Hei, disini hujan deras loh, disana gimana? Kau sedang
apa, seperti biasa saat hujan deras begini, aku mendekati jendela, melepas uap
disana, lalu menuliskan nama kita, namamu, namaku dan melingkari nama kita.
Disini teramat panas, polusi udara, bulir keringat memenuhi dahiku, untung
saja jilbab biru hadiah darimu menutupinya.
Hei hei, hari ini gerimis, aku berharap deras, tapi
kupikir gerimis sudah cukup mewakili kerinduanku. Kau sedang apa, lagi-lagi kutadangkan
tanganku ke langit, kupejamkan mataku, saat itu aku merasa kau sedang berada
disisiku, kita menadangkan tangan pada langit yang sama.
Namun saat mataku terbuka, aku sadar tidak ada
siapa-siapa, tidak ada dirimu disisiku.
Kapan ya hujan,
dari kemarin cuaca panas terus. Siang malam tidak bisa tidur, jalanan selalu
ramai, bising dan tak bersahabat.
Hei, langit kita ternyata berbeda, kita terpisah atap
biru dan putih, meski arak awan terus berjalan tapi tetap saja, kau dengan
jarak berkilo-kilo dari inderaku dan aku jauh lebih dekat dari pikiranmu. Itu
karena kau terlalu sering memikirkanku hingga aku merasa teramat dekat meski
berbeda langit.
Bagaimana caranya ya supaya langit kita sama?
Aku belum menemukan teori terbaru ni, apa kau ada
masukan, jika langit kita sama, maka aku tak perlu menuliskan nama kita
sendirian di kaca, aku tak perlu menadangkan tangan menunggu tetes gerimis
sendirian di taman, karena kau pun melakukannya.
Bagaimana caranya ya supaya langit kita sama ?
Aku ada masukan, kita hanya perlu membuat atap baru, yang
tidak lagi berwarna biru dan putih saja.
Lalu, atap seperti apa?
Em, sebentar kupikirkan, sepertinya genteng rumah lebih
tepat.
Hah? Haha... maksudmu?
Iya iya aku tahu, atap rumah.
Ah, kau ini bisa saja, kita mau satu rumah, bagaimana bisa ?
Kenapa? Apa ada masalah ?
Kita bahkan tidak tahu, apakah hati kita sama atau tidak.
12 April 2013
10.27
0 komentar:
Posting Komentar