Hari itu, dengan bermodalkan
keridhoan keluarga dan dukungan orang-orang, saya terus saja berjalan, karena
saya tahu apa yang kita lakukan tanpa ridho orangtua hanya akan sia-sia. Tanpa bekal
yang cukup, tanpa modal yang kuat, saya begitu percaya diri berjalan, entah,
sepertinya do’a umi tak terbantahkan di hadapan Tuhan.
Hari itu, hanya bermodalkan
kepercayaan diri, saya menetapkan pilihan, memilih jogjakarta sebagai bagian
dari jalan yang harus saya lalui, meskipun dengan banyak argumen bahwa orang-orang
yang belajar agama murni hanya segelintir, kurangnya ulama perempuan, dan
seabreg alasan, hati saya separuh menginginkan tempat lain, egoisme itu muncul,
bukankah wajar bila kita hanya ingin melakukan hal-hal yang kita sukai saja,
tapi permintaan umi tak bisa ditolak, dengan mengatas namakan seseorang yang
dengan alasan apapun, saya pasti akan melakukannya.
Sampai jogja, banyak orang
yang saya temui mengeluarkan airmatanya, hanya beberapa orang saja yang
keyakinannya masih bulat, sisanya sudah mencair, perlahan-lahan. Orang berlomba
menangis entah karena alasan apa, yang saya tahu jika karena sedih berpisah
dengan keluarga itu tak berguna, toh sejak kecil saya sudah terbiasa berpisah,
apalagi yang perlu saya tangisi. Ternyata toh sekeras apapun hati seorang
perempuan, tetap saja, mengeluarkan airmata adalah satu-satunya luapan emosi
paling manjur, saya juga menangis, tidak bukan karena alasan sedih berpisah
dengan keluarga, saya menangis, karena ternyata dunia baru yang saya begitu
percaya diri, saya tak lolos di dalamnya, sejak itu saya sadar betul, saya tak
punya apa-apa, tak bisa apa-apa, dan tak tahu apa-apa.
Sepertinya Tuhan masih
menyayangi saya, ada harapan kecil, ada kesempatan kecil untuk saya meraihnya. Sejak
itu, saya baru merasakan kerasnya belajar, kerasnya perjuangan, sejak dulu saya
telah terbiasa hidup santai, dan pilihan umi membuat saya harus berjuang dari
nol. Tak ada yang bisa disalahkan, toh memang sudah hukum alam bila
menginginkan sesuatu maka kita harus berusaha keras memperolehnya, tak peduli
harus sesulit apa kita menjalaninya.
Berat sebenarnya, melakukan
hal yang bukan saya inginkan, tapi ingatan tentang abi dan umi membuat beban
itu meluap perlahan-lahan, semoga ini menjadi bakti saya untuk mereka.
Ya, sejak itu saya mulai
berubah, tidak mudah memang, saya yang tak suka hidup diatur, saya yang suka
dengan kebebasan, saya yang sangat keras kepala dan egois, bertemu dan
berinteraksi dengan orang-orang yang memacu adrenalin dan keegoisan saya, semua
itu amat berat awalnya, tapi lagi-lagi saya memilih kesini, adalah ingin
berubah dan menjadi seseorang yang diimpikan oleh dia, seseorang yang cintanya
tak pernah habis.
Sejak itu saya bahkan lupa
rasanya kehilangan semangat, atau semangat yang putus nyambung, setiap kali
orang-orang menjatuhkan, saya bisa langsung berdiri tegak dengan cepat, saya
bisa bangkit tanpa uluran tangan, entah kenapa semangat yang besar itu pernah
saya miliki dan saya mampu mempertahankannya.
Lalu kehidupan di satu fase
ini berakhir begitu saja, banyak hal yang sudah berubah, sikap, penampilan,
gaya, kepercayaan diri, pola pikir, bahkan mungkin berat badan, selama 3 tahun
berubah.
Hidup tak pernah berhenti,
ia terus maju melaju..
Fase berikutnya, yang harus
saya lalui.
Banyak hal yang berbeda,
saya harus membiasakan diri lagi dengan fase ini, karena saya tahu yang saat
ini saya miliki bisa saja tidak cocok atau tidak pas dengan apa yang ada dalam
fase kedua ini.
Semangat yang besar dan
entah darimana asalnya itu, awalnya masih kuat sekali ada, ia masih bersemayam,
dan tak hilang dengan cepat. Satu waktu, dua waktu, sampai waktu berikutnya
muncul, ia menjadi samar-samar, dan hari itu, saya tak bisa menjelaskan
keadaannya, ia hilang, redup, bahkan sempat mati sesaat.
Saya sadar betul, hidup
harus terus berjalan, saya berusaha menata kembali, mengingat kembali bagaimana
saya bisa mendapatkan semangat yang luar biasa itu, namun, sampai hari ini saya
lupa, saya lupa harus bagaimana mendapatkan kembali semangat yang bisa
menggenapkan harapan besar seseorang yang cintanya tak pernah habis itu.
Tuhan, bantu saya
menemukannya...
Persada, 13 Februari 2014
23.36