Kamis, 11 April 2013

Langit kita beda, bagaimana dengan hati kita ??



Hei, disini hujan deras loh, disana gimana? Kau sedang apa, seperti biasa saat hujan deras begini, aku mendekati jendela, melepas uap disana, lalu menuliskan nama kita, namamu, namaku dan melingkari nama kita.

Disini teramat panas, polusi udara, bulir keringat memenuhi dahiku, untung saja jilbab biru hadiah darimu menutupinya. 

Hei hei, hari ini gerimis, aku berharap deras, tapi kupikir gerimis sudah cukup mewakili kerinduanku. Kau sedang apa, lagi-lagi kutadangkan tanganku ke langit, kupejamkan mataku, saat itu aku merasa kau sedang berada disisiku, kita menadangkan tangan pada langit yang sama.
Namun saat mataku terbuka, aku sadar tidak ada siapa-siapa, tidak ada dirimu disisiku. 

Kapan ya hujan, dari kemarin cuaca panas terus. Siang malam tidak bisa tidur, jalanan selalu ramai, bising dan tak bersahabat. 

Hei, langit kita ternyata berbeda, kita terpisah atap biru dan putih, meski arak awan terus berjalan tapi tetap saja, kau dengan jarak berkilo-kilo dari inderaku dan aku jauh lebih dekat dari pikiranmu. Itu karena kau terlalu sering memikirkanku hingga aku merasa teramat dekat meski berbeda langit.
Bagaimana caranya ya supaya langit kita sama? 

Aku belum menemukan teori terbaru ni, apa kau ada masukan, jika langit kita sama, maka aku tak perlu menuliskan nama kita sendirian di kaca, aku tak perlu menadangkan tangan menunggu tetes gerimis sendirian di taman, karena kau pun melakukannya. 

Bagaimana caranya ya supaya langit kita sama ?

Aku ada masukan, kita hanya perlu membuat atap baru, yang tidak lagi berwarna biru dan putih saja. 

Lalu, atap seperti apa?

Em, sebentar kupikirkan, sepertinya genteng rumah lebih tepat

Hah? Haha... maksudmu?

Iya iya aku tahu, atap rumah. 

Ah, kau ini bisa saja, kita mau satu rumah, bagaimana bisa ?

Kenapa? Apa ada masalah ?

Kita bahkan tidak tahu, apakah hati kita sama atau tidak.


12 April 2013
10.27

0 komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda dengan postingan saya?

 
;