Hai..
apakabar?
bukankah akhir-akhir ini malam menjadi hangat dan ramai?
tidakkah kau juga merasakannya?
malam yang lalu, malam kemarin, juga malam ini sepi dan gelap mendadak hilang, berganti dengan hangat dan selimut tebal, ah mungkin karena langit kita berbeda mungkin kau tidak merasakannya.
hai, apakabar?
hujan mengingatkan lagi semua hal yang kuredam, tentang pertemuan pertama kita di sore yang riang ditemani hujan, tentang pertemuan kali kesekiannya kita di sore yang deras, juga banyak pertemuan kita yang selalu ditemani hujan.
tidakkah kau mengingatnya juga?
sepertinya aku mulai mengigau lagi...
Suatu malam di akhir waktu
kepulanganku, dengan bermanja-manja sebab rindu yang terlampau sesak pada ibu,
aku meminta tidur satu ranjang bersamanya, beratapkan kelambu untuk menghindari
nyamuk yang keberadaanya menganggu tidur, berselimutkan kain tebal dan kami
saling berpelukan hangat, kalau sudah begini membuatku malas untuk kembali,
biar saja aku disini, disamping ibu berselimut hangat berdua.
Selain karena betul-betul
ingin tidur bersamanya, ada satu hal penting yang sangat ingin kuceritakan
padanya, ah pada siapa lagi mengadukan resah dan gundah selain pada seseorang
yang mengurus kita sejak kecil dan tahu apa yang harus dilakukan untuk anak
kesayangannya.
Berawal basi-basi yang
remeh, bertanya ini itu soal keseharian ibu saat aku tak disampingnya,
kulanjutkan dengan memancingnya menceritakan kisah masa lalunya bersama bapak
atau bahkan sebelum bertemu bapak, dan mengalirlah begitu saja seperti air,
hanya satu dua pertanyaan, jawaban sudah melengkapi semua pertanyaan bahkan
yang belum diajukan sekalipun. Ibu memang senang sekali bercerita, kata banyak
orang dan beberapa teman dekat ibu yang kukenal, dia memang sosok perempuan
tangguh, aktif, kritis, dan selalu jadi juru bicara. Itu memang benar, kalau
ditelpon saja baru tanya kabar, jawaban sudah sampai pada menu makanan, hahaha
ah ibu ibu memang sosok yang luar biasa.
Ada satu hal yang
mengejutkan dari cerita ibu, ternyata ibu dan bapak adalah hasil dari
perjodohan, sebelumnya ibu sudah mencintai seseorang sejak lama, hampir 10
tahun, laki-laki itupun mencintai ibu, tapi entah kenapa mereka selalu ragu
untuk berencana menikah, ibu bilang laki-laki yang ia cintai seseorang yang
lemah, pengetahuan agama yang kurang baik dan sebagainya, sudah tahu begitu
masih saja cinta, dasar, hihihi.. dan akhirnya ibu dan bapak dijodohkan oleh
guru ibu di sekolah, dan bapak adalah salah satu guru juga disana, usia mereka
terpaut 10 tahun, kalau kuingat-ingat wajah bapak, memang beliau sudah sangat
tua sekali, aku merasa lebih baik memang Allah mengambilnya dengan usia bapak
yang sudah rentan itu.
Akhirnya aku menemukan titik
temu yang cocok, aku mulai bercerita sedikit demi sedikit tentang keresahanku,
awalnya hanya soal sekolah yang kuajar, murid-murid dan sampailah pada satu
sosok itu, tentang seseorang yang juga pernah mampir sesaat dalam hidupku dan
hingga hari ini aku masih belajar melepasnya, sebab melepaskan tidak semudah
saat pertama kali bertemu dan menemukan perasaan baru padanya, tidak semudah
itu, aku harus membunuh setiap kali kerinduan muncul dalam sesak, aku harus
mengubur setiap kali rasa mulai memenuhi hati, sementara aku tak bisa berbuat
apa-apa, hanya bisa mengingatnya begitu saja seperti angin.
Bu,
terkadang aku menyesal sudah bertemu dengan dia, andai saja dulu tak pernah
bertemu, tak pernah kenal, kami tak pernah memiliki rasa yang sama, andai
saja...
Kataku pada ibu dengan perasaan
penuh sesal.
Kamu salah
nak, justru harusnya kamu bersyukur sudah pernah mengenalnya, kalian memiliki
perasaan yang sama, hanya waktu yang tak berpihak, dan itu bukan sebuah
kesalahan, kalian pasti memiliki waktu yang manis bersama dan itulah kenangan
yang bisa kau ingat suatu hari nanti, tentu saja kenangan hanyalah bagian dari
masa lalu, masa depan nanti akan jadi milikmu dengan seseorang yang lebih baik
lagi darinya. Seperti bapak dan ibu. Ibu tak pernah menyesal sampai hari ini.
Betulkah begitu, aku hanya
harus bersyukur karena waktu yang pernah kulalui dengannya merupakan kenangan
manis?
Aku hanya harus belajar
lebih banyak pada ibu, belajarkan melepaskan masa lalu dan membuka lagi pintu
yang baik untuk masa depan..
Ibu, selalu mengobati luka
dengan cara yang tidak pernah diduga...
24102014, Bogor.
Tentu saja aku baik-baik
saja, aku masih bisa tersenyum dan tertawa, hey kita ini apa sih? Hanya sekedar
numpang mampir di bumi Tuhan, datang sendirian, tak pernah punya siapa-siapa
dan tak pernah jadi milik siapa-siapa, maka akan baik-baik saja jika manusia
yang hidup lalu lalang masuk keluar dalam hidup kita, datang dan pergi begitu
saja, untuk yang datang kita sambut dengan baik dan berbuat baik padanya, untuk
yang pergi relakan dengan senang hati, sebab kepergian tak selalu berujung pada
kesedihan, ada juga kepergian yang membahagiakan.
Aku sungguh baik-baik saja,
sebab hidup memang harus terus berjalan ada atau tidaknya seseorang yang peduli
pada kita, sebab segalanya menjadi kita saja seorang, perbuatan kita, kebaikan
kita, jangan terlalu risau memikirkan orang lain yang tak pernah jelas, bahkan
malaikat saja menanyai kita seorang saja, tidak berdua, tidak juga dengan
orangtua, keluarga, sahabat dekat, apalagi bersama seseorang yang hanya hadir
sesaat dalam hidup kita, rasanya mustahil.
Untuk itu, aku berharap
tidak pernah ada yang berubah, semuanya baik-baik saja, aku tetap menjadi aku
yang keras kepala dan selalu ingin belajar banyak hal, tak peduli ada atau
tidaknya seseorang yang akan bertanya kabar atau sekedar menceritakan kisah di
malam hari.
Abi, do’akan anakmu yang
manis ini selalu kuat dan tegar menghadapi apapun, sekuat umi saat kau
meninggalkannya...
Pakpayoon.
26 Oktober 2014
Abi, apakabarnya engkau
disana? Bagaimana rasanya indah syurga? Aku sungguh berharap pada Dia
menempatkan engkau pada kedudukan yang tinggi. Amin.
Abi, anak pertamamu yang
manis ini tentu saja selalu baik-baik saja, usiaku sudah 22 tahun hampir saja
sampai di 23, berat badan terakhir kemarin 59 kg, ah engkau tentu tak akan
khawatir dengan kondisiku yang sehat ini. Anak abi yang kedua dan si bungsu
juga baik-baik saja, ah kemarin sudah kuceritakan bukan kalau dede sudah masuk
perguruan tinggi dan si bungsu sudah 2 SMP dan tinggal di pesantren juga aktif
di kegiatan sekolah, tak berbeda jauh denganku, yah sebab si bungsu selalu
ingin menjadi tetehnya, andai dia tahu tetehnya sangat biasa saja, tak ada
apa-apanya.
Abi, sudah 6 bulan berlalu
aku menetap di negri antah barantah ini, dan abi tahu sebentar lagi aku mau
pulang, ah rasanya rindu ini sudah terlalu penuh untuk kutampung jadi kubiarkan
ia terurai satu persatu, rindu umi, rindu si dede dan si bungsu dan tentu saja
rindu semua hal yang ada di negri kita. Disini aku baik-baik saja, betah,
guru-guru dan tetangga baik-baik, murid-muridnya, yah seperti yang abi tahu ada
saja murid-murid nakal yang sedang berproses menjalani kehidupan, tapi aku
sungguh baik disini, hanya saja yah hanya saja pada satu waktu ketika sepi dan
bosan mencekik leher dan tak ada yang bisa dilakukan, pada satu waktu itulah
jalan yang teringat adalah pulang, sebab pulang adalah obat dari semua
kerinduan.
Abi tahu, kemarin adalah
idul adha yang sudah kesekian tak kulalui bersama keluarga, tidak hanya sekali
dua kali tapi sudah sering, dan ini yang terberat karena begitu jauh dari
siapapun, tak ada tempat untuk sekedar menyimpan rindu yang sudah penuh, semua
disini terasa sempit sekali. Di negri antah barantah ini perayaan lebaran
bukanlah seperti yang kita rasakan di negri muslim biasanya, disini sepi
sekali, bahkan tak ada suara takbir, bahkan beberapa hari sebelumnya aku lupa
kalau esoknya adalah lebaran idul adha.
Abi, sekarang aku sudah
mulai membaik dalam mengontrol diri, mengontrol perasaan dan menahan semua yang
mendidih dalam hati, perlahan-lahan aku sudah bisa, di surat yang kesekian aku
pernah bercerita bukan tentang sosok dia, seseorang yang alisnya mirip sekali
denganmu, sebab begitu banyak hal yang terjadi dan tentu saja aku sadar diri
siapa diriku ini maka aku belajar untuk menahan, semoga hasilnya manis suatu
saat nanti, abi ingat kan sosoknya, seseorang yang kusebut namanya dalam do’a.
Abi, esok ketika sudah
sampai rumah, sudah bertemu umi dan kedua anak abi yang lain aku janji akan
mengirimimu surat kembali, aku janji, janji anak pertamamu, pasti abi juga
rindu umi, aku akan menceritakan bagaimana keadaan umi nanti..
Abi, selamat malam...
04 Oktober 2014
Pakpayoon.
Kau boleh membuka hatimu pada yang lain, aku tak melarang.
Katamu suatu hari dengan
wajah dinginmu, dan wajah dingin itu menjadi begitu amat dingin dari biasanya
sebab dingin hujan membuat pertemuan kita menjadi berbeda.
Aku tak
mau.
Jawabku ketus.
Kau pikir mudah membuka hati
untuk orang lain? Andai saja tetes hujan saat itu bisa kuraih ingin sedikit
kubasahi wajahmu dengannya agar kau tersadar dari kata-kata aneh itu.
Aira
Panggilmu tajam, ah
kata-katamu sore itu mendadak seperti sebilah pisau.
Sebelum kata-katamu semakin
sulit kuterima, kubiarkan kau meracau sendiri dengan hujan.
Mau kemana
aira?
Tanyamu masih dengan wajah
dingin.
Tak perduli hujan sederas
apapun, lebih baik aku tak mendengar lagi bicaramu yang aneh itu.
Biar saja hujan turun sederas
apapun, dengan begitu tak pernah ada yang tahu ada tetes hangat di pipiku..
Namanya raya, seorang gadis
yang sejak kecil tinggal dan tumbuh di panti asuhan, saat ini ia sudah beranjak
remaja, setidaknya ia sudah mulai mengerti tentang siapa dirinya dan kenapa ia
hidup di panti sejak kecil. Kedua orangtuanya meninggal sejak ia masih kecil
dan ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki tapi sayang sekali ia tak tahu
kakak laki-lakinya berada dimana saat ini karena sejak kecil ia diadopsi oleh
keluarga kaya dari kota besar dan dengan terpaksa raya ditinggalkan di panti
asuhan.
Panti asuhan tempat ia
tinggal dikelola oleh gereja, jadi setiap hari minggu semua anak panti
diwajibkan berkunjung ke gereja, meminta pengampunan pada pastur dan memohon do’a,
sementara di hari-hari biasanya ia bersekolah di sekolah khusus biarawati,
santa maria namanya. Letak sekolahnya dekat dengan panti tempat ia tinggal.
Raya, berbeda dengan
kebanyakan anak panti lainnya, ia selalu bertanya banyak hal pada pastur atau
biarawati, tentang hidup, tentang Tuhan, tentang nasib dan takdir. Raya merasa
sangat sedih bahwa selama hidupnya tak pernah bisa merasakan kasih sayang ayah
ibunya sebab keduanya meninggal saat raya masih bayi. Ia selalu bertanya kenapa
Tuhan begitu jahat, begitu tak adil mengambil dan merampas hak seseorang begitu
saja bahkan sebelum ia tumbuh dewasa. Sudah sering ia habis dimarahi dan
dipukul oleh biarawati di santa maria sebab pertanyaan-pertanyaan konyolnya dan
menganggap Tuhan tak adil.
Pada hari-hari berikutnya
raya semakin enggan pergi ke gereja, sebab ibadah yang sudah ia lakukan selama
ini tak juga membuatnya damai dan merasakan kebaikan Tuhan, bahkan kakak
satu-satunyamasih tak ada kabar juga.
Raya,
kenapa tadi tidak pergi dengan teman-teman lainnya?
Tanya pengasuh panti,
seorang ibu paruh baya yang hanya membalas dengan senyuman bila raya bertanya
ini itu soal hidup dan lain hal.
Kalau raya
bisa bertemu abang, raya baru mau pergi ke gereja.
Seperti itulah jawaban raya
setiap kali ditanya mengapa enggan pergi ke gereja.
Hari-hari berlalu begitu
saja, dan tentu saja raya tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan penuh
tanya dalam hidupnya.
Suatu hari raya bertekad
mencari kakak laki-lakinya ke kota besar, dulu memang sempat keluarga yang
mengadopsi kakaknya meninggalkan alamat, sudah sejak dulu raya ingin mencari
tapi dulu ia masih kecil dan belum memiliki keberanian pergi ke kota besar
apalagi tak ada orang yang dikenal. Ia mohon pamit pada pengasuh panti,
kalau-kalau ia tak bisa menemukan kakaknya mungkin ia akan kembali, tapi bila
ia tak juga kembali anggap saja ia sudah bertemu dengan kakaknya, begitulah
pesan raya pada ibu pengasuh panti.
Perjalanan pun dimulai, raya
pergi ke kota besar dengan berbekal alamat yang ia sendiri tak pernah tahu dan
tak pernah ia kunjungi sebelumnya, peta kota besar sudah ia pegang, ia hanya
perlu sering bertanya pada orang yang lewat atau pedagang di pinggir jalan.
Dari pagi sampai sore ia
mencari, peluh keringat sudah sejak tadi membasahi bajunya, perutnya yang
kosong sudah berteriak minta diisi, akhirnya ia beristirahat sejenak di sebuah
warung makan sederhana.
Baru beberapa suap saja ia
makan, tiba-tiba saja ia mendadak berhenti, sendok yang akan disuapi mulutnya
tertahan, baru saja ia mendengar nama jalan yang ia cari sejak pagi
disebut-sebut oleh ibu penjual makan. Dan dengan segera raya bertanya dimana
letak jalan yang ibu penjual maksud, jalan kemang, itulah naman jalan alamat
dari keluarga yang mengadopsi kakaknya.
Raya lupa makannya belum
usai, tapi ia segera berlari mencari angkot, dengan wajah yang sedikit lega ia
bisa bernafas, setidaknya sebentar lagi alamat itu akan ia datangi dan
kakaknya, ah sudahlah ia hanya mencoba, dalam hatinya pun tak sepenuhnya yakin
sebab itu sudah lama sekali, siapa tahu keluarganya pindah.
Akhirnya angkot berhenti,
sampailah ia di jalan kemang, raya turun dari angkot, matanya masih melirik
kanan kiri, ia baru sadar rupanya langit sudah semakin gelap, semoga
pencariannya usai malam ini juga.
Raya bertanya berkali-kali
pada orang yang lewat, tapi masih belum menemukan titik terang, sampai akhirnya
raya merasa kelelahan dan ia melihat ada keran air yang digunakan banyak orang
mencuci muka, ia segera melangkah ke arah tempat keran air, tepat saat
langkahnya berhenti di depan pagar bangunan itu, ada suara yang menggema keluar
dari sana, entah suara apa raya tak tahu, sejak kecil ia tak pernah mendengar
suara seperti ini, dan raya benar-benar dibuat terpukau dengan suara itu,
lembut, syahdu, dan damai, itulah yang ia rasakan. Setelah suara yang
mendamaikan itu berhenti, raya memasuki halaman bangunan itu, disana ada banyak
orang berkumpul laki-laki dan perempuan, yang laki-laki bergantian mencuci
wajah dan kakinya di keran air, dan perempuan memakai kain penutup kepala
berwarna putih berkumpul di bagian belakang, raya mulai merasa heran, apa
mungkin ada suatu acara di bangunan ini, tapi sepertinya ini bukan rumah karena
dilihat dari sisi manapun tak mirip rumah, lebih mirip bangunan-bangunan
sejarah yang pernah ia lihat di internet.
Raya tak peduli, ia terus
saja melangkah dan mendekati keran air tempat para laki-laki mencuci wajah dan
kakinya.
Belum sampai ia melepas tas
kecilnya, seorang laki-laki tua mendekatinya.
Nak,
kalau mau wudlu di sebelah sana ya, ini khusus laki-laki.
Ucap laki-laki tua itu
sambil menunjuk sebuah bangunan kecil tak jauh dari tempat keran air.
Ia hanya mengangguk saja,
apa tadi katanya wudlu? Wudlu itu apa lagi, raya semakin merasa heran berada di
bangunan itu.
Selepas ia mencuci wajahnya
ia masuk ke dalam bangunan itu, dan ia melihat ada seorang lelaki tua berdiri
seorang diri di depan banyak orang dalam bangunan dan sepertinya akan ada yang
ia sampaikan, karena merasa penasaran raya akhirnya duduk di belakang.
Banyak sekali yang lelaki
tua itu sampaikan sampai raya merasa mengantuk, sebab tak mengerti apa yang ia
sampaikan, tapi tetiba saja rasa kantuknya hilang saat ia mendengar dari
laki-laki tua itu kalimat “bagaimana bisa Ibrahim merelakan anaknya untuk
Tuhan, itulah qurban, sebuah ketundukan, ketaqwaan sungguh-sungguh, merelakan
sesuatu yang sejatinya bukan milik kita”.
Raya mulai tertarik, ia
mendengarkan dengan serius.
Jama’ah
pengajian, siapa diantara kita yang rela, yang ikhlas, yang mau orang yang
sangat disayangi diambil? Anak, masyaAllah, anak adalah hadiah terbesar untuk
kita semua bagaimana mungkin kita rela anak kita diambil, saya yakin tidak ada
orangtua yang mau merelakan anaknya, ditambah lagi anak yang kita relakan itu
harus kita sembelih, bayangkan disembelih? Kita pasti akan memilih lari dan
menolak keras.
Yah,
itulah kita memang tak pernah rela, bagaimana mungkin orang yang disayang
diambil, dalam hatinya raya bergumam sendiri. Ah kata-kata lelaki
tua itu dahsyat sekali, raya semakin bersemangat untuk terus menyimak kata-kata
lelaki tua di depan sana.
Tapi coba
jama’ah bayangkan, justru ketika anak yang akan disembelih tadi tiba-tiba saja
berubah menjadi seekor binatang, dan kemana si anak , dia selamat, masyaAllah
betapa hebatnya ibrahim, bahwa Allah hanya sedang mengujinya.
Itulah qurban,
sebuah ujian untuk seorang hamba, sejauhmana ketaqwaannya pada Tuhan dan
sejauhmana ia tunduk dan ikhlas merelakan sesuatu yang sejatinya bukan miliknya,
sebab di dunia segala hal, anak, istri, suami, harta semuanya hanya titipan
dari Allah.
Entah kenapa raya merasa ia
dibius total oleh lelaki tua itu, kata-kata yang keluar darinya begitu
menenangkan, damai, dan ternyata ada orang sehebat itu di dunia ini, siapa
tadi, ibrahim, ya ampun luar biasa sekali ibrahim. Kenapa dia begitu saja mau
menyembelih anaknya hanya karena itu permintaan Tuhan.
Raya merasakan ada sesuatu
yang berbeda dalam hatinya, banyak hal yang ingin ia tanyakan pada lelaki tua
itu, tentang hidupnya, tentang keadilan dan tentang bagaimana bisa seikhlas
ibrahim, ia ingin bertemu ibrahim jika bisa.
Selesai acara tadi, semua
orang bubar, dan dengan cepat raya menghampiri lelaki tua tadi.
Pak,
permisi, saya raya, boleh saya tanya beberapa hal pada bapak, sepertinya bapak
orang yang luar biasa.
Lelaki tua itu tersenyum mengiyakan,
ah senyum itu mendamaikan sekali, senyum seorang ayah yang ia impikan.
Dek raya,
apa tidak keberatan kalau bapak ajak ke rumah bapak saja, sambil kita makan
malam, bapak sudah lapar.
Tangan keriputnya menunjuk
perut sambil tersenyum dengan senyum mendamaikan.
Tentu saja raya mengiyakan,
dia juga sama, sudah lapar.
Sampai rumah bapak tua, ah
sumpah ini rumah atau istana, bangunan megah dihadapannya adalah rumah lelaki
tua ini, tapi lihatlah bapak tua ini, dia sederhana sekali, aku pikir bapak tua
itu hanya orang biasa.
Raya bergumam saja dalam
hati.
Mari dek
raya, anak dan istri saya sudah menunggu di dalam.
Sampai dalam rumah, betapa
terkejutnya raya akan kemegahan isi rumah, segalanya lengkap dan sangat mahal
pastinya.
Bu, arif,
ini ada tamu, ayo makan bersama.
Ah mungkin bapak tua itu
sedang memanggil anak dan istrinya.
Beberapa detik kemudian
seorang ibu paruh baya mengenakan penutup kepala keluar dari kamar, dan seorang
laki-laki dewasa turun dari tangga.
Siapa tamunya
abi?
Suara dari atas tangga
terdengar.
Ah itu mungkin anak
laki-lakinya.
Sampai akhirnya keduanya
berada dihadapan raya, betapa terkejutnya ia.
Dadanya bergemuruh,
tangannya gemetar, dan airmata menetes begitu saja, bibirnya tertutup, ia tak
bisa bicara.
Laki-laki yang dihadapannya
ini,..
Raya.
Namanya keluar dari bibir
anak laki-laki bapak tua itu.
Kakak.
Detik kemudian keduanya
saling berpelukan. Tuhan bapak, Tuhan anak, roh kudus, akhirnya aku bertemu kakakku.
Rupanya kakaknya memeluk Islam,
agama lain, bukan kristen, dan keyakinan mereka berbeda. Saat itu juga kak arif,
kakak satu-satunya itu mengenalkan Islam pada raya, ia menceritakan tentang
kisah ibrahim dan anaknya ismail.
Satu bulan kemudian
keyakinan menggenapkan niat raya, ia masuk Islam.
Ia menemukan cahaya lewat
qurban, lewat ibrahim, lewat ismail dan cerita tentang para Nabi, ah andai saja
mereka masih ada raya ingin sekali bertemu.
Raya akhirnya tahu mengapa
kedua orangtuanya diambil bahkan sebelum ia sempat bertemu, bukan karena Tuhan
tak adil, tapi justru karena Tuhan sayang pada kedua orangtuanya dan agar raya
bisa jadi hamba Tuhan yang baik.
Betul begitu
kak arif.
Senyum cantiknya kini
merekah, jilbab merah menutupi kepalanya...
26 September 2014
Refleksi qurban.
Terkadang kita terlalu
sering melupakan, menganggap remeh dan tidak mensyukuri tiap hal yang terjadi
dalam hidup kita, yah sering melupakan bahwa jawaban itu ada di sekitar kita
juga. Seperti malam ini. Seorang teman bercerita padaku, ah lagi-lagi aku
selalu menjadi pendengar, bagaimanapun aku memang suka orang lain memberikan
kepercayaan mereka padaku, walaupun sejauh ini aku tak bisa memberikan solusi
yang baik untuk mereka, tapi aku tahu mereka pasti sedikit lega dengan beban
yang mereka tanggung.
Nay, mas
pengen cerita.
Lalu mengalirlah cerita
menjadi anak sungai yang cukup panjang dan dalam, lagi-lagi soal hati dan
perasaan, ah kenapa harus melulu soal itu si, sebab masalahku pun demikian
sama.
Seseorang yang kupanggil mas
ini bercerita soal perjodohannya yang batal, dan ah dia ingin move on mencari
calon istri lain yang sekiranya bisa diajak nikah dalam waktu secepat ini,
begitu mudahnya berpindah hati pikirku. Tapi sebelum jauh pikiran burukku
berkembang menjadi virus negatif dia sudah menyanggah lebih dulu, dia bilang bukan
mudah move on tapi dia tak ingin terus menerus berada dalam kondisi yang
terpuruk sementara dia ingin segera menikah.
Bagaimana mungkin aku bisa
memberikan jawaban dengan seseorang yang ingin move on mencari sosok lain
sementara aku saja sampai hari ini masih terpuruk dalam sangkar harapan kosong
yang menyedihkan.
Bukan mas
cepat move on nay, tapi mas gak mau mikirin hal-hal yang tidak mungkin lagi
dipikirkan, mas gak mau terpuruk, mas gak ingin berharap sendirian.
Jleb. Ah tidak kata-katanya
benar-benar membunuhku perlahan, begitu menusuk sekali sampai aku lupa
bagaimana rasa sakitnya.
Mungkin inilah cara Tuhan
memberikanku pelajaran, jangan membuat harapan kosong sendiri di langit biru,
di tetes hujan yang membasahi jendela atau di jalanan lengang.
Selalu ada hikmah, ada
jawaban...
Tuhan, haruskah aku juga
membuka hatiku?
23 September 2014
Pakpayoon.
Senja selalu membawa
bahagia, ada waktu yang setiap orang tunggu di ujung sore, senyum hangat, sambutan
sayang dan lelah yang terlunaskan, kaki-kaki letih berhenti dari melangkah dan
peluh terurai menjadi butiran senyum di ujung pintu, ah jika saja aku bisa
memiliki waktu, maka sore adalah waktu yang paling ingin kumiliki.
Sebab disana ada wajah
hangat menyambut, sore adalah waktu romantis untuk suami pulang kerja, untuk
siswa pulang sekolah, untuk seorang mahasiswa pulang kuliah, dan untuk aku
bertemu kamu di ujung jalan itu, itulah sebabnya sore adalah waktu yang paling
ingin kumiliki.
Suatu hari nanti, jika kelak
sore yang kuimpikan tiba, sore yang hangat dipenuhi senja, dengan seluruh kasih
sayang dan kehangatan yang kupunya, aku akan menyambutmu di depan pintu rumah
kita... tentu saja dengan senyumku yang mampu meluruhkan penatmu..
Lagi-lagi, aku terlalu
banyak nonton drama...
22 September 2014
Pakpayoon.
Hidup ini selalu menarik,
ada saja hal-hal terjadi diluar kendali kita, diluar keinginan bahkan lebih mengejutkan
dari rencana yang kita buat. Seperti akhir-akhir ini, beberapa teman yang dekat
bercerita banyak hal tentang hidupnya, tentang perasaanya, tentang sakit
hatinya, tentang sedih dan lukanya, dan semua yang mereka sampaikan, mereka
tanyakan dan memintaku memberi jawaban adalah hal yang aku pun mengalaminya, ah
bahkan aku sendiri tak tahu jalannya.
Nay, aku
pengen turun berat badan, gimana ya caranya.
Bahkan sampai hari ini aku
masih kesulitan menjawabnya.
Ustadzah,
gimana si pengen nulis lagi, biar bisa ada inspirasi, ada semangat lagi.
Aku Cuma tertawa, bagaimana
mungkin aku tahu, sampai detik ini pun aku tak tahu kata pertama apa yang harus
kutulis.
Mba,
pernah gak ngerasain rindu sama orang? Sakit ya ternyata memendam rindu.
Lagi-lagi aku Cuma tertawa,
kenapa manusia hari ini menjadi gila, aku bahkan sudah muak dengan kata-kata
itu, karena terlalu sering aku merasakan dan diam tanpa ada jalan keluar.
Nay, aku
stres, berat badanku turun, aku putus sama dia.
Hahaha... gila, sumpah,
mereka membuat aku tertawa.
Nay, mba
bingung apa mba tinggalin dia yah, terlalu lama kalau harus nunggu dia selesai
kuliah, sementara mba udah pengen nikah.
Sampai tawaku yang tak bisa
kukendalikan, airmata menetes begitu saja, hidup betul-betul menggelikan.
Aku Cuma ingin duduk santai
malam ini, mendengarkan lagu favoritku, memandangi langit malam, berharap ada
kunang-kunang datang, melepaskan beban apapun yang ada di pikiran, tanpa ada
seorangpun, bahkan tanpa ada kamu di pikiranmu, kosong, hanya aku dengan Tuhan.
190914
Pakpayoon.
Kunang-kunang jelek,
datanglah malam ini, aku ingin menangis bodoh di hadapanmu, sebab dengan kau
mengejekku itu sudah mengambil separuh sesakku yang menumpuk.
Bagaimana aku bisa menyimpan
sesak yang begitu dalam, sampai menangis bukan lagi jadi jawaban atas kelegaan,
kunang-kunang jelek, datanglah.
Datanglah, aku rindu orang bodoh yang tak pernah punya waktu untuk sekedar menyapaku.
sebab itu datanglah, tertawakan aku dengan bodohmu...
09 september 2014
pakpayoon.
Bagaimana jika selama ini
aku sudah salah memikirkan seseorang, menyebut nama yang salah dalam do’aku,
dan mengeja huruf yang salah pada bait puisiku?
Bagaimana jika selama ini
aku sudah salah mengingat seseorang di waktu luangku, membayangkan hal-hal baik
di masa depan dengannya padahal dia adalah orang yang salah? Tidak, bukan dia
yang salah, tentu saja aku.
Bukankah Tuhan hanya akan
memasangkan seseorang sesuai kualitas keduanya, yang baik dengan baik dan
pemalas dan bodoh sudah pasti dengan pemalas dan bodoh pula, rasa-rasanya tidak
mungkin sekali orang bodoh dengan yang berwawasan luas akan menjadi pasangan
baik yang akan mendapat gelar pasangan sempurna. Itu hanya terjadi jika
keduanya orang yang gila.
Bagaimana jika itu memang
benar, aku sudah salah memilih, sebab mungkin dulu aku sedang tidak waras, lupa
diri dan sedang tak menginjak bumi sehingga lupa bahwa dia terlalu tinggi.
Tuhan, apa benar aku salah?
02 September 2014
Pakpayoon.
Ketika seseorang
membuatmu menunggu itu berarti ada hal yang lebih penting dari dirmu yang harus
ia kerjakan.
Aku mencoba memberikan
perumpamaan, semacam ilustrasi untuk menghibur diri.
Yeah, seperti seseorang yang
sedang dalam perjalanan panjang, dalam pencarian, kelelahan karena hal yang
sudah ia kerjakan, lalu... lalu... padakulah ia pulang, pada perempuan yang
menunggunya di akhir perjalanan, di sudut jalan.
Sebab itu menunggu adalah
waktu yang digunakan seseorang untuk berjalan pulang. Dan seperti yang kau
tahu, aku berharap perempuan tempatmu pulang adalah aku.
Iya, aku...
29 Agustus 2014.
Hari ini aku menemukanmu,
pada tetes hujan yang jatuh tepat di sore manisku, memelukku gigil dengan erat,
aku larut dalam derasmu.
Hari ini aku menemukanmu,
pada jalanan sore yang lengang, aku berjalan sendirian dan kau menatapku dalam
bayang-bayang.
Hari ini aku menemukanmu, di
langit sore yang kelabu, hujan enggan berhenti, aku kedinginan dan kau
memberiku kehangatan dalam pikiran.
Aku terlalu sering
menemukanmu, hingga aku tidak lagi bisa membedakan antara nyata dan mimpiku.
Pakpayoon, 18 Agustus 2014
Hey kunang-kunang malam, kemana perginya kau? Kupikir dengan
lagu-lagu galau ini kuputar, cukup membuatmu tergoda mendatangiku, lalu dengan
sudah aku tahu kau akan berkata sok tua menasihatiku, ah kau lupa aku lebih tua
darimu.. hihi, :-P
Aduh nay, bersiap-siap alzheimer nanti tua
sering-seringka galau.
Eh siapa bilang aku galau, lihat dong aku bahagia,
kebetulan saja ini liburan kuputar lagu begini, tak ada hubungannya dengan
moodku eh.
Seperti biasa aku mengelak.
Alah, palingan bohong lagi.
Si kunang-kunang jelek mulai menyebalkan.
Betulan ini, aku tidak galau, hanya saja.. .
Pandanganku beralih menatap
bulan. Hanya untuk mengalihkan biar si kunang-kunang jelek tak menatapku.
Hanya saja apa?
Kunang-kunang mulai memaksa
ingin tahu, ih kepo deh, :-P
Pandanganku masih belum
beralih, ah biar saja lagian kunang-kunang nyebelin si.
Hanya saja aku sedang ingin
melampiaskan kepingan-kepingan harta karunku yang akhir-akhir ini
kusembunyikan.
Baru saja kuakui rahasiaku,
dan ah dasar kunang-kunang jelek, ternyata dia sudah pergi.
Baguslah, bila dia tahu apa
yang akan dia katakan padaku, huft.
Lebih baik dia tidak tahu..
15 Agustus 2014
Bukan
ku tak rindu, sungguh bukan, sebab ini adalah bagian dari resiko memilih jauh
darimu.
Pilihan
memang selalu sulit, sebab ada dua hal yang bersisian tapi kamu harus mengambil
satu sisi yang kamu anggap itu paling penting untuk hidupmu, lalu bagaimana
nasib satu sisi lainnya? Itulah, pilihan memang selalu sulit.
Hari
ini kusimpan harta karun perasaanku satu persatu dalam kotak hatiku, hingga
suatu hari harta karun yang kusembunyikan akan sampai di tanganmu dengan penuh
kegirangan, aku tersenyum memberikannya dan kau menerima dengan bahagia.
Harta
karun yang kusimpan itu kusebut ia
rindu.
Aku
menyimpannya diam-diam setiap malam menjelang tidur.
#efek kangen sama umi.
14
Agustus 2014
Pakpayoon.
Seseorang yang tidak
kukenal, ia duduk sendirian di ujung jembatan, disana ada kursi panjang yang
ramai dedaunan, daun-daun kuning yang berjatuhan, jembatan yang sepi, tidak ada
lalu lalang, pantas saja ia begitu asyik duduk, kedua tangannya menyentuh permukaan
kursi, matanya nanar memandangi hamparan danau dan matahari yang mulai
tenggelam, bajunya sedikit lusuh, jilbab coklatnya menutupi sebagian wajahnya
sebab angin yang menemaninya dalam sunyi, sepertinya ia sudah cukup lama berada
disana, entah sejak pagi, siang tadi atau bahkan hari kemarin, tak ada yang
tahu, tapi sinar wajahnya yang tersapu cahaya mentari merekah girang, entah apa
yang membuat senyum itu terlihat tulus sekali.
Sore itu tanpa sengaja aku
melewati jembatan, ingin mengabadikan senja dalam ingatan sebab hari ini hari
terakhir aku berada di perantauan, esok langit dan indah kota ini tak bisa
kurasai lagi, dan aku melihatnya, gadis yang senyumnya tulus, dengan baju lusuh
dan jilbab coklat muda, kulitnya tidak terlalu putih tapi sore itu aku rasa
cahaya mentari membuat wajahnya menjadi bersinar kegirangan.
Tersebab ini hari
terakhirku, dan esok, lusa bahkan seterusnya mungkin aku tak bertemu gadis itu
lagi, aku ingin sekali menyapanya, sekedar bertanya apa yang dia lakukan di
sore yang manis ini. Berkat rasa penasaranku yang terlampau besar, kuberanikan
diri mendekat.
Belum sampai sepersekian
langkah aku mendekat, rupanya gadis itu sadar ada seseorang yang
memperhatikannya sejak tadi. Dalam sekian detik saja aku melihat wajahnya,
wajah yang tidak pernah kulihat selama ini, senyum yang tulus, tapi menyimpan
banyak duka pada sorot matanya, akhirnya aku tahu ia duduk disini sedang
menunggu, entah apa yang ia tunggu aku tak tahu, aku hanya melihat itu dari
wajah yang penuh kesabaran.
Apa yang
hendak anda tanyakan, sepertinya anda orang yang sudah kesekian menghampiri
saya dan bertanya hal yang sama.
Suaranya parau tapi lantang.
Dan aku sungguh malu sudah melakukan hal gila ini, menghampiri seseorang yang
tidak kukenal hanya karena ingin tahu apa yang sedang ia lakukan.
Begitu
rupanya, maaf kalau saya menganggu, saya hanya sekedar lewat dan kebetulan
melihat anda, dan mungkin pertanyaan saya sama dengan yang lain, sedang apa
anda duduk disini, ini sudah hampir malam, tidak baik gadis berkeliaran malam
hari.
Jawaban sok diplomatis yang
kulontarkan. Setidaknya untuk menutupi rasa maluku ini.
Saya
sedang menunggu, menunggu waktu, menunggu hari berlalu, dan menunggu seseorang
yang akan datang. Itupula jawaban yang saya lontarkan pada setiap orang yang
bertanya. Dan mohon tidak bertanya lagi. Biarkan saya disini, tetap menunggu
sendirian.
Hanya itu, dan setelah itu
aku tidak berani melanjutkan pertanyaan, baiklah hari ini cukup, sebaiknya aku
memang pergi, toh gadis ini siapa pula dia tidak kukenal.
Sepanjang perjalanan pulang,
wajah gadis itu timbul tenggelam dalam ingatan, mengapa gadis setulus itu harus
menunggu begitu lama, siapa yang dia tunggu, untuk apa dia menunggu.
Sudahlah.
***
2 tahun kemudian...
Akhirnya aku bisa
menginjakkan lagi kota kenangan ini, kota tempat merantau selama 4 tahun, hidup
dengan berbagai budaya dan lingkungan yang berbeda, tapi aku menyukainya, aku
suka kota ini, sebab ia membuatku jadi lelaki dewasa.
Dalam perjalanan menuju
penginapan, mobil yang membawaku berhenti sebentar, supir yang membawaku hendak
mengambil barang di salah satu temannya, kami berhenti tepat di sebuah tempat
yang bagiku tak asing lagi, danau kecil, jembatan diatas danau, dan kursi
panjang di ujung jembatan, rumah yang dulu baru beberapa sekarang sudah penuh
dengan perumahan dan mobil mewah, kupikir ini tak akan memakan waktu lama, aku hanya
duduk di kursi belakang dengan santai, tapi ternyata sudah 15 menit berlalu
supir yang membawaku tak juga datang, aku mulai merasa kesal, akhirnya aku
keluar dari mobil.
Suasana yang masih kuingat,
tempat terakhir yang kukunjungi sebelum aku pulang, dan seseorang yang duduk di
ujung jembatan, mataku nanar melihat ke ujung jembatan, wajah yang pernah
kulihat, wajah yang dulu, gadis itu, yang sedang menunggu, mengapa hari ini dia
masih duduk disana. Satu tanda tanya besar.
Hampir saja aku berlari menghampirinya
sebab sudah 2 tahun berlalu dan mengapa ia masih juga disini? Banyak pertanyaan
yang memenuhi pikiran. Tapi langkahku berhenti, sebab gadis itu sudah tak
sendiri lagi, disampingnya ada seseorang, yah seseorang yang sudah sangat
kukenal, wajah yang tak asing, senyum yang naif, dan hey, baju itu, bukankah
itu baju kesukaanku, mengapa laki-laki itu memakainya juga, mereka terlihat
sangat bahagia, gadis yang kuketahui itu terlihat sangat bahagia, sesekali ia
sandarkan kepalanya pada bahu laki-laki itu dan tangan si laki-laki pun
merangkulnya, mereka pasangan yang berbahagia, dan entah kenapa aku sangat iri
melihatnya.
Rupanya laki-laki bodoh itu
yang ia tunggu, entah sebab apa aku merasa muak dengan laki-laki itu, sudah
hampir 2 tahun berlalu, dan dulu saat aku melihat gadis itu, aku melihat ada
ketulusan, kesabaran dan cinta yang sangat besar, lelaki mana yang menolak
dicintai dengan cinta yang besar oleh perempuannya.
Aku mengenalnya, sangat
mengenalnya, dia sudah tak asing lagi dalam hidupku. Dan memang, saat kulihat
sekali lagi wajah lelaki itu, wajah kami memang sama.
***
Terkadang dalam hidup, ada
orang yang tidak pernah sadar dan menyadari bahwa jauh di tempat yang ia tidak
tahu, ada seseorang yang sudah menunggunya, seseorang yang setia dan tulus
menunggunya, mencintai dengan cinta yang besar, tapi banyak orang yang tidak
menyadari itu.
Pakpayoon.
13 Agustus 2014
Suatu hari dimana saat itu
aku merasa bahagia, duduk dalam bus perjalanan ke malasyia, seperti biasa
memilih duduk yang dekat jendela, lagu hugh grant and heley bennet sudah dua
kali kuputar, dan simsalabim, rupanya hujan deras menemani perjalanan,
bahagiaku bertambah.
Suatu hari saat aku merasa
bahagia, kekhawatiran tentangmu sudah berkurang perlahan-lahan, kau menjadi
amat dewasa kurasa, dan aku pun menjadi tahu diri, perjalanan tentang kita
sudah sepenuhnya kuikat dengan waktu dan garis Tuhan, jika suatu hari waktu dan
garis Tuhan membuat ikatan kita berhenti maka aku akan sepenuhnya rela, sebab
sudah kukatakan waktu dan garis Tuhan yang akan menghentikan semuanya.
Aku masih saja mengingatmu,
tidak mungkin ingatan itu kuhapus begitu saja sebab kamu seseorang yang sudah
merampas memoriku tentang banyak hal, aku masih mengingatmu dalam keadaan aku
bahagia, ketakutanku tidak sebesar hari-hari yang lalu, sebab terkadang
mengikuti air yang tenang bisa membuat kita sampai pula pada tujuan, yaitu
lautan.
Hujan yang deras, lagu yang
romantis, semua menambah lengkap kebahagiaanku, entah bagaimana dan sedang apa
kau disana aku merasa baik-baik saja, karena aku tahu, kau pun tahu cara Tuhan
akan lebih baik untuk kita harus bersikap.
Aku ingin
kita dipertemukan suatu hari nanti dengan cara yang paling baik.
Aku pun berharap demikian.
Suatu hari nanti, disaat
yang paling baik, di waktu yang paling baik..
Aku akan menunggu.
Pakpayoon,
09 Agustus 2014
Suatu hari seorang ibu dan anak sedang duduk-duduk manis
di beranda rumah, sore menjelang malam, langit mulai terlihat gelap, sang anak
sedang asik memijati pundak ibu yang keletihan seharian bekerja.
Di sela-sela itu, ada saja
obrolan hangat yang membuat hubungan anak dan ibu itu menjadi sangat dekat,
tawa sesekali muncul, hingga pada saatnya obrolan yang tidak diduga muncul ke
permukaan.
Nak, apa
kau pernah jatuh cinta?
Tanya sang ibu memulai
percakapan yang tidak diduga, sebab selama ini obrolan semacam itu tidak pernah
muncul diantara mereka, sang ibu takut sebab usia anaknya masihlah sangat muda.
Pijatan si anak tiba-tiba
mengendur, ia sempat berhenti sejenak dan memandangi langit yang hampir gelap.
Kenapa memang
bu, kok tiba-tiba begini toh ibu bertanya.
Jawab si anak berusaha tetap
tenang, meskipun ada sesuatu yang ia sembunyikan.
La nduk,
piye anakku udah sebesar ini masih belum jatuh cinta kan ibu yang khawatir,
jangan-jangan malah sukanya bukan pada laki-laki.
Timpal sang ibu menggoda.
Huss, ibu
ini, ya ndaklah bu, aku yo seneng karo cah lanang bu.
Jawab si anak mengaku,
akhirnya ia tertipu dugaan sang ibu yang sebenarnya hanya ingin mengujinya.
Gelak tawa muncul dari sang
ibu yang merasa menang dengan umpannya.
Nak, ibu
tidak pernah melarang kamu jatuh cinta, suka sama siapa saja boleh, tapi kalau
seseorang itu kamu harapkan jadi suamimu kelak, sebaiknya kamu harus banyak
pertimbangan, jangan asal memilih laki-laki yang sekedar bagus di tampang tapi
kelakuan buruk.
Sang ibu yang sedang dipijat
membalikan badannya menghadap si anak, rupanya pembicaraan menjadi bertambah
serius.
Si anak bersemu merah, ia
gelagapan, tidak tahu harus memberikan jawaban jenis apa, sebab dalam hatinya
ia ingin sekali bercerita.
Ibu adalah ibu, ia tahu apa
yang anaknya sembunyikan, tapi dia tak ingin memaksa anaknya bercerita, biarlah
anaknya yang mengaku sendiri.
Si anak diam sesaat, hatinya
ragu haruskah ia bicara, selama ini ia sudah sering menyembunyikan banyak hal
pada ibunya, mungkin inilah saatnya.
Bu, kalau
mencintai seseorang tapi tidak tahu masa depan jenis apa yang menimpa antara
kami, sebab cinta kadang membuat seseorang lupa dengan kepastian, dengan
halangan, dengan banyaknya duri yang dilewati, cinta jenis apa itu bu? Bila mencintai
seseorang berharap ia menjadi orang di masa depan, tapi waktu membuatnya
perjalanan terhenti, sebab jalan yang ditempuh tak juga bisa dibaca, masa depan
tak pernah ada yang tahu arahnya. Cinta macam apa ini bu?
Kata-kata si anak mengalir
begitu saja, perasaan malu membuatnya lupa.
Nak,
cinta itu tidak pernah ada yang rumit, cinta itu sederhana, ia seperti hujan,
yang tetesnya membawa kebaikan, kalau tetes kebaikannya membuatmu masih harus
meraba jalan mana yang akan kau singgahi, maka itulah cinta, jika tetes
kebaikannya bahkan membuatmu harus menunggu dan waktu yang berjalan sampai
akhirnya berhenti dengan sendirinya, maka itulah cinta, kalau kau merasa nyaman
dengan cinta macam itu, maka tetaplah pertahankan cintamu, sebab mencintai
bukan saja soal ia cantik atau tampan, tapi memberikan separuh hati kita untuk
kita percayakan pada seseorang yang kita pilih, sebab itu cinta menjadi sangat
mulia, seperti amanah yang tidak semua orang bisa menjaganya dengan benar.
Sebab Tuhan
nak, ia tidak pernah tidur, Dia tahu apa yang hambanya minta, sebab itu
banyaklah berdo’a, jadilah orang baik maka Tuhan tidak akan segan mengabulkan.
Tanpa sang ibu sadari, mata
si anak sudah basah sejak tadi, ia menangis, sebab nasihat ibunya adalah
nasihat paling bijak yang pernah ia dengar, dan ia merasa nyaman sekali karena
akhirnya sang ibu tahu apa yang anaknya rasakan.
Rupanya langit sudah
benar-benar gelap, dan orang yang ditunggu sudah datang.
Ayah datang
bu.
Ayah bawa
apa..
Teriak si anak berlari
menghampiri sosok yang dipanggil ayah itu. Laki-laki berkacamata tebal itu sudah
datang.
Sang ibu hanya bisa
menangis, sebab ia tak melihat siapa-siapa.
Pakpayoon.
5 Agustus 2014
Langganan:
Postingan (Atom)