Jumat, 26 September 2014

Menemukan cahaya lewat qurban


Namanya raya, seorang gadis yang sejak kecil tinggal dan tumbuh di panti asuhan, saat ini ia sudah beranjak remaja, setidaknya ia sudah mulai mengerti tentang siapa dirinya dan kenapa ia hidup di panti sejak kecil. Kedua orangtuanya meninggal sejak ia masih kecil dan ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki tapi sayang sekali ia tak tahu kakak laki-lakinya berada dimana saat ini karena sejak kecil ia diadopsi oleh keluarga kaya dari kota besar dan dengan terpaksa raya ditinggalkan di panti asuhan.
Panti asuhan tempat ia tinggal dikelola oleh gereja, jadi setiap hari minggu semua anak panti diwajibkan berkunjung ke gereja, meminta pengampunan pada pastur dan memohon do’a, sementara di hari-hari biasanya ia bersekolah di sekolah khusus biarawati, santa maria namanya. Letak sekolahnya dekat dengan panti tempat ia tinggal.
Raya, berbeda dengan kebanyakan anak panti lainnya, ia selalu bertanya banyak hal pada pastur atau biarawati, tentang hidup, tentang Tuhan, tentang nasib dan takdir. Raya merasa sangat sedih bahwa selama hidupnya tak pernah bisa merasakan kasih sayang ayah ibunya sebab keduanya meninggal saat raya masih bayi. Ia selalu bertanya kenapa Tuhan begitu jahat, begitu tak adil mengambil dan merampas hak seseorang begitu saja bahkan sebelum ia tumbuh dewasa. Sudah sering ia habis dimarahi dan dipukul oleh biarawati di santa maria sebab pertanyaan-pertanyaan konyolnya dan menganggap Tuhan tak adil.
Pada hari-hari berikutnya raya semakin enggan pergi ke gereja, sebab ibadah yang sudah ia lakukan selama ini tak juga membuatnya damai dan merasakan kebaikan Tuhan, bahkan kakak satu-satunyamasih tak ada kabar juga.
Raya, kenapa tadi tidak pergi dengan teman-teman lainnya?
Tanya pengasuh panti, seorang ibu paruh baya yang hanya membalas dengan senyuman bila raya bertanya ini itu soal hidup dan lain hal.
Kalau raya bisa bertemu abang, raya baru mau pergi ke gereja.
Seperti itulah jawaban raya setiap kali ditanya mengapa enggan pergi ke gereja.
Hari-hari berlalu begitu saja, dan tentu saja raya tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan penuh tanya dalam hidupnya.
Suatu hari raya bertekad mencari kakak laki-lakinya ke kota besar, dulu memang sempat keluarga yang mengadopsi kakaknya meninggalkan alamat, sudah sejak dulu raya ingin mencari tapi dulu ia masih kecil dan belum memiliki keberanian pergi ke kota besar apalagi tak ada orang yang dikenal. Ia mohon pamit pada pengasuh panti, kalau-kalau ia tak bisa menemukan kakaknya mungkin ia akan kembali, tapi bila ia tak juga kembali anggap saja ia sudah bertemu dengan kakaknya, begitulah pesan raya pada ibu pengasuh panti.
Perjalanan pun dimulai, raya pergi ke kota besar dengan berbekal alamat yang ia sendiri tak pernah tahu dan tak pernah ia kunjungi sebelumnya, peta kota besar sudah ia pegang, ia hanya perlu sering bertanya pada orang yang lewat atau pedagang di pinggir jalan.
Dari pagi sampai sore ia mencari, peluh keringat sudah sejak tadi membasahi bajunya, perutnya yang kosong sudah berteriak minta diisi, akhirnya ia beristirahat sejenak di sebuah warung makan sederhana.
Baru beberapa suap saja ia makan, tiba-tiba saja ia mendadak berhenti, sendok yang akan disuapi mulutnya tertahan, baru saja ia mendengar nama jalan yang ia cari sejak pagi disebut-sebut oleh ibu penjual makan. Dan dengan segera raya bertanya dimana letak jalan yang ibu penjual maksud, jalan kemang, itulah naman jalan alamat dari keluarga yang mengadopsi kakaknya.
Raya lupa makannya belum usai, tapi ia segera berlari mencari angkot, dengan wajah yang sedikit lega ia bisa bernafas, setidaknya sebentar lagi alamat itu akan ia datangi dan kakaknya, ah sudahlah ia hanya mencoba, dalam hatinya pun tak sepenuhnya yakin sebab itu sudah lama sekali, siapa tahu keluarganya pindah.
Akhirnya angkot berhenti, sampailah ia di jalan kemang, raya turun dari angkot, matanya masih melirik kanan kiri, ia baru sadar rupanya langit sudah semakin gelap, semoga pencariannya usai malam ini juga.
Raya bertanya berkali-kali pada orang yang lewat, tapi masih belum menemukan titik terang, sampai akhirnya raya merasa kelelahan dan ia melihat ada keran air yang digunakan banyak orang mencuci muka, ia segera melangkah ke arah tempat keran air, tepat saat langkahnya berhenti di depan pagar bangunan itu, ada suara yang menggema keluar dari sana, entah suara apa raya tak tahu, sejak kecil ia tak pernah mendengar suara seperti ini, dan raya benar-benar dibuat terpukau dengan suara itu, lembut, syahdu, dan damai, itulah yang ia rasakan. Setelah suara yang mendamaikan itu berhenti, raya memasuki halaman bangunan itu, disana ada banyak orang berkumpul laki-laki dan perempuan, yang laki-laki bergantian mencuci wajah dan kakinya di keran air, dan perempuan memakai kain penutup kepala berwarna putih berkumpul di bagian belakang, raya mulai merasa heran, apa mungkin ada suatu acara di bangunan ini, tapi sepertinya ini bukan rumah karena dilihat dari sisi manapun tak mirip rumah, lebih mirip bangunan-bangunan sejarah yang pernah ia lihat di internet.
Raya tak peduli, ia terus saja melangkah dan mendekati keran air tempat para laki-laki mencuci wajah dan kakinya.
Belum sampai ia melepas tas kecilnya, seorang laki-laki tua mendekatinya.
Nak, kalau mau wudlu di sebelah sana ya, ini khusus laki-laki.
Ucap laki-laki tua itu sambil menunjuk sebuah bangunan kecil tak jauh dari tempat keran air.
Ia hanya mengangguk saja, apa tadi katanya wudlu? Wudlu itu apa lagi, raya semakin merasa heran berada di bangunan itu.
Selepas ia mencuci wajahnya ia masuk ke dalam bangunan itu, dan ia melihat ada seorang lelaki tua berdiri seorang diri di depan banyak orang dalam bangunan dan sepertinya akan ada yang ia sampaikan, karena merasa penasaran raya akhirnya duduk di belakang.
Banyak sekali yang lelaki tua itu sampaikan sampai raya merasa mengantuk, sebab tak mengerti apa yang ia sampaikan, tapi tetiba saja rasa kantuknya hilang saat ia mendengar dari laki-laki tua itu kalimat “bagaimana bisa Ibrahim merelakan anaknya untuk Tuhan, itulah qurban, sebuah ketundukan, ketaqwaan sungguh-sungguh, merelakan sesuatu yang sejatinya bukan milik kita”.
Raya mulai tertarik, ia mendengarkan dengan serius.
Jama’ah pengajian, siapa diantara kita yang rela, yang ikhlas, yang mau orang yang sangat disayangi diambil? Anak, masyaAllah, anak adalah hadiah terbesar untuk kita semua bagaimana mungkin kita rela anak kita diambil, saya yakin tidak ada orangtua yang mau merelakan anaknya, ditambah lagi anak yang kita relakan itu harus kita sembelih, bayangkan disembelih? Kita pasti akan memilih lari dan menolak keras.
Yah, itulah kita memang tak pernah rela, bagaimana mungkin orang yang disayang diambil, dalam hatinya raya bergumam sendiri. Ah kata-kata lelaki tua itu dahsyat sekali, raya semakin bersemangat untuk terus menyimak kata-kata lelaki tua di depan sana.
Tapi coba jama’ah bayangkan, justru ketika anak yang akan disembelih tadi tiba-tiba saja berubah menjadi seekor binatang, dan kemana si anak , dia selamat, masyaAllah betapa hebatnya ibrahim, bahwa Allah hanya sedang mengujinya.
Itulah qurban, sebuah ujian untuk seorang hamba, sejauhmana ketaqwaannya pada Tuhan dan sejauhmana ia tunduk dan ikhlas merelakan sesuatu yang sejatinya bukan miliknya, sebab di dunia segala hal, anak, istri, suami, harta semuanya hanya titipan dari Allah.
Entah kenapa raya merasa ia dibius total oleh lelaki tua itu, kata-kata yang keluar darinya begitu menenangkan, damai, dan ternyata ada orang sehebat itu di dunia ini, siapa tadi, ibrahim, ya ampun luar biasa sekali ibrahim. Kenapa dia begitu saja mau menyembelih anaknya hanya karena itu permintaan Tuhan.
Raya merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam hatinya, banyak hal yang ingin ia tanyakan pada lelaki tua itu, tentang hidupnya, tentang keadilan dan tentang bagaimana bisa seikhlas ibrahim, ia ingin bertemu ibrahim jika bisa.
Selesai acara tadi, semua orang bubar, dan dengan cepat raya menghampiri lelaki tua tadi.
Pak, permisi, saya raya, boleh saya tanya beberapa hal pada bapak, sepertinya bapak orang yang luar biasa.
Lelaki tua itu tersenyum mengiyakan, ah senyum itu mendamaikan sekali, senyum seorang ayah yang ia impikan.
Dek raya, apa tidak keberatan kalau bapak ajak ke rumah bapak saja, sambil kita makan malam, bapak sudah lapar.
Tangan keriputnya menunjuk perut sambil tersenyum dengan senyum mendamaikan.
Tentu saja raya mengiyakan, dia juga sama, sudah lapar.
Sampai rumah bapak tua, ah sumpah ini rumah atau istana, bangunan megah dihadapannya adalah rumah lelaki tua ini, tapi lihatlah bapak tua ini, dia sederhana sekali, aku pikir bapak tua itu hanya orang biasa.
Raya bergumam saja dalam hati.
Mari dek raya, anak dan istri saya sudah menunggu di dalam.
Sampai dalam rumah, betapa terkejutnya raya akan kemegahan isi rumah, segalanya lengkap dan sangat mahal pastinya.
Bu, arif, ini ada tamu, ayo makan bersama.
Ah mungkin bapak tua itu sedang memanggil anak dan istrinya.
Beberapa detik kemudian seorang ibu paruh baya mengenakan penutup kepala keluar dari kamar, dan seorang laki-laki dewasa turun dari tangga.
Siapa tamunya abi?
Suara dari atas tangga terdengar.
Ah itu mungkin anak laki-lakinya.
Sampai akhirnya keduanya berada dihadapan raya, betapa terkejutnya ia.
Dadanya bergemuruh, tangannya gemetar, dan airmata menetes begitu saja, bibirnya tertutup, ia tak bisa bicara.
Laki-laki yang dihadapannya ini,..
Raya.
Namanya keluar dari bibir anak laki-laki bapak tua itu.
Kakak.
Detik kemudian keduanya saling berpelukan. Tuhan bapak, Tuhan anak, roh kudus, akhirnya aku bertemu kakakku.
Rupanya kakaknya memeluk Islam, agama lain, bukan kristen, dan keyakinan mereka berbeda. Saat itu juga kak arif, kakak satu-satunya itu mengenalkan Islam pada raya, ia menceritakan tentang kisah ibrahim dan anaknya ismail.
Satu bulan kemudian keyakinan menggenapkan niat raya, ia masuk Islam.
Ia menemukan cahaya lewat qurban, lewat ibrahim, lewat ismail dan cerita tentang para Nabi, ah andai saja mereka masih ada raya ingin sekali bertemu.
Raya akhirnya tahu mengapa kedua orangtuanya diambil bahkan sebelum ia sempat bertemu, bukan karena Tuhan tak adil, tapi justru karena Tuhan sayang pada kedua orangtuanya dan agar raya bisa jadi hamba Tuhan yang baik.
Betul begitu kak arif.
Senyum cantiknya kini merekah, jilbab merah menutupi kepalanya...



26 September 2014
Refleksi qurban.


0 komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda dengan postingan saya?

 
;