu di sekolah, dan bapak adalah salah satu guru juga disana, usia mereka
terpaut 10 tahun, kalau kuingat-ingat wajah bapak, memang beliau sudah sangat
tua sekali, aku merasa lebih baik memang Allah mengambilnya dengan usia bapak
yang sudah rentan itu.
Akhirnya aku menemukan titik
temu yang cocok, aku mulai bercerita sedikit demi sedikit tentang keresahanku,
awalnya hanya soal sekolah yang kuajar, murid-murid dan sampailah pada satu
sosok itu, tentang seseorang yang juga pernah mampir sesaat dalam hidupku dan
hingga hari ini aku masih belajar melepasnya, sebab melepaskan tidak semudah
saat pertama kali bertemu dan menemukan perasaan baru padanya, tidak semudah
itu, aku harus membunuh setiap kali kerinduan muncul dalam sesak, aku harus
mengubur setiap kali rasa mulai memenuhi hati, sementara aku tak bisa berbuat
apa-apa, hanya bisa mengingatnya begitu saja seperti angin.
Bu,
terkadang aku menyesal sudah bertemu dengan dia, andai saja dulu tak pernah
bertemu, tak pernah kenal, kami tak pernah memiliki rasa yang sama, andai
saja...
Kataku pada ibu dengan perasaan
penuh sesal.
Kamu salah
nak, justru harusnya kamu bersyukur sudah pernah mengenalnya, kalian memiliki
perasaan yang sama, hanya waktu yang tak berpihak, dan itu bukan sebuah
kesalahan, kalian pasti memiliki waktu yang manis bersama dan itulah kenangan
yang bisa kau ingat suatu hari nanti, tentu saja kenangan hanyalah bagian dari
masa lalu, masa depan nanti akan jadi milikmu dengan seseorang yang lebih baik
lagi darinya. Seperti bapak dan ibu. Ibu tak pernah menyesal sampai hari ini.
Betulkah begitu, aku hanya
harus bersyukur karena waktu yang pernah kulalui dengannya merupakan kenangan
manis?
Aku hanya harus belajar
lebih banyak pada ibu, belajarkan melepaskan masa lalu dan membuka lagi pintu
yang baik untuk masa depan..
Ibu, selalu mengobati luka
dengan cara yang tidak pernah diduga...
24102014, Bogor.
Tentu saja aku baik-baik
saja, aku masih bisa tersenyum dan tertawa, hey kita ini apa sih? Hanya sekedar
numpang mampir di bumi Tuhan, datang sendirian, tak pernah punya siapa-siapa
dan tak pernah jadi milik siapa-siapa, maka akan baik-baik saja jika manusia
yang hidup lalu lalang masuk keluar dalam hidup kita, datang dan pergi begitu
saja, untuk yang datang kita sambut dengan baik dan berbuat baik padanya, untuk
yang pergi relakan dengan senang hati, sebab kepergian tak selalu berujung pada
kesedihan, ada juga kepergian yang membahagiakan.
Aku sungguh baik-baik saja,
sebab hidup memang harus terus berjalan ada atau tidaknya seseorang yang peduli
pada kita, sebab segalanya menjadi kita saja seorang, perbuatan kita, kebaikan
kita, jangan terlalu risau memikirkan orang lain yang tak pernah jelas, bahkan
malaikat saja menanyai kita seorang saja, tidak berdua, tidak juga dengan
orangtua, keluarga, sahabat dekat, apalagi bersama seseorang yang hanya hadir
sesaat dalam hidup kita, rasanya mustahil.
Untuk itu, aku berharap
tidak pernah ada yang berubah, semuanya baik-baik saja, aku tetap menjadi aku
yang keras kepala dan selalu ingin belajar banyak hal, tak peduli ada atau
tidaknya seseorang yang akan bertanya kabar atau sekedar menceritakan kisah di
malam hari.
Abi, do’akan anakmu yang
manis ini selalu kuat dan tegar menghadapi apapun, sekuat umi saat kau
meninggalkannya...
Pakpayoon.
26 Oktober 2014
Abi, apakabarnya engkau
disana? Bagaimana rasanya indah syurga? Aku sungguh berharap pada Dia
menempatkan engkau pada kedudukan yang tinggi. Amin.
Abi, anak pertamamu yang
manis ini tentu saja selalu baik-baik saja, usiaku sudah 22 tahun hampir saja
sampai di 23, berat badan terakhir kemarin 59 kg, ah engkau tentu tak akan
khawatir dengan kondisiku yang sehat ini. Anak abi yang kedua dan si bungsu
juga baik-baik saja, ah kemarin sudah kuceritakan bukan kalau dede sudah masuk
perguruan tinggi dan si bungsu sudah 2 SMP dan tinggal di pesantren juga aktif
di kegiatan sekolah, tak berbeda jauh denganku, yah sebab si bungsu selalu
ingin menjadi tetehnya, andai dia tahu tetehnya sangat biasa saja, tak ada
apa-apanya.
Abi, sudah 6 bulan berlalu
aku menetap di negri antah barantah ini, dan abi tahu sebentar lagi aku mau
pulang, ah rasanya rindu ini sudah terlalu penuh untuk kutampung jadi kubiarkan
ia terurai satu persatu, rindu umi, rindu si dede dan si bungsu dan tentu saja
rindu semua hal yang ada di negri kita. Disini aku baik-baik saja, betah,
guru-guru dan tetangga baik-baik, murid-muridnya, yah seperti yang abi tahu ada
saja murid-murid nakal yang sedang berproses menjalani kehidupan, tapi aku
sungguh baik disini, hanya saja yah hanya saja pada satu waktu ketika sepi dan
bosan mencekik leher dan tak ada yang bisa dilakukan, pada satu waktu itulah
jalan yang teringat adalah pulang, sebab pulang adalah obat dari semua
kerinduan.
Abi tahu, kemarin adalah
idul adha yang sudah kesekian tak kulalui bersama keluarga, tidak hanya sekali
dua kali tapi sudah sering, dan ini yang terberat karena begitu jauh dari
siapapun, tak ada tempat untuk sekedar menyimpan rindu yang sudah penuh, semua
disini terasa sempit sekali. Di negri antah barantah ini perayaan lebaran
bukanlah seperti yang kita rasakan di negri muslim biasanya, disini sepi
sekali, bahkan tak ada suara takbir, bahkan beberapa hari sebelumnya aku lupa
kalau esoknya adalah lebaran idul adha.
Abi, sekarang aku sudah
mulai membaik dalam mengontrol diri, mengontrol perasaan dan menahan semua yang
mendidih dalam hati, perlahan-lahan aku sudah bisa, di surat yang kesekian aku
pernah bercerita bukan tentang sosok dia, seseorang yang alisnya mirip sekali
denganmu, sebab begitu banyak hal yang terjadi dan tentu saja aku sadar diri
siapa diriku ini maka aku belajar untuk menahan, semoga hasilnya manis suatu
saat nanti, abi ingat kan sosoknya, seseorang yang kusebut namanya dalam do’a.
Abi, esok ketika sudah
sampai rumah, sudah bertemu umi dan kedua anak abi yang lain aku janji akan
mengirimimu surat kembali, aku janji, janji anak pertamamu, pasti abi juga
rindu umi, aku akan menceritakan bagaimana keadaan umi nanti..
Abi, selamat malam...
04 Oktober 2014
Pakpayoon.
Kau boleh membuka hatimu pada yang lain, aku tak melarang.
Katamu suatu hari dengan
wajah dinginmu, dan wajah dingin itu menjadi begitu amat dingin dari biasanya
sebab dingin hujan membuat pertemuan kita menjadi berbeda.
Aku tak
mau.
Jawabku ketus.
Kau pikir mudah membuka hati
untuk orang lain? Andai saja tetes hujan saat itu bisa kuraih ingin sedikit
kubasahi wajahmu dengannya agar kau tersadar dari kata-kata aneh itu.
Aira
Panggilmu tajam, ah
kata-katamu sore itu mendadak seperti sebilah pisau.
Sebelum kata-katamu semakin
sulit kuterima, kubiarkan kau meracau sendiri dengan hujan.
Mau kemana
aira?
Tanyamu masih dengan wajah
dingin.
Tak perduli hujan sederas
apapun, lebih baik aku tak mendengar lagi bicaramu yang aneh itu.
Biar saja hujan turun sederas
apapun, dengan begitu tak pernah ada yang tahu ada tetes hangat di pipiku..
Namanya raya, seorang gadis
yang sejak kecil tinggal dan tumbuh di panti asuhan, saat ini ia sudah beranjak
remaja, setidaknya ia sudah mulai mengerti tentang siapa dirinya dan kenapa ia
hidup di panti sejak kecil. Kedua orangtuanya meninggal sejak ia masih kecil
dan ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki tapi sayang sekali ia tak tahu
kakak laki-lakinya berada dimana saat ini karena sejak kecil ia diadopsi oleh
keluarga kaya dari kota besar dan dengan terpaksa raya ditinggalkan di panti
asuhan.
Panti asuhan tempat ia
tinggal dikelola oleh gereja, jadi setiap hari minggu semua anak panti
diwajibkan berkunjung ke gereja, meminta pengampunan pada pastur dan memohon do’a,
sementara di hari-hari biasanya ia bersekolah di sekolah khusus biarawati,
santa maria namanya. Letak sekolahnya dekat dengan panti tempat ia tinggal.
Raya, berbeda dengan
kebanyakan anak panti lainnya, ia selalu bertanya banyak hal pada pastur atau
biarawati, tentang hidup, tentang Tuhan, tentang nasib dan takdir. Raya merasa
sangat sedih bahwa selama hidupnya tak pernah bisa merasakan kasih sayang ayah
ibunya sebab keduanya meninggal saat raya masih bayi. Ia selalu bertanya kenapa
Tuhan begitu jahat, begitu tak adil mengambil dan merampas hak seseorang begitu
saja bahkan sebelum ia tumbuh dewasa. Sudah sering ia habis dimarahi dan
dipukul oleh biarawati di santa maria sebab pertanyaan-pertanyaan konyolnya dan
menganggap Tuhan tak adil.
Pada hari-hari berikutnya
raya semakin enggan pergi ke gereja, sebab ibadah yang sudah ia lakukan selama
ini tak juga membuatnya damai dan merasakan kebaikan Tuhan, bahkan kakak
satu-satunyamasih tak ada kabar juga.
Raya,
kenapa tadi tidak pergi dengan teman-teman lainnya?
Tanya pengasuh panti,
seorang ibu paruh baya yang hanya membalas dengan senyuman bila raya bertanya
ini itu soal hidup dan lain hal.
Kalau raya
bisa bertemu abang, raya baru mau pergi ke gereja.
Seperti itulah jawaban raya
setiap kali ditanya mengapa enggan pergi ke gereja.
Hari-hari berlalu begitu
saja, dan tentu saja raya tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan penuh
tanya dalam hidupnya.
Suatu hari raya bertekad
mencari kakak laki-lakinya ke kota besar, dulu memang sempat keluarga yang
mengadopsi kakaknya meninggalkan alamat, sudah sejak dulu raya ingin mencari
tapi dulu ia masih kecil dan belum memiliki keberanian pergi ke kota besar
apalagi tak ada orang yang dikenal. Ia mohon pamit pada pengasuh panti,
kalau-kalau ia tak bisa menemukan kakaknya mungkin ia akan kembali, tapi bila
ia tak juga kembali anggap saja ia sudah bertemu dengan kakaknya, begitulah
pesan raya pada ibu pengasuh panti.
Perjalanan pun dimulai, raya
pergi ke kota besar dengan berbekal alamat yang ia sendiri tak pernah tahu dan
tak pernah ia kunjungi sebelumnya, peta kota besar sudah ia pegang, ia hanya
perlu sering bertanya pada orang yang lewat atau pedagang di pinggir jalan.
Dari pagi sampai sore ia
mencari, peluh keringat sudah sejak tadi membasahi bajunya, perutnya yang
kosong sudah berteriak minta diisi, akhirnya ia beristirahat sejenak di sebuah
warung makan sederhana.
Baru beberapa suap saja ia
makan, tiba-tiba saja ia mendadak berhenti, sendok yang akan disuapi mulutnya
tertahan, baru saja ia mendengar nama jalan yang ia cari sejak pagi
disebut-sebut oleh ibu penjual makan. Dan dengan segera raya bertanya dimana
letak jalan yang ibu penjual maksud, jalan kemang, itulah naman jalan alamat
dari keluarga yang mengadopsi kakaknya.
Raya lupa makannya belum
usai, tapi ia segera berlari mencari angkot, dengan wajah yang sedikit lega ia
bisa bernafas, setidaknya sebentar lagi alamat itu akan ia datangi dan
kakaknya, ah sudahlah ia hanya mencoba, dalam hatinya pun tak sepenuhnya yakin
sebab itu sudah lama sekali, siapa tahu keluarganya pindah.
Akhirnya angkot berhenti,
sampailah ia di jalan kemang, raya turun dari angkot, matanya masih melirik
kanan kiri, ia baru sadar rupanya langit sudah semakin gelap, semoga
pencariannya usai malam ini juga.
Raya bertanya berkali-kali
pada orang yang lewat, tapi masih belum menemukan titik terang, sampai akhirnya
raya merasa kelelahan dan ia melihat ada keran air yang digunakan banyak orang
mencuci muka, ia segera melangkah ke arah tempat keran air, tepat saat
langkahnya berhenti di depan pagar bangunan itu, ada suara yang menggema keluar
dari sana, entah suara apa raya tak tahu, sejak kecil ia tak pernah mendengar
suara seperti ini, dan raya benar-benar dibuat terpukau dengan suara itu,
lembut, syahdu, dan damai, itulah yang ia rasakan. Setelah suara yang
mendamaikan itu berhenti, raya memasuki halaman bangunan itu, disana ada banyak
orang berkumpul laki-laki dan perempuan, yang laki-laki bergantian mencuci
wajah dan kakinya di keran air, dan perempuan memakai kain penutup kepala
berwarna putih berkumpul di bagian belakang, raya mulai merasa heran, apa
mungkin ada suatu acara di bangunan ini, tapi sepertinya ini bukan rumah karena
dilihat dari sisi manapun tak mirip rumah, lebih mirip bangunan-bangunan
sejarah yang pernah ia lihat di internet.
Raya tak peduli, ia terus
saja melangkah dan mendekati keran air tempat para laki-laki mencuci wajah dan
kakinya.
Belum sampai ia melepas tas
kecilnya, seorang laki-laki tua mendekatinya.
Nak,
kalau mau wudlu di sebelah sana ya, ini khusus laki-laki.
Ucap laki-laki tua itu
sambil menunjuk sebuah bangunan kecil tak jauh dari tempat keran air.
Ia hanya mengangguk saja,
apa tadi katanya wudlu? Wudlu itu apa lagi, raya semakin merasa heran berada di
bangunan itu.
Selepas ia mencuci wajahnya
ia masuk ke dalam bangunan itu, dan ia melihat ada seorang lelaki tua berdiri
seorang diri di depan banyak orang dalam bangunan dan sepertinya akan ada yang
ia sampaikan, karena merasa penasaran raya akhirnya duduk di belakang.
Banyak sekali yang lelaki
tua itu sampaikan sampai raya merasa mengantuk, sebab tak mengerti apa yang ia
sampaikan, tapi tetiba saja rasa kantuknya hilang saat ia mendengar dari
laki-laki tua itu kalimat “bagaimana bisa Ibrahim merelakan anaknya untuk
Tuhan, itulah qurban, sebuah ketundukan, ketaqwaan sungguh-sungguh, merelakan
sesuatu yang sejatinya bukan milik kita”.
Raya mulai tertarik, ia
mendengarkan dengan serius.
Jama’ah
pengajian, siapa diantara kita yang rela, yang ikhlas, yang mau orang yang
sangat disayangi diambil? Anak, masyaAllah, anak adalah hadiah terbesar untuk
kita semua bagaimana mungkin kita rela anak kita diambil, saya yakin tidak ada
orangtua yang mau merelakan anaknya, ditambah lagi anak yang kita relakan itu
harus kita sembelih, bayangkan disembelih? Kita pasti akan memilih lari dan
menolak keras.
Yah,
itulah kita memang tak pernah rela, bagaimana mungkin orang yang disayang
diambil, dalam hatinya raya bergumam sendiri. Ah kata-kata lelaki
tua itu dahsyat sekali, raya semakin bersemangat untuk terus menyimak kata-kata
lelaki tua di depan sana.
Tapi coba
jama’ah bayangkan, justru ketika anak yang akan disembelih tadi tiba-tiba saja
berubah menjadi seekor binatang, dan kemana si anak , dia selamat, masyaAllah
betapa hebatnya ibrahim, bahwa Allah hanya sedang mengujinya.
Itulah qurban,
sebuah ujian untuk seorang hamba, sejauhmana ketaqwaannya pada Tuhan dan
sejauhmana ia tunduk dan ikhlas merelakan sesuatu yang sejatinya bukan miliknya,
sebab di dunia segala hal, anak, istri, suami, harta semuanya hanya titipan
dari Allah.
Entah kenapa raya merasa ia
dibius total oleh lelaki tua itu, kata-kata yang keluar darinya begitu
menenangkan, damai, dan ternyata ada orang sehebat itu di dunia ini, siapa
tadi, ibrahim, ya ampun luar biasa sekali ibrahim. Kenapa dia begitu saja mau
menyembelih anaknya hanya karena itu permintaan Tuhan.
Raya merasakan ada sesuatu
yang berbeda dalam hatinya, banyak hal yang ingin ia tanyakan pada lelaki tua
itu, tentang hidupnya, tentang keadilan dan tentang bagaimana bisa seikhlas
ibrahim, ia ingin bertemu ibrahim jika bisa.
Selesai acara tadi, semua
orang bubar, dan dengan cepat raya menghampiri lelaki tua tadi.
Pak,
permisi, saya raya, boleh saya tanya beberapa hal pada bapak, sepertinya bapak
orang yang luar biasa.
Lelaki tua itu tersenyum mengiyakan,
ah senyum itu mendamaikan sekali, senyum seorang ayah yang ia impikan.
Dek raya,
apa tidak keberatan kalau bapak ajak ke rumah bapak saja, sambil kita makan
malam, bapak sudah lapar.
Tangan keriputnya menunjuk
perut sambil tersenyum dengan senyum mendamaikan.
Tentu saja raya mengiyakan,
dia juga sama, sudah lapar.
Sampai rumah bapak tua, ah
sumpah ini rumah atau istana, bangunan megah dihadapannya adalah rumah lelaki
tua ini, tapi lihatlah bapak tua ini, dia sederhana sekali, aku pikir bapak tua
itu hanya orang biasa.
Raya bergumam saja dalam
hati.
Mari dek
raya, anak dan istri saya sudah menunggu di dalam.
Sampai dalam rumah, betapa
terkejutnya raya akan kemegahan isi rumah, segalanya lengkap dan sangat mahal
pastinya.
Bu, arif,
ini ada tamu, ayo makan bersama.
Ah mungkin bapak tua itu
sedang memanggil anak dan istrinya.
Beberapa detik kemudian
seorang ibu paruh baya mengenakan penutup kepala keluar dari kamar, dan seorang
laki-laki dewasa turun dari tangga.
Siapa tamunya
abi?
Suara dari atas tangga
terdengar.
Ah itu mungkin anak
laki-lakinya.
Sampai akhirnya keduanya
berada dihadapan raya, betapa terkejutnya ia.
Dadanya bergemuruh,
tangannya gemetar, dan airmata menetes begitu saja, bibirnya tertutup, ia tak
bisa bicara.
Laki-laki yang dihadapannya
ini,..
Raya.
Namanya keluar dari bibir
anak laki-laki bapak tua itu.
Kakak.
Detik kemudian keduanya
saling berpelukan. Tuhan bapak, Tuhan anak, roh kudus, akhirnya aku bertemu kakakku.
Rupanya kakaknya memeluk Islam,
agama lain, bukan kristen, dan keyakinan mereka berbeda. Saat itu juga kak arif,
kakak satu-satunya itu mengenalkan Islam pada raya, ia menceritakan tentang
kisah ibrahim dan anaknya ismail.
Satu bulan kemudian
keyakinan menggenapkan niat raya, ia masuk Islam.
Ia menemukan cahaya lewat
qurban, lewat ibrahim, lewat ismail dan cerita tentang para Nabi, ah andai saja
mereka masih ada raya ingin sekali bertemu.
Raya akhirnya tahu mengapa
kedua orangtuanya diambil bahkan sebelum ia sempat bertemu, bukan karena Tuhan
tak adil, tapi justru karena Tuhan sayang pada kedua orangtuanya dan agar raya
bisa jadi hamba Tuhan yang baik.
Betul begitu
kak arif.
Senyum cantiknya kini
merekah, jilbab merah menutupi kepalanya...
26 September 2014
Refleksi qurban.
Terkadang kita terlalu
sering melupakan, menganggap remeh dan tidak mensyukuri tiap hal yang terjadi
dalam hidup kita, yah sering melupakan bahwa jawaban itu ada di sekitar kita
juga. Seperti malam ini. Seorang teman bercerita padaku, ah lagi-lagi aku
selalu menjadi pendengar, bagaimanapun aku memang suka orang lain memberikan
kepercayaan mereka padaku, walaupun sejauh ini aku tak bisa memberikan solusi
yang baik untuk mereka, tapi aku tahu mereka pasti sedikit lega dengan beban
yang mereka tanggung.
Nay, mas
pengen cerita.
Lalu mengalirlah cerita
menjadi anak sungai yang cukup panjang dan dalam, lagi-lagi soal hati dan
perasaan, ah kenapa harus melulu soal itu si, sebab masalahku pun demikian
sama.
Seseorang yang kupanggil mas
ini bercerita soal perjodohannya yang batal, dan ah dia ingin move on mencari
calon istri lain yang sekiranya bisa diajak nikah dalam waktu secepat ini,
begitu mudahnya berpindah hati pikirku. Tapi sebelum jauh pikiran burukku
berkembang menjadi virus negatif dia sudah menyanggah lebih dulu, dia bilang bukan
mudah move on tapi dia tak ingin terus menerus berada dalam kondisi yang
terpuruk sementara dia ingin segera menikah.
Bagaimana mungkin aku bisa
memberikan jawaban dengan seseorang yang ingin move on mencari sosok lain
sementara aku saja sampai hari ini masih terpuruk dalam sangkar harapan kosong
yang menyedihkan.
Bukan mas
cepat move on nay, tapi mas gak mau mikirin hal-hal yang tidak mungkin lagi
dipikirkan, mas gak mau terpuruk, mas gak ingin berharap sendirian.
Jleb. Ah tidak kata-katanya
benar-benar membunuhku perlahan, begitu menusuk sekali sampai aku lupa
bagaimana rasa sakitnya.
Mungkin inilah cara Tuhan
memberikanku pelajaran, jangan membuat harapan kosong sendiri di langit biru,
di tetes hujan yang membasahi jendela atau di jalanan lengang.
Selalu ada hikmah, ada
jawaban...
Tuhan, haruskah aku juga
membuka hatiku?
23 September 2014
Pakpayoon.
Langganan:
Postingan (Atom)