Mempertanyakan kembali keadilan sahabat apakah sebuah kesalahan?
Apakah kita meragukan kualitas sahabat sebagai seseorang yang oleh Allah dan
RasulNya dimuliakan? Pertanyaan ini telah banyak dilontarkan oleh umat islam
yang menganggap tidak layak meragukan
kualitas sahabat, menurutnya
kebenaran Nabi dan al Qur’an disampaikan kepada umat manusia lewat sahabat,
oleh karena itu, siapapun yang mempertanyakan otoritas sahabat sama saja dengan
mereka menolak al Qur’an dan Sunnah (Fu’ad Jabali, Sahabat Nabi, Cet I
Desember 2010, Jakarta: Mizan, Hal 41) karena mereka adalah orang-orang yang hidup
semasa dengan Nabi Saw dalam keadaan islam
dan wafat dalam keadaan islam (Fu’ad Jabali, Sahabat Nabi, Cet I
Desember 2010, Jakarta: Mizan Hal 48), Mereka adalah orang-orang yang Nabi janjikan
masuk syurga, mereka adalah orang-orang yang membela Nabi dan memperjuangkan
islam sampai titik paling akhir.
Sahabat memang orang-orang yang mulia, akan
tetapi mereka bukanlah orang yang Ma’shum (Terpelihara dari kekeliruan dan
kesalahan),(Lihat Dr.Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi kritik matan
hadis, Cet I April 2004, Jakarta : Gaya Media Pratama, Hal 47). Kebenaran inilah
yang telah banyak dilupakan oleh umat islam, mereka mengira bahwa sahabat itu
bebas dari dosa, apapun yang sahabat katakan dan apapun hadis yang sahabat
riwayatkan semua dianggap Shahih dan harus diterima, umat islam melupakan satu
hal yang menjadikan mereka terlalu berlebihan mengagungkan sahabat sehingga
pada akhirnya kesalahan dan kekeliruan sahabat ditutupi dan dianggap benar.
Efek dari sikap menganggap sahabat sebagai
seorang yang Ma’shum dan tidak pernah salah, pada akhirnya membuat kita
akan jatuh pada sikap menganggap rendah kualitas mereka, karena usaha sahabat
mengorbankan dan membela Nabi Saw bukan sebuah usaha kemanusiaan yang
sesungguhnya, akan tetapi kekuatan Tuhan yang sudah diberikan pada mereka,
selain itu, jika mereka adalah orang-orang yang diberikan kekuatan khusus oleh
Tuhan, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk mengikutinya, karena tidak
masuk akal mengikuti makhluk yang secara khusus diberikan kekuatan oleh Tuhan.(Fu’ad
Jabali, Sahabat Nabi, Cet I Desember 2010, Jakarta: Mizan, Hal XIVI)
Dalam beberapa ayat dalam al Qur’an terdapat
penyebutan kemuliaan-kemuliaan sahabat dan keutaman mereka. Merupakan kewajiban
bagi kita umat Islam untuk mentaatinya dan mempercayai mereka sebagaimana kita
taat pada Nabi Saw. Dalam surat Al Fath (48) : 29 Allah Swt berfirman :
Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat
dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia
dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Kemudian dalam surat At Taubah (9) : 100
Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar.
Kemudian dalam Sunnah Nabawiyah pun terdapat
pernyataan-pernyataan Nabi tentang kemuliaan sahabat :
Hadis riwayat Bukhori :
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku,
kemudian berikutnya dan kemudian berikutnya... “ (Shahih Bukhari Juz III Hal
171, No 2651,2652,Juz 5, Hal 2 No 3650 )
Terlepas dari semua penyebutan yang terdapat
dalam Al Quran juga dalam Sunnah Nabawiyyah, bahwa sahabat adalah orang-orang
yang dimuliakan, perlu kita ketahui bahwa dalam beberapa sumber sejarah dan
karya-karya para ulama hadis yang membahas tentang sahabat, ternyata sahabat telah
banyak melakukan kekeliruan- kekeliruan yang termasuk fatal (Dr.Salahudin
ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi kritik matan hadis, Cet I April 2004, Jakarta :
Gaya Media Pratama, Hal 46-47).
Ibn Sa’ad, seorang ulama ahli hadis sekaligus
sejarawan yang hidup pada abad ke-2 H/8 M memberikan banyak kesaksian tentang
hal ini, mulai dari Umar yang sangat galak sampai Utsman yang sangat lembut,
ada sahabat yang gemar makan seperti Shuhaib bin Sinan, dan ketika Umar
menegurnya, dia bilang bahwa dia mendapat petunjuk tentang hal itu dari Nabi (Lihat
Ibn Sa’ad w.230/844, al-Thabaqat al-Kubra, Beirut : Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi,
1995-6, Jilid 3, Hal 121) ada yang banyak meninggalkan hutang ketika
meninggal seperti al-Zubair bin al-Awwam(Ibn Sa’ad, al-Thabaqat, 3:57),
ada juga yang terlibat dalam perzinahan seperti yang dialami Amr bin Hazmah dan
Ma’iz(Ibn Sa’ad, al-Thabaqat, 4:476 dan 479) yang akhirnya dirajam.
Kemudian Misalnya lagi kritik Aisyah terhadap riwayat-riwayat Abu Hurairah :
“Anak zina merupakan yang terkeji
di antara tiga person (dia dan kedua pelaku zina)”.(Hal 86)
Kritik A’isyah mengatakan bahwa Abu Hurairah telah lupa terhadap sebab turun Hadits itu. Sebab
turunnya, Ada seorang munafik yg menyakitkan hati Nabi. Lalu beliau bersabda:
siapa yang bisa mengemukakan alasan kepadaku mengenai orang itu?. Dikatakan pada beliau: “orang itu bersama anak zina”.
Kemudian bersabda: “dia adalah yang terkeji di antara 3 orang itu”. Kemudian kritik A’isyah pada riwayat Abu Hurairah yang berbunyi: (
“Sesungguhnya mayat akan disiksa karena
tangisan keluarganya”. (Shahih Bukhari,Juz III Hal 403-405, Shahih Muslim, Juz
IV Hal 228-230 dan 335).
Kritik A’isyah, bahwa yang benar Rasulullah melewati rumah seorang Yahudi yang
meninggal dunia, sementara keluarganya menangisinya. Melihat hal itu, beliau
bersabda “Mereka menangisinya, sementara sekarang ini dia disiksa”.
Kemudian kritik A’isyah terhadap riwayat Umar:
“Nabi melarang melakukan Salat setelah subuh
sehingga matahari terbit, dan setelah ashar sehingga matahari terbenam”.(Shahih
Bukhari, Juz II, Hal 112, Shahih Muslim, Juz VI, Hal 111)
Kritik Aisyah pada Umar bahwa yang benar adalah “Janganlah kalian
memilih waktu matahari terbit untuk melakukan Salat, dan jangan pula memilih
pada waktu matahari terbenam. Sebab matahari itu muncul dari kedua tanduk
setan”.( Sunan An Nasa’i, Juz I, Hal 278-279, Shahih Bukhari, Juz II, hal 198.
Shahih Muslim, Juz VI, Hal 110).
Umar melakukan kesalahan, sebenarnya Nabi hanya melarang memilih waktu
matahari terbit dan terbenam untuk melaksanakan Salat.
Lalu bagaimana sikap kita sebagai umat islam
menghadapi dua kenyataan yang saling bertentangan ini? Jika dalam Ilmu hadis
berlaku istilah al Jam’u wa Taufiq sebagai sebuah solusi untuk adanya
hadis yang bertentangan, maka kita selaku umat islam harus memiliki sikap bijak
dan memposisikan diri sebagai Umattan wasatha (umat pertengahan), Sahabat
adalah orang-orang yang mulia, kita tidak bisa menolak begitu saja kredibilitas
mereka yang telah berjuang keras untuk Nabi Saw dan agama islam, akan tetapi
diluar itu kita tetap menganggap bahwa mereka manusia biasa yang bisa salah dan
bisa juga benar, maka cara yang paling bijak adalah kita tidak menelan mentah-mentah
semua pernyataan sahabat, kita tidak begitu saja menjustifikasi benar semua
hadis yang mereka riwayatkan, akan tetapi kita harus melakukan penelitian,
pengkajian lebih mendalam, bahkan bila perlu setiap hadis yang kita dengar kita
lakukan kritik dari aspek sanad dan matan, agar kita tidak terjerumus pada
sikap taqlid buta dan fanatik terhadap ulama.
Wallahu A’lam bi
Showab
0 komentar:
Posting Komentar