Selasa, 22 Mei 2012

Mempertanyakan kembali kredibilitas sahabat, bolehkah??


Mempertanyakan kembali keadilan sahabat apakah sebuah kesalahan? Apakah kita meragukan kualitas sahabat sebagai seseorang yang oleh Allah dan RasulNya dimuliakan? Pertanyaan ini telah banyak dilontarkan oleh umat islam yang menganggap  tidak layak meragukan kualitas sahabat, menurutnya kebenaran Nabi dan al Qur’an disampaikan kepada umat manusia lewat sahabat, oleh karena itu, siapapun yang mempertanyakan otoritas sahabat sama saja dengan mereka menolak al Qur’an dan Sunnah (Fu’ad Jabali, Sahabat Nabi, Cet I Desember 2010, Jakarta: Mizan, Hal 41) karena mereka adalah orang-orang yang hidup semasa dengan Nabi Saw dalam keadaan islam dan wafat dalam keadaan islam (Fu’ad Jabali, Sahabat Nabi, Cet I Desember 2010, Jakarta: Mizan Hal 48), Mereka adalah orang-orang yang Nabi janjikan masuk syurga, mereka adalah orang-orang yang membela Nabi dan memperjuangkan islam sampai titik paling akhir.
Sahabat memang orang-orang yang mulia, akan tetapi mereka bukanlah orang yang Ma’shum (Terpelihara dari kekeliruan dan kesalahan),(Lihat Dr.Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi kritik matan hadis, Cet I April 2004, Jakarta : Gaya Media Pratama, Hal 47). Kebenaran inilah yang telah banyak dilupakan oleh umat islam, mereka mengira bahwa sahabat itu bebas dari dosa, apapun yang sahabat katakan dan apapun hadis yang sahabat riwayatkan semua dianggap Shahih dan harus diterima, umat islam melupakan satu hal yang menjadikan mereka terlalu berlebihan mengagungkan sahabat sehingga pada akhirnya kesalahan dan kekeliruan sahabat ditutupi dan dianggap benar.
Efek dari sikap menganggap sahabat sebagai seorang yang Ma’shum dan tidak pernah salah, pada akhirnya membuat kita akan jatuh pada sikap menganggap rendah kualitas mereka, karena usaha sahabat mengorbankan dan membela Nabi Saw bukan sebuah usaha kemanusiaan yang sesungguhnya, akan tetapi kekuatan Tuhan yang sudah diberikan pada mereka, selain itu, jika mereka adalah orang-orang yang diberikan kekuatan khusus oleh Tuhan, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk mengikutinya, karena tidak masuk akal mengikuti makhluk yang secara khusus diberikan kekuatan oleh Tuhan.(Fu’ad Jabali, Sahabat Nabi, Cet I Desember 2010, Jakarta: Mizan, Hal XIVI)
Dalam beberapa ayat dalam al Qur’an terdapat penyebutan kemuliaan-kemuliaan sahabat dan keutaman mereka. Merupakan kewajiban bagi kita umat Islam untuk mentaatinya dan mempercayai mereka sebagaimana kita taat pada Nabi Saw. Dalam surat Al Fath (48) : 29 Allah Swt berfirman :
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Kemudian dalam surat At Taubah (9) : 100
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
Kemudian dalam Sunnah Nabawiyah pun terdapat pernyataan-pernyataan Nabi tentang kemuliaan sahabat :
Hadis riwayat Bukhori :
Sebaik-baik manusia adalah pada masaku, kemudian berikutnya dan kemudian berikutnya... “ (Shahih Bukhari Juz III Hal 171, No 2651,2652,Juz 5, Hal 2 No 3650 )
Terlepas dari semua penyebutan yang terdapat dalam Al Quran juga dalam Sunnah Nabawiyyah, bahwa sahabat adalah orang-orang yang dimuliakan, perlu kita ketahui bahwa dalam beberapa sumber sejarah dan karya-karya para ulama hadis yang membahas tentang sahabat, ternyata sahabat telah banyak melakukan kekeliruan- kekeliruan yang termasuk fatal (Dr.Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi kritik matan hadis, Cet I April 2004, Jakarta : Gaya Media Pratama, Hal 46-47).
Ibn Sa’ad, seorang ulama ahli hadis sekaligus sejarawan yang hidup pada abad ke-2 H/8 M memberikan banyak kesaksian tentang hal ini, mulai dari Umar yang sangat galak sampai Utsman yang sangat lembut, ada sahabat yang gemar makan seperti Shuhaib bin Sinan, dan ketika Umar menegurnya, dia bilang bahwa dia mendapat petunjuk tentang hal itu dari Nabi (Lihat Ibn Sa’ad w.230/844, al-Thabaqat al-Kubra, Beirut : Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1995-6, Jilid 3, Hal 121) ada yang banyak meninggalkan hutang ketika meninggal seperti al-Zubair bin al-Awwam(Ibn Sa’ad, al-Thabaqat, 3:57), ada juga yang terlibat dalam perzinahan seperti yang dialami Amr bin Hazmah dan Ma’iz(Ibn Sa’ad, al-Thabaqat, 4:476 dan 479) yang akhirnya dirajam. Kemudian Misalnya lagi kritik Aisyah terhadap riwayat-riwayat  Abu Hurairah :
 “Anak zina merupakan yang terkeji di antara tiga person (dia dan kedua pelaku zina)”.(Hal 86)
Kritik A’isyah mengatakan bahwa Abu Hurairah telah lupa terhadap sebab turun Hadits itu. Sebab turunnya, Ada seorang munafik yg menyakitkan hati Nabi. Lalu beliau bersabda: siapa yang bisa mengemukakan alasan kepadaku mengenai orang itu?. Dikatakan pada beliau: “orang itu bersama anak zina”. Kemudian bersabda: “dia adalah yang terkeji di antara 3 orang itu”. Kemudian kritik A’isyah pada  riwayat Abu Hurairah yang berbunyi: (
“Sesungguhnya mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya”. (Shahih Bukhari,Juz III Hal 403-405, Shahih Muslim, Juz IV Hal 228-230 dan 335).
Kritik A’isyah, bahwa yang benar Rasulullah melewati rumah seorang Yahudi yang meninggal dunia, sementara keluarganya menangisinya. Melihat hal itu, beliau bersabda “Mereka menangisinya, sementara sekarang ini dia disiksa.
Kemudian kritik A’isyah terhadap riwayat Umar:
“Nabi melarang melakukan Salat setelah subuh sehingga matahari terbit, dan setelah ashar sehingga matahari terbenam”.(Shahih Bukhari, Juz II, Hal 112, Shahih Muslim, Juz VI, Hal 111)
Kritik Aisyah pada Umar bahwa yang benar adalah “Janganlah kalian memilih waktu matahari terbit untuk melakukan Salat, dan jangan pula memilih pada waktu matahari terbenam. Sebab matahari itu muncul dari kedua tanduk setan”.( Sunan An Nasa’i, Juz I, Hal 278-279, Shahih Bukhari, Juz II, hal 198. Shahih Muslim, Juz VI, Hal 110).
Umar melakukan kesalahan, sebenarnya Nabi hanya melarang memilih waktu matahari terbit dan terbenam untuk melaksanakan Salat.
Lalu bagaimana sikap kita sebagai umat islam menghadapi dua kenyataan yang saling bertentangan ini? Jika dalam Ilmu hadis berlaku istilah al Jam’u wa Taufiq sebagai sebuah solusi untuk adanya hadis yang bertentangan, maka kita selaku umat islam harus memiliki sikap bijak dan memposisikan diri sebagai Umattan wasatha (umat pertengahan), Sahabat adalah orang-orang yang mulia, kita tidak bisa menolak begitu saja kredibilitas mereka yang telah berjuang keras untuk Nabi Saw dan agama islam, akan tetapi diluar itu kita tetap menganggap bahwa mereka manusia biasa yang bisa salah dan bisa juga benar, maka cara yang paling bijak adalah kita tidak menelan mentah-mentah semua pernyataan sahabat, kita tidak begitu saja menjustifikasi benar semua hadis yang mereka riwayatkan, akan tetapi kita harus melakukan penelitian, pengkajian lebih mendalam, bahkan bila perlu setiap hadis yang kita dengar kita lakukan kritik dari aspek sanad dan matan, agar kita tidak terjerumus pada sikap taqlid buta dan fanatik terhadap ulama. 

Wallahu A’lam bi Showab                                                                  


0 komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda dengan postingan saya?

 
;