Namanya raya, seorang gadis
yang sejak kecil tinggal dan tumbuh di panti asuhan, saat ini ia sudah beranjak
remaja, setidaknya ia sudah mulai mengerti tentang siapa dirinya dan kenapa ia
hidup di panti sejak kecil. Kedua orangtuanya meninggal sejak ia masih kecil
dan ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki tapi sayang sekali ia tak tahu
kakak laki-lakinya berada dimana saat ini karena sejak kecil ia diadopsi oleh
keluarga kaya dari kota besar dan dengan terpaksa raya ditinggalkan di panti
asuhan.
Panti asuhan tempat ia
tinggal dikelola oleh gereja, jadi setiap hari minggu semua anak panti
diwajibkan berkunjung ke gereja, meminta pengampunan pada pastur dan memohon do’a,
sementara di hari-hari biasanya ia bersekolah di sekolah khusus biarawati,
santa maria namanya. Letak sekolahnya dekat dengan panti tempat ia tinggal.
Raya, berbeda dengan
kebanyakan anak panti lainnya, ia selalu bertanya banyak hal pada pastur atau
biarawati, tentang hidup, tentang Tuhan, tentang nasib dan takdir. Raya merasa
sangat sedih bahwa selama hidupnya tak pernah bisa merasakan kasih sayang ayah
ibunya sebab keduanya meninggal saat raya masih bayi. Ia selalu bertanya kenapa
Tuhan begitu jahat, begitu tak adil mengambil dan merampas hak seseorang begitu
saja bahkan sebelum ia tumbuh dewasa. Sudah sering ia habis dimarahi dan
dipukul oleh biarawati di santa maria sebab pertanyaan-pertanyaan konyolnya dan
menganggap Tuhan tak adil.
Pada hari-hari berikutnya
raya semakin enggan pergi ke gereja, sebab ibadah yang sudah ia lakukan selama
ini tak juga membuatnya damai dan merasakan kebaikan Tuhan, bahkan kakak
satu-satunyamasih tak ada kabar juga.
Raya,
kenapa tadi tidak pergi dengan teman-teman lainnya?
Tanya pengasuh panti,
seorang ibu paruh baya yang hanya membalas dengan senyuman bila raya bertanya
ini itu soal hidup dan lain hal.
Kalau raya
bisa bertemu abang, raya baru mau pergi ke gereja.
Seperti itulah jawaban raya
setiap kali ditanya mengapa enggan pergi ke gereja.
Hari-hari berlalu begitu
saja, dan tentu saja raya tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan penuh
tanya dalam hidupnya.
Suatu hari raya bertekad
mencari kakak laki-lakinya ke kota besar, dulu memang sempat keluarga yang
mengadopsi kakaknya meninggalkan alamat, sudah sejak dulu raya ingin mencari
tapi dulu ia masih kecil dan belum memiliki keberanian pergi ke kota besar
apalagi tak ada orang yang dikenal. Ia mohon pamit pada pengasuh panti,
kalau-kalau ia tak bisa menemukan kakaknya mungkin ia akan kembali, tapi bila
ia tak juga kembali anggap saja ia sudah bertemu dengan kakaknya, begitulah
pesan raya pada ibu pengasuh panti.
Perjalanan pun dimulai, raya
pergi ke kota besar dengan berbekal alamat yang ia sendiri tak pernah tahu dan
tak pernah ia kunjungi sebelumnya, peta kota besar sudah ia pegang, ia hanya
perlu sering bertanya pada orang yang lewat atau pedagang di pinggir jalan.
Dari pagi sampai sore ia
mencari, peluh keringat sudah sejak tadi membasahi bajunya, perutnya yang
kosong sudah berteriak minta diisi, akhirnya ia beristirahat sejenak di sebuah
warung makan sederhana.
Baru beberapa suap saja ia
makan, tiba-tiba saja ia mendadak berhenti, sendok yang akan disuapi mulutnya
tertahan, baru saja ia mendengar nama jalan yang ia cari sejak pagi
disebut-sebut oleh ibu penjual makan. Dan dengan segera raya bertanya dimana
letak jalan yang ibu penjual maksud, jalan kemang, itulah naman jalan alamat
dari keluarga yang mengadopsi kakaknya.
Raya lupa makannya belum
usai, tapi ia segera berlari mencari angkot, dengan wajah yang sedikit lega ia
bisa bernafas, setidaknya sebentar lagi alamat itu akan ia datangi dan
kakaknya, ah sudahlah ia hanya mencoba, dalam hatinya pun tak sepenuhnya yakin
sebab itu sudah lama sekali, siapa tahu keluarganya pindah.
Akhirnya angkot berhenti,
sampailah ia di jalan kemang, raya turun dari angkot, matanya masih melirik
kanan kiri, ia baru sadar rupanya langit sudah semakin gelap, semoga
pencariannya usai malam ini juga.
Raya bertanya berkali-kali
pada orang yang lewat, tapi masih belum menemukan titik terang, sampai akhirnya
raya merasa kelelahan dan ia melihat ada keran air yang digunakan banyak orang
mencuci muka, ia segera melangkah ke arah tempat keran air, tepat saat
langkahnya berhenti di depan pagar bangunan itu, ada suara yang menggema keluar
dari sana, entah suara apa raya tak tahu, sejak kecil ia tak pernah mendengar
suara seperti ini, dan raya benar-benar dibuat terpukau dengan suara itu,
lembut, syahdu, dan damai, itulah yang ia rasakan. Setelah suara yang
mendamaikan itu berhenti, raya memasuki halaman bangunan itu, disana ada banyak
orang berkumpul laki-laki dan perempuan, yang laki-laki bergantian mencuci
wajah dan kakinya di keran air, dan perempuan memakai kain penutup kepala
berwarna putih berkumpul di bagian belakang, raya mulai merasa heran, apa
mungkin ada suatu acara di bangunan ini, tapi sepertinya ini bukan rumah karena
dilihat dari sisi manapun tak mirip rumah, lebih mirip bangunan-bangunan
sejarah yang pernah ia lihat di internet.
Raya tak peduli, ia terus
saja melangkah dan mendekati keran air tempat para laki-laki mencuci wajah dan
kakinya.
Belum sampai ia melepas tas
kecilnya, seorang laki-laki tua mendekatinya.
Nak,
kalau mau wudlu di sebelah sana ya, ini khusus laki-laki.
Ucap laki-laki tua itu
sambil menunjuk sebuah bangunan kecil tak jauh dari tempat keran air.
Ia hanya mengangguk saja,
apa tadi katanya wudlu? Wudlu itu apa lagi, raya semakin merasa heran berada di
bangunan itu.
Selepas ia mencuci wajahnya
ia masuk ke dalam bangunan itu, dan ia melihat ada seorang lelaki tua berdiri
seorang diri di depan banyak orang dalam bangunan dan sepertinya akan ada yang
ia sampaikan, karena merasa penasaran raya akhirnya duduk di belakang.
Banyak sekali yang lelaki
tua itu sampaikan sampai raya merasa mengantuk, sebab tak mengerti apa yang ia
sampaikan, tapi tetiba saja rasa kantuknya hilang saat ia mendengar dari
laki-laki tua itu kalimat “bagaimana bisa Ibrahim merelakan anaknya untuk
Tuhan, itulah qurban, sebuah ketundukan, ketaqwaan sungguh-sungguh, merelakan
sesuatu yang sejatinya bukan milik kita”.
Raya mulai tertarik, ia
mendengarkan dengan serius.
Jama’ah
pengajian, siapa diantara kita yang rela, yang ikhlas, yang mau orang yang
sangat disayangi diambil? Anak, masyaAllah, anak adalah hadiah terbesar untuk
kita semua bagaimana mungkin kita rela anak kita diambil, saya yakin tidak ada
orangtua yang mau merelakan anaknya, ditambah lagi anak yang kita relakan itu
harus kita sembelih, bayangkan disembelih? Kita pasti akan memilih lari dan
menolak keras.
Yah,
itulah kita memang tak pernah rela, bagaimana mungkin orang yang disayang
diambil, dalam hatinya raya bergumam sendiri. Ah kata-kata lelaki
tua itu dahsyat sekali, raya semakin bersemangat untuk terus menyimak kata-kata
lelaki tua di depan sana.
Tapi coba
jama’ah bayangkan, justru ketika anak yang akan disembelih tadi tiba-tiba saja
berubah menjadi seekor binatang, dan kemana si anak , dia selamat, masyaAllah
betapa hebatnya ibrahim, bahwa Allah hanya sedang mengujinya.
Itulah qurban,
sebuah ujian untuk seorang hamba, sejauhmana ketaqwaannya pada Tuhan dan
sejauhmana ia tunduk dan ikhlas merelakan sesuatu yang sejatinya bukan miliknya,
sebab di dunia segala hal, anak, istri, suami, harta semuanya hanya titipan
dari Allah.
Entah kenapa raya merasa ia
dibius total oleh lelaki tua itu, kata-kata yang keluar darinya begitu
menenangkan, damai, dan ternyata ada orang sehebat itu di dunia ini, siapa
tadi, ibrahim, ya ampun luar biasa sekali ibrahim. Kenapa dia begitu saja mau
menyembelih anaknya hanya karena itu permintaan Tuhan.
Raya merasakan ada sesuatu
yang berbeda dalam hatinya, banyak hal yang ingin ia tanyakan pada lelaki tua
itu, tentang hidupnya, tentang keadilan dan tentang bagaimana bisa seikhlas
ibrahim, ia ingin bertemu ibrahim jika bisa.
Selesai acara tadi, semua
orang bubar, dan dengan cepat raya menghampiri lelaki tua tadi.
Pak,
permisi, saya raya, boleh saya tanya beberapa hal pada bapak, sepertinya bapak
orang yang luar biasa.
Lelaki tua itu tersenyum mengiyakan,
ah senyum itu mendamaikan sekali, senyum seorang ayah yang ia impikan.
Dek raya,
apa tidak keberatan kalau bapak ajak ke rumah bapak saja, sambil kita makan
malam, bapak sudah lapar.
Tangan keriputnya menunjuk
perut sambil tersenyum dengan senyum mendamaikan.
Tentu saja raya mengiyakan,
dia juga sama, sudah lapar.
Sampai rumah bapak tua, ah
sumpah ini rumah atau istana, bangunan megah dihadapannya adalah rumah lelaki
tua ini, tapi lihatlah bapak tua ini, dia sederhana sekali, aku pikir bapak tua
itu hanya orang biasa.
Raya bergumam saja dalam
hati.
Mari dek
raya, anak dan istri saya sudah menunggu di dalam.
Sampai dalam rumah, betapa
terkejutnya raya akan kemegahan isi rumah, segalanya lengkap dan sangat mahal
pastinya.
Bu, arif,
ini ada tamu, ayo makan bersama.
Ah mungkin bapak tua itu
sedang memanggil anak dan istrinya.
Beberapa detik kemudian
seorang ibu paruh baya mengenakan penutup kepala keluar dari kamar, dan seorang
laki-laki dewasa turun dari tangga.
Siapa tamunya
abi?
Suara dari atas tangga
terdengar.
Ah itu mungkin anak
laki-lakinya.
Sampai akhirnya keduanya
berada dihadapan raya, betapa terkejutnya ia.
Dadanya bergemuruh,
tangannya gemetar, dan airmata menetes begitu saja, bibirnya tertutup, ia tak
bisa bicara.
Laki-laki yang dihadapannya
ini,..
Raya.
Namanya keluar dari bibir
anak laki-laki bapak tua itu.
Kakak.
Detik kemudian keduanya
saling berpelukan. Tuhan bapak, Tuhan anak, roh kudus, akhirnya aku bertemu kakakku.
Rupanya kakaknya memeluk Islam,
agama lain, bukan kristen, dan keyakinan mereka berbeda. Saat itu juga kak arif,
kakak satu-satunya itu mengenalkan Islam pada raya, ia menceritakan tentang
kisah ibrahim dan anaknya ismail.
Satu bulan kemudian
keyakinan menggenapkan niat raya, ia masuk Islam.
Ia menemukan cahaya lewat
qurban, lewat ibrahim, lewat ismail dan cerita tentang para Nabi, ah andai saja
mereka masih ada raya ingin sekali bertemu.
Raya akhirnya tahu mengapa
kedua orangtuanya diambil bahkan sebelum ia sempat bertemu, bukan karena Tuhan
tak adil, tapi justru karena Tuhan sayang pada kedua orangtuanya dan agar raya
bisa jadi hamba Tuhan yang baik.
Betul begitu
kak arif.
Senyum cantiknya kini
merekah, jilbab merah menutupi kepalanya...
26 September 2014
Refleksi qurban.
0 komentar:
Posting Komentar